"Vigo, pulang bareng, yuk!" ajak Anggi, menghampiri Vigo yang tengah merapikan bukunya.
Namun, Vigo sama sekali tak merespon, tapi malah memakai ransel setelah memasukkan bukunya. Bahkan, Vigo langsung keluar kelas, meninggalkan Anggi.
Wajah cewek itu cemberut karena diacuhkan, dia menghentakkan kakinya berkali-kali akibat kesal. Lagi-lagi, dia diacuhkan, bahkan Vigo tak melirik padanya sekalipun.
"Vigo, lo gak mau pulang bareng cewek cantik?" teriak Anggi seraya mengejar Vigo.
Sayangnya, cewek itu sudah tak menemukan keberadaan Vigo. Barangkali Vigo sudah pulang. Kalau tahu seperti ini, dia langsung ikut Vigo saja. Sulit sekali menggapai Vigo, terlalu tinggi sementara Anggi ada di bawah. Vigo bagai langit, sementara Anggi bagai bumi.
Daripada meratapi kekesalannya, Anggi memilih ke taman sekolah, duduk di sana hingga dia punya keinginan untuk pulang. Tak ada gunanya juga di rumah, hanya dia sendiri. Semenjak kepergian kedua orang tuanya, rumah menjadi sepi, dan Anggi juga merasa kesepian.
***
Dua jam telah berlalu, Anggi masih tetap setia duduk di taman sekolah, seraya menatap fotonya dan Gaga—sahabatnya sejak kecil —dengan wajah sendu. Sudah dua tahun dia mencari keberadaan Gaga, tapi sampai sekarang sama sekali tak menemukan keberadaannya. Kata teman-teman Gaga, Gaga tinggal di Jakarta, tapi sampai sekarang dia masih belum menemukan keberadaan Gaga.
"Diliatin mulu fotonya," tegur Laura langsung mengambil duduk di samping Anggi.
Cewek itu tahu kalau Anggi sejak dua tahun yang lalu, mencari keberadaan sahabatnya. Ingin membantu, tapi sama sekali tak tahu nama lengkap sahabat Anggi. Jangankan Laura, Anggi pun tak tahu siapa nama lengkap sahabatnya.
Laura melirik Anggi sejenak, kemudian menatap lurus pada anggota ekstrakulikuler Pramuka yang sedang latihan. Jam pulang sekolah sudah berbunyi sekitar dua jam yang lalu, tapi Anggi sama sekali belum pulang, sementara Laura tadi tengah mengikuti rapat bersama teman-temannya yang berada di ekstrakulikuler Jurnalistik
"Gue masih belum ketemu sama Gaga, Ra," ucap Anggi membuat Laura menghembuskan napasnya, lelah melihat Anggi yang sering putus asa.
"Mau nyerah?"
Anggi menggeleng pelan, bagaimana bisa dia menyerah? Anggi benar-benar tak bisa melupakan sahabatnya.
"Pasti ketemu, Gi."
"Iya, gue tahu, pastinya itu kapan?"
Tangis cewek itu langsung pecah, saat mengingat selama apa dia mencari sahabatnya. Sejak kelas sepuluh hingga kelas sebelas SMA, Anggi selalu pindah sekolah dan di sekolahnya sekarang ini dia sangat betah, hingga tak ingin pindah.
Laura diam, dia juga tak tahu kapan pastinya Anggi bisa bertemu dengan sang sahabat. Iba juga melihat Anggi yang kadang murung jika hanya sendiri, berbeda ketika bersama Vigo.
"Hal yang harus lo tahu, Gi, gue bakal selalu ada buat lo, kapan pun lo butuh," kata Laura menenangkan Anggi.
Pasalnya, Anggi kurang terbuka dengannya, hingga Laura kadang bingung apa yang harus dia lakukan. Laura hanya bisa berdoa, semoga Anggi bisa bertemu dengan sahabatnya.
***
Laura sudah pulang, tapi Anggi masih tetap di sekolah, padahal waktu magrib sebentar lagi tiba. Cewek itu benar-benar tak ingin pulang, dia akan merasa kesepian sendiri di rumah besar tanpa ada siapa pun.
Semenjak kedua orang tuanya meninggalkan, Anggi lebih sering keluar rumah agar tak kesepian. Dia juga tak ingin tinggal bersama keluarganya yang lain, takut merepotkan. Namun, mereka masih tetap memperhatikan Anggi, dengan mengirimkan uang bulanan.
Anggi mengedarkan pandangannya ke segala arah, dan tak sengaja melihat mobil Vigo yang baru saja keluar dari area sekolah. Anggi kira Vigo sudah pulang tadi saat dia mengajak untuk pulang bersama. Senyum cewek itu mengembang, dia merasa kalau ini adalah keberuntungan. Seketika, Anggi bersyukur karena dia merasa kesepian di rumah.
Tanpa takut tertabrak Vigo, Anggi langsung berlari ke tengah jalan dan merentangkan kedua tangannya. Bersyukurnya, jalanan tak ramai.
Melihat Anggi yang tiba-tiba berdiri di tengah jalan, Vigo sontak menginjak rem secara mendadak. Jantungnya berdetak tak menentu karena hampir saja menabrak, napasnya memburu, tangannya bergetar. Kalau saja dia menabrak Anggi, bisa jadi panjang urusannya. Setelah napasnya sudah mulai teratur, Vigo pun keluar, menatap Anggi tajam.
"Lo mau mati?" tanya cowok itu dengan rahang mengeras. Matanya menatap Anggi tajam, tapi sama sekali tak membuat Anggi gentar.
Bukannya takut, Anggi malah tersenyum.
"Gue nebeng, ya?" tanya Anggi dengan wajah memelas, mencoba merayu Vigo. "Nungguin lo lama banget," imbuhnya berbohong.
"Enggak, pulang sendiri. Siapa yang nyuruh lo nungguin gue?" tolakan Vigo membuat Anggi mencibir.
"Jangan jual mahal, Go. Nanti lo gak laku-laku," sindir Anggi tapi tak dipedulikan Vigo.
"Mobil gue masih suci, gak akan pernah gue kasih siapapun masuk, kecuali keluarga gue, sahabat gue, dan orang yang gue sayang," tutur Vigo membuat Anggi kembali mencibirnya.
"Laura kemarin-kemarin naik di mobil lo," balas Anggi.
"Dia 'kan sahabat gue," balas Vigo tak ingin kalah. Cowok itu benar-benar tak sudi, mobilnya dinaiki oleh Anggi.
"Kalau gue, siapanya elo?"
"Bukan siapa-siapa," jawab Vigo langsung memasuki mobilnya.
Cowok itu menekan klakson mobil hingga membuat kebisingan di sore hari menjelang magrib. Vigo sadar, hal itu tak sopan, tapi dia ingin Anggi menyingkir dari sana. Sayangnya, Anggi malah tak peduli dan tetap berdiri di tengah-tengah jalan. Melihat itu, Vigo menurunkan kaca mobilnya, lalu menyembulkan kepalanya dan berteriak.
"Budeg lo, ya? Minggir," sentak Vigo.
"Go, gue nebeng, ya?"
"Gak," tolak Vigo mentah-mentah. "Minggir!"
Anggi masih keras kepala, dia menggeleng tak mendengarkan perintah Vigo. Sedangkan Vigo, sudah tak kuasa menahan kekesalannya. Sejak pertama kali Anggi mengejar-ngejarnya, hingga sekarang, Vigo selalu menahan kekesalannya. Cowok itu keluar dari mobil, menghampiri Anggi, lalu menarik tangan cewek itu hingga halte.
"Jangan bikin gue yang berusaha sabar sama lo, jadi marah," kata Vigo penuh penekanan.
Setelahnya, Vigo meninggalkan Anggi sendiri di halte dekat sekolah. Entah kenapa, sore menjelang magrib ini, keadaan sekitar sekolah cukup sepi, padahal biasanya sangat ramai dengan orang-orang berlalu lalang.
Anggi terdiam cukup lama, tak menyangka Vigo bisa berkata seperti itu. Dia tersenyum kecut, matanya bahkan berkaca-kaca. Kapan Vigo bisa menghargainya? Kapan Vigo bisa perhatian padanya? Harusnya Anggi menyerah, tapi dia sama sekali tak tahu kenapa dia masih mengejar Vigo? Kenapa dia masih bertahan?
Cewek itu juga bahkan bertanya-tanya pada dirinya sendiri, seperti apa perasaannya pada Vigo. Berkali-kali, mengatakan pada dirinya sendiri kalau dia menyukai Vigo, tapi hati kecilnya malah menentang. Sebenarnya perasaan apa yang dia miliki untuk Vigo?
"Bingung dengan perasaan sendiri ternyata begitu menyiksa, harusnya kemarin-kemarin cari tahu dulu, perasaan apa yang gue milikin sekarang ini," gumam Anggi meninggalkan halte.
***
YuhuuuUpdate di jam Cinderella dulu yah😂
Maklum, idenya keluar jam segitu.Btw, namanya Gaga bukan Gaga yang kena kasus sama Laura Anna🤭
***
Jumat, 22 Juli 2022
#1019
KAMU SEDANG MEMBACA
Plot Twist (END)
Teen FictionSpin-off Ayo Peka! -Cerita ini diikutsertakan dalam 30 days Writing Marathon Challenge with Bougenvillea Publisher Cabang Bekasi- Vigo sadar, Anggi mengejarnya hanya karena menjadikan dia sebagai pelarian. Sebenarnya Anggi tengah mencari sahabat kec...