09

44 1 0
                                    

"Modus lo!"

Nara tertawa geli mengingat ucapan Retha setelah Genan mengucapkan kalimat itu. Ia menoleh kesamping, memperhatikan Arkan yang sedang menikmati indahnya pemandangan malam di sekitar sini.

Nara sengaja mengajak Arkan ke taman yang pernah ia kunjungi waktu itu. Nara mengalihkan pandangannya setelah Arkan membuka matanya dan menoleh padanya.

"Tertanya bukan hanya anak muda yang suka tempat ini," kata Arkan, matanya tertuju pada tempat duduk yang ada tak jauh dari mereka.

Nara pun ikut menoleh ke arah yang sama. Terlihat seorang wanita dan pria tengah duduk sembari berbincang dengan anak kecil yang mungkin berusia empat tahun. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas senyum bahagia terlihat di wajah mereka.

Kepala Arkan sedikit tertunduk dan berkata, "Pa, Arkan kangen."

Ucapan Arkan berhasil membuat Nara kaget. Ia tidak tahu jika Papanya Arkan telah tiada.

"Arkan...."

"Gue kangen banget sama Papa, Ra." Arkan diam sejenak. "Papa sakit dan sempat dirawat. Setelah satu minggu dirawat, akhirnya Papa kembali ke rumah. Saat itu gue seneng banget karena Papa udah bisa kumpul lagi sama gue dan Mama." Arkan mulai bercerita. "Tiga hari kemudian, Papa sangat lemah yang mengharuskan untuk dirawat lagi dan-" Arkan menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Matanya terlihat memerah dan suaranya juga sedikit berubah.

"Dan yang paling gue inget adalah tepat satu hari sebelum ulang tahun gue, Papa ninggalin gue untuk selamanya." Detik ini juga Arkan menundukkan kepalanya. Ia memejamkan matanya agar air mata tidak menangis. Namun, ia tak kuat untuk menahannya hingga akhirnya satu tetesan air berhasil lolos hingga membasahi pipinya.

Nara ingin sekali memeluk Arkan tapi ia tidak bisa melakukan saat ini. Nara memberanikan diri mengangkat tangannya untuk menyentuh pundak laki-laki itu. "Arkan...."

Kepala Arkan kembali terangkat. Ia mengusap pipinya lalu tersenyum. "Kenapa Papa pergi secepat itu? Padahal gue belum bahagiain Papa." Arkam diam sejenak. "Gue takut Ra. Pokonya gue harus bisa buat orang tua gue bahagia."

"Bisa! Lo pasti bisa," balas Nara menyemangati Arkan.

"Apa gue bisa jadi lulusan terbaik?"

Tak

Detik ini juga Nara merasa seolah kebencian pada pada Arkan merupakan kesalahan yang ia perbuat.

"Papa dan Mama pasti bahagia banget kalau gue berhasil jadi mahasiswa lulusan terbaik," lanjutnya.

Nara semakin menatap mata Arkan yang masih memerah. "Bisa," balas Nara dengan nada lembut, "lo harus yakin dan lo pasti bisa!"

Arkan diam sejenak lalu tersenyum. "Nara, makasih ya. Lo udah buat gue jadi semangat."

***

Nara menatap langit kamar dengan nuansa putih dan biru muda. Ia mengingat kembali mata yang ia tetap dengan cukup lama. Ia tak menyangka jika Arkan memiliki kesedihan dibalik keceriaannya selama ini.

Nara merasa menyesal karena sempat membenci laki-laki itu. Padahal Arkan sama sekali tidak memiliki niat buruk padanya. Arkan tidak merasa tersaingi, malah sebaliknya. Ia sangat baik pada teman-teman.

Seiring berjalannya waktu. Kebersamaan terus hadir di antara mereka. Apalagi akhir-akhir ini Arkan dan Nara sering belajar bersama. Nara benar-benar merasa jika kebencian itu telah hilang dengan sendirinya. Nara meraih ponsel, lalu segera mengirim pesan pada Arkan.

Arkan Ganteng

Lo dimana?|

Nara meletakkan ponselnya di atas nakas. Ini adalah pertama kalinya ia mengirim pesan lebih dulu pada laki-laki itu. Bagaimanapun, Arkan telah mengantarnya pulang dan tentu ia harus tahu apakaha Arkan pulang dalam keadaan baik-baik saja.

ARKANARA (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang