05

5 1 0
                                    

“Oryza!” panik Adelardo berlari mendapati seorang gadis terduduk memeluk tubuh yang gemetar.

Para pendaki lain yang berinisiatif mencari Oryza pun mendekati teriakan itu.

Dengan penerangan seadanya mereka mendapati seorang gadis yang sudah menggigil kedinginan karena serangan hipotermia.

“Oryza!” panggil lelaki jangkung itu mencoba menyadarkan gadis dalam genggamannya.
Namun tak ada respon yang ia dapati selain tubuh yang gemetar tak henti.

Ia yang sudah ketakutan lantas membopong gadis semampai itu menuju tenda.

Tentu saja keempat sahabat Oryza tak kalah paniknya.

Namun Adelardo tak membiarkan mereka mengambil alih posisinya saat itu.
Bergegas ia melepas jaket tebal Oryza untuk melakukan pertolongan pertama.
Ia pun hendak membuka mantelnya namun Candra menghalaunya, “pake jaket kamu!”

Disaat yang sama Satria bergegas membungkus tubuh sahabat perempuannya dan hanya menyisakan bagian wajah Oryza.

“Za! Oryza!” panggilnya begitu khawatir namun Oryza masih tidak bisa meresponnya,
“Za!” Tangis Satria tak tertahan memeluk tubuh sahabatnya.

“itu nggak bakal buat dia baikan!” tegur Nisa langsung menanggalkan jaket serta membuka bungkusan kain yang menyelimuti Oryza.
“kalian keluar saja. Biar gue yang hangatin dia.” terangnya langsung memeluk tubuh Oryza.

Satria pun membantu menyelimuti tubuh mereka, “makasih, Nis.” lirihnya.

“sini lo!” kasar Candra menarik Adelardo keluar dari tenda.

“Can, Can!” tegur Catra menahan kakaknya sedang Bima menyangga Adelardo agar tidak goyah,

“lo ngapain, Can? Nyari ribut?” geram Bima tak habis pikir akan kelakuan temannya, “dia udah nolongin teman kita! Seharusnya kita yang terimakasih sama dia.”

“ini salah aku!” tangis Satria terduduk kesal pada dirinya, “seharusnya aku jagain Oryza.”

“Ya!” sapa lelaki bergaya rambut Short neat itu berlutut mengimbangi tubuh Satria “bukan cuma kamu. Tapi kita semua.” Ucap Bima menepuk pundak kawannya,
“semoga kita nggak terlambat. Pasti Oryza akan baik-baik aja.” hiburnya meski tak dapat menahan air mata.

Kedua kembar pun gelisah dan sesekali menengok keadaan dalam tenda.

Sedang Adelardo merasa begitu kecewa pada dirinya. Seharusnya ia lebih cepat mendapati Oryza.
Setidaknya kali ini ia juga bisa menolong gadis yang dahulu bertarung nyawa untuk menyelamatkannya.

Ingatannya berlalu pada kejadian beberapa tahun yang lalu.

Di pantai yang cerah kala itu, Adelardo berdiri merenung membiarkan alun laut membasahi kakinya. Wajahnya kusut seolah memikul beban berat.

Dalam pikiran yang mengambang terdengar desahnya,
“aku ingin mati.. matilah Adelardo!”

Mendadak rasa sakit menyebar dari hatinya namun tak membuat ia kehabisan nafas.

Kutukan yang ada padanya seakan-akan menjadikan dirinya manusia abadi.
Memang ia masih hidup sama seperti manusia lainnya.
Namun belenggu kutukan ini sangatlah menyiksa. Tak ada jalan untuk menghentikan penderitaannya.
Berdoa pun rasanya sudah jenuh. Seolah ia dibiarkan hidup menderita sendirian.

Si Pahit Lidah Keturunan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang