Situasi di ruang tunggu rumah sakit terasa mencekam.
Adelardo yang mondar-mandir tak jelas makin membuat Oryza tertekan hingga tangannya gemetar. Mencoba mengendalikan dengan mencengkram erat tangannya namun hatinya sudah terkoyak. Posisinya saat ini malah memperburuk dirinya seolah sedikit lagi ia akan menjadi seorang pembunuh.
Apalagi tadi dokter mengatakan Dara hampir meregang nyawa. Untung saja Adelardo tiba diwaktu yang tepat dan melakukan pertolongan pertama dengan menyuntikan epinefrin di paha sepupunya walaupun keadaan Dara belum juga membaik.
Noda saus bakso tusuk dan darah muntahan dari Dara masih melekat di pakaian Oryza.
Tangisannya hampir meledak. Tapi sudah sejauh ini ia bertahan, seharusnya ia bisa bertahan sedikit lagi.
Bahkan untuk berpikir jernih dan beranjak membersihkan pakaiannya begitu sulit ia lakukan. Mentalnya hampir roboh. Seumur hidup ini menjadi kasus pertama yang tak bisa ia lupakan. Bisa-bisanya ia mengajak Dara memakan bakso tusuk tanpa menanyakan keadaannya.
“aku emang bodoh!” jeritnya bergumam seiring bercucuran air mata.
Wajar saja ia menangis sekarang, namun aura hitam yang ada di depannya memaksanya untuk menyembunyikan isakan. Segera ia menekap bibir dengan kedua tangan yang masih bergetar.
“hiks.” Terdengar sesekali sedu-sedannya.
Mendadak Adelardo terhenti dari kepanikannya, menoleh geram ke arah Oryza dengan kening yang mengerut.
“tenang Oryza.. tenang..” batinnya mencoba menenangkan diri.
Perlahan ia bangkit dari duduknya dan berjalan dengan langkah tertatih sembari menunduk. Pikirannya melayang tanpa tau arah.
“Oryza!” sapaan yang tak asing lagi di telinganya.
Aden berada agak jauh di depannya.
Apatah ia bisa sampai sebelum ambruk? Ia sendiri pun merasakan pijakan kakinya mulai melemah.
Bruuk!
“Oryza!!” pekik Aden berlari.
Sekonyong-konyong Oryza telah berada dalam dekapan Adelardo. Terdengar desah nafas lelaki jangkung itu mencoba mengendalikan amarahnya.
“maaf..” lirih Oryza terisak.
Terasa tangan kekar Adelardo mengangkat tubuhnya agar berdiri tegak,
“yang terjadi sama Dara, itu bukan salah kamu.” Ucapnya.Kalimat singkat itu menepuk hati Oryza yang lantas menangis kejer dalam pelukannya. Begitu erat ia mencengkeram baju si pahit lidah dengan menyandarkan rapat-rapat wajahnya tepat di dada lelaki beraura hitam itu. Sekuat-sekuatnya ia menjerit hingga Adelardo pun bertindak memeluknya erat untuk meminimalisir suara tangisnya.
Aden menghela nafas sambil mengelus pundak Oryza sedang Nisa yang berada di belakang mereka amat terkejut melihat pemandangan itu.
***
Jarum jam menunjukan pukul 20.00.
Dara sudah melewati masa kritis walau masih dalam pengawasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Pahit Lidah Keturunan Terakhir
FantasíaCerita ini fiksi. Semua karakter, lokasi, organisasi, kepercayaan dan peristiwa tidak berkaitan dengan kejadian bersejarah.