Kota Tomohon di Desa Rurukan.
Tempat kediaman oma menjadi rumah tinggal sementara bagi para kawanan yang mencoba akur. Begitu ramah oma menyambut mereka dan suasana hangat menyelimuti rumah panggung itu.
Keempat kawan Oryza bercengkerama di ruang depan. Adelardo dan Dara pergi ke suatu tempat. Sedang Oryza dan Nisa berada di bagian belakang bergotong royong membersihkan ruang makan dan dapur.
"Selesai ini, boleh ngobrol sebentar nggak?" pinta mendadak Nisa lantas menghentikan aktivitas gadis disampingnya.
Sejenak mereka saling menatap sampai Oryza menjawab dengan anggukan "boleh." Ucapnya mengumbar senyuman.
"Kita ngobrol di luar aja." Ajak Nisa disetujui anggukan cucu oma itu.
***
Adelardo bersama sepupunya baru saja tiba di tempat tujuan. Lelaki jangkung itu menaruh kendaraan nya di tempat yang sudah disediakan.
Sejenak mereka menatap rumah sakit besar itu. Adelardo kebingungan bercampur penasaran mencoba mendapat jawaban dari Dara. Namun sepupunya hanya tersenyum datar dan berjalan terlebih dahulu. Lelaki bergaya rambut 90-an itu pun mengikuti dari belakang.
Lobi rumah sakit dilewati mereka. Perjalanan terus dilanjutkan hingga berhentilah mereka di sebuah lorong. Terlihat Aden begitu gelisah dengan terduduk menopang dahi dengan jari-jari tangan terlipat. Ia bahkan tak menyadari kehadiran kedua sepupu itu.
"Den." Sapa Adelardo agak segan mendekati kawannya begitu pun Dara.
Lelaki berambut undercut man bun itu pun menoleh dan terkejut mendapati kedua bersaudara itu.
"Del, Ra?" Sapanya tergemap salah tingkah. Tak dapat disembunyikan bola matanya menunjukan rasa kesal pada Dara yang datang bersama Adelardo tanpa sepengetahuannya.
Dara pun menangkap arti pandangannya, "maaf, kak. Aku nggak bilang-bilang bakal datang." Mendengar ungkapan hati Dara membuat Aden menghela nafas. Ia begitu dongkol namun coba ditahannya.
***
"Gimana keadaan adik kamu?" Tanya Adelardo memulai percakapan.
"Ya, begitu." Singkat Aden menghela nafas, "belum ada perubahan." Jelasnya.
"Adik kamu laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan."
Adelardo mengangguk mengerti dan kembali bertanya, "Boleh kita jenguk?"
"Nggak!" Celetuk Aden mengejutkan temannya apalagi Dara yang duduk berhadapan dengan mereka.
"Maaf, Del. Kalian nggak usah khawatir." Tambahnya dengan pandangan tak fokus.
Sebentar di lorong ruang tunggu terasa begitu rikuh bagi ketiga kawan ini.
***
"Kita ngobrol disini aja." Putus Nisa setelah menyusuri jalan agak jauh dari kediaman oma.
Kedua perempuan itu duduk di kursi panjang yang berada di jalan samping.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Pahit Lidah Keturunan Terakhir
FantasyCerita ini fiksi. Semua karakter, lokasi, organisasi, kepercayaan dan peristiwa tidak berkaitan dengan kejadian bersejarah.