Delapan Belas

87 7 0
                                    

"Hari ini jadwal lo cuci darah, 'kan?"

Raga mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Vigo. Sudah hampir seminggu semenjak Vigo mengetahui penyakitnya, Vigo juga rutin menemaninya cuci darah.

"Hari ini gue perlu check up dulu," ujar Raga seraya merapikan buku-bukunya. Bersyukur di kelas merek sudah tak ada orang satupun kecuali mereka. Semuanya sudah pulang.

"Gue temenin?" tanya Vigo.

Raga mendengus kesal, sekalipun ditolak, Vigo tetap akan bersikukuh untuk menemaninya. Bahkan parahnya Vigo juga selalu mengajaknya mengobrol kala cuci darah agar tak bosan, apalagi waktunya cuci darah sangatlah lama.

"Terserah, deh," jawab Raga terdengar lemas.

Wajah cowok itu pucat, ini sudah beberapa hari. Vigo menduga, pasti Raga sering merasa sakit kala penyakitnya kambuh. Akhir-akhir ini memang Vigo sering melihat Raga yang memegang dada dan perutnya, kadang napas cowok itu sesak dan mual menyerangnya.

Seperti saat ini, Vigo melihat Raga yang memegang dadanya. Bukankan itu sudah menjelaskan kalau penyakit cowok itu kambuh lagi?

"Lo gak pa-pa, 'kan, Ga?" tanya Vigo.

Raga yang tadinya tengah berusaha menahan rasa sakit, pun menoleh pada Vigo. Dia tersenyum, menenangkan sahabatnya yang terlihat khawatir. Ini yang paling dibenci Raga jika teman-temannya tahu, dia tak suka dikasihani, dia tak suka ditatap dengan tatapan khawatir, dan dia tak suka temannya iba padanya. Raga tak suka semuanya.

"Cuma nyeri aja dada gue, dikit," jawab Raga. Kemudian cowok itu memakai ranselnya dan meninggalkan Vigo yang terdiam. Raga terlalu pintar berakting. Drama king sebenarnya adalah Raga.

Sadar kalau Raga sudah jauh, Vigo memekik, "Raga sialan! Kenapa gue ditinggal?!"

***

Vigo benar-benar menemani Raga cuci darah, begitu juga dengan Sanjaya dan Wina yang tak pernah absen. Kedua orang tua Raga selalu berdoa untuk kebaikan anak mereka, berdoa kesembuhan Raga. Sebelum Raga melakukan proses cuci darah, hari ini juga jadwal cowok itu check up, setelah itu baru dia cuci darah.

Namun, ini sudah hampir satu jam Raga di dalam ruangan dokter Bella, dan masih belum keluar. Apa saja yang dilakukan dokter di dalam sana? Kenapa lama sekali?

"Tante, emang check up kayak gini lama?"

Wina menggeleng lemah, dia sudah tahu, kalau anaknya check up lama, itu tandanya penyakit anaknya semakin parah. Seperti ini juga dulu waktu Raga divonis gagal ginjal kronis stadium empat.

Kini Vigo tak bisa berbuat apa-apa, dia hanya diam apakah saat melihat kedua orang tua Raga yang hanya menunduk lemah. Bahkan Wina di sampingnya sudah menangis.

Tak lama kemudian, dokter Bella keluar, matanya sendu menandakan kalau ada hal buruk yang terjadi pada Raga. Kedua orang tua Raga bangkit dari duduknya, begitu juga dengan Vigo yang penasaran dengan hasil check up Raga.

"Stadium akhir, kita secepatnya memerlukan tranplantasi ginjal. Cuci darah dilakukan agar Raga tetap bisa menjalani aktivitasnya. Namun, dia tidak boleh terlalu lelah," jelas dokter Bella.

Selanjutnya dokter Bella mengajak orang tua Raga ke ruangannya, untuk menjelaskan lebih detail lagi. Sementara Vigo izin ingin melihat Raga, walau sebenarnya dia tak mampu. Siapa yang tak sedih mendengar berita temannya menderita penyakit serius seperti ini? Vigo tentunya sedih, apalagi dia dan Raga sudah berteman sejak SMP. Bagaimana nanti jika Anggi tahu?

"Ga," panggil Vigo.

Sementara Raga, dia diam tak bergeming. Cowok itu memilih melihat keluar jendela dibandingkan melihat Vigo yang baru masuk. Dia sudah tahu semuanya, sebelum dokter Bella keluar, cowok itu meminta untuk dijelajahi lebih dulu masalah penyakitnya, agar dia bisa mengambil tindakan yang tepat. Menyerah atau bertahan.

"Ga, gue—"

"Gue kasihan banget, ya? Penyakitan. Setelah ini, lo pasti jadi iba banget sama gue, terus mau temenin gue karena kasihan," kata Raga.

Vigo menggeleng. Sudah jelas dia berteman dengan Raga bukan karena kasihan ataupun iba. Dia saja mengenal dan berteman dengan Raga sebelum mengetahui cowok itu punya penyakit.

"Jangan nyerah, Ga."

"Gue rasa udah gak ada lagi yang dipertahankan, Go. Sebentar lagi, gue bakal pergi dari sini selamanya. Gue—"

"Lo ngomong apa, sih? Gue gak suka. Ingat, Anggi belum tahu lo itu Gaga," sela Vigo tentunya membuat Raga tersenyum miris.

"Justru itu bagus, Anggi gak boleh tahu gue," balas Raga tak mau kalah.

"Ga, gue bisa ngasih ginjal gue buat lo. Gue rela mati demi lo, Ga. Asal lo sembuh, gue gak mau sahabat gue pergi, Ga."

Seketika Raga menoleh, dia menatap Vigo dengan mata berkaca-kaca. Lalu cowok itu berkata, "Gak semudah itu, Vigo. Gak mungkin lo ngomong kayak gini, besoknya langsung operasi."

Raga menggeleng, dia menjeda perkataannya beberapa detik, lalu berdeham untuk melanjutkan perkataannya tadi.

"Kita bakal jalani berbagai macam tes. Dan sekalipun ginjal gue cocok sama lo, gue juga gak mau," lanjut Raga.

Hal yang paling menyakitkan adalah ditinggal sahabat pergi. Bahkan ditinggal sementara saja menyakitkan, apalagi ditinggalkan selamanya. Vigo tak kuasa membayangkan itu, dia dan Raga sudah sangat dekat.

"Bahagiakan Anggi."

Vigo menggeleng cepat, bukan ini yang dia mau. Dia ingin Raga juga bisa bahagia, bukan hanya memikirkan kebahagiaan Anggi.

"Setidaknya, dengan lo bahagiakan Anggi, gue udah tenang. Itu juga buat nembus semua kesalahan gue."

***

Karena tak kuasai mendengar setiap kalimat yang dilontarkan Raga. Vigo memiliki pulang lebih dulu, tetapi cowok itu bukannya pulang, malah ke rumah Anggi yang pastinya si empunya menolaknya datang bertamu. Namun, Vigo butuh sandaran, dia butuh tempat untuk menumpahkan segalanya. Vigo butuh Anggi.

Gerbang rumah Anggi tidak terkunci, menandakan kalau cewek itu ada di dalam. Tapi Anggi begitu ceroboh, sampai gerbang tak ditutup, bagaimana kalau ada orang jahat yang masuk? Vigo punya mengunci gerbang rumah Anggi. Kemudian melangkah menuju rumah Anggi. Cowok itu menekan bel.

Bunyi bel pertama, Anggi tak keluar. Vigo menunggunya, tetapi dua menit kemudian, pintu belum dibuka. Vigo kembali menekan bel, si empunya masih belum muncul juga, dan ketika Vigo berniat menekan bel ketiga, Anggi keluar dengan dress biru langsung sepanjang di bawah lutut, rambut dikepang dua, dan tas selempang tersampir di pundaknya.

"Vigo?"

Anggi seakan tak percaya, kedatangan Vigo di rumahnya tanpa diundang benar-benar membuat Anggi terkejut. Parahnya lagi, mata Vigo sembab dan juga masih berkaca-kaca. Bukan hanya itu saja, Vigo terlihat begitu kacau. Sepertinya ada masalah besar yang dihadapi Vigo.

"Gi."

Keterkejutan Anggi bertambah saat Vigo tiba-tiba memeluknya erat, bahkan tangis Vigo terdengar walau tak begitu besar. Air mata Vigo membasahi pundak Anggi. Sementara cewek itu, benar-benar tak mengerti kenapa Vigo bisa sesedih ini.

"Vigo, lo—"

"Biar gini dulu, Gi. Gue mohon," ucap Vigo lemah.

Mereka hanya diam di depan pintu, Anggi membiarkan Vigo menumpahkan segalannya, sementara Vigo memeluk Anggi erat dan menumpahkan tangisnya di pundak Anggi.

Anggi tak tahu apa yang terjadi, dia juga tak berniat bertanya, yang ada Vigo malah semakin tak menjawab dan malah menangis.

***

Senin, 08 Agustus 2022

#1074 word

bougenvilleap_bekasi
Lyviajkm
_queennzaaa
Silvaqueen__

Plot Twist (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang