Sehari lamanya Oryza berada dalam pesawat dari kota Malang menuju kota Manado. Meninggalkan orangtua dan keempat sahabatnya.
Memang tak akan semudah yang ia katakan sebelumnya. Kemungkinan besar ia akan kesulitan jika sendirian. Namun inilah pilihannya.
Sebenarnya dari lubuk hati, ia mencemaskan hidupnya. Tentang kalung yang terus melekat padanya bahkan tak boleh terlepas. Tidak mungkin selamanya ia akan menjadi manusia abadi dengan bergantung pada kalung ini. Dia sama sekali tak menginginkan hal itu terjadi.
Pasti ada jalan. Kelak ia akan menjadi manusia normal. Jadi ini saat yang tepat menurutnya untuk berpetualang mencari jati diri. Mungkin oma akan membantunya untuk mencapai tujuannya.
Sebenarnya bisa saja ia bertanya pada orangtuanya. Hanya saja, dari cara mereka yang protektif membuat ia semakin curiga.
Mungkinkah sangat berbahaya baginya untuk hidup bebas?
Pasti ada sesuatu yang disembunyikan tapi mungkin mereka tak mampu mengatakannya.***
Sesampainya di Bandara Sam Ratulangi, oma sudah menjemputnya bersama seorang lelaki yang umurnya tak beda jauh dengannya. Berpenampilan casual, bergaya rambut undercut man bun dengan tinggi badan 183 cm. Terlihat cukup menawan dengan senyuman ramah yang terpancar diwajahnya.
“kangen banget.” Manja Oryza begitu erat memeluk omanya.
“oma juga kangen sayang.” Balas oma lalu melepas pelukan
“kenalin, ini namanya Aden. Dia akan jadi senior kamu kalau kamu bisa lulus masuk UNSRAT.” Jelas oma menyentuh pundak lelaki itu.“Aden.” Ucap lelaki itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan “biasa dipanggil ungke sama oma.” Imbuhnya merasa diistimewakan.
Oryza pun memperkenalkan dirinya “aku Oryza, cucunya oma.”
“aku tinggal lebih lama sama oma. Udah dianggap cucu juga. Eh, anak sendirilah.” Ledek Aden tak mau kalah.
Refleks kedua alis Oryza mengernyit seraya ber’oh’ cukup tau lalu melepas tangan “nyebelin juga nih orang.” Batinnya kesal.
“wah, kelihatannya kalian bakal akrab.” Semringah oma disetujui anggukan Aden.
***
Di dalam mobil.
“kita langsung ke kampus kan oma?” tanya Oryza memastikan.
Oma yang duduk bersebelahan dengannya menjawab, “iya. Supaya kamu juga bisa tahu tempat ujian kamu dimana. Aden bakal anterin kamu. Tenang aja.”
Aden yang duduk disamping sopir pribadi menyahut, “siap oma!” semangatnya menunjukan jari jempol.
Oryza mengangguk mengerti walau masih menyimpan rasa kesal.
***
“oke, kita sampai di kontrakan.” Semangat lelaki berkulit putih itu langsung turun dari mobil sedang Oryza yang tertidur dalam perjalanan sama sekali tak bergeming.
Dengan senyuman lebarnya Aden memandang langit biru cerah. Menghirup udara segar lalu menurunkan koper dari bagasi dibantu sang supir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Pahit Lidah Keturunan Terakhir
FantasyCerita ini fiksi. Semua karakter, lokasi, organisasi, kepercayaan dan peristiwa tidak berkaitan dengan kejadian bersejarah.