Sudah sekitar lima belas menit mereka berdiri di depan pintu rumah Anggi, Vigo masih belum berhenti menangis, tentunya itu menimbulkan banyak tanda tanya dari Anggi. Tangan cewek itu bergerak mengelus lembut punggung Vigo, mencoba menenangkan Vigo yang benar-benar terlihat hancur.
Tapi tak lama, Vigo melepaskan pelukan, matanya sembab karena menangis. Anggi meringis, baru kali ini melihat sisi lain dari Vigo. Sebenarnya apa yang menyebabkan Vigo sampai menangis seperti ini?
"Udah tenang?" tanya Anggi hati-hati nan lembut. Untuk sekarang, dia tak bisa marah pada Vigo, masalah mereka bisa dilupakan sejenak.
Vigo tersenyum kecil, dia tak tahu harus berbuat apa, karena tiba-tiba datang dan langsung memeluk Anggi kala pintu rumah terbuka.
Vigo yang kasih diam, membuat Anggi menariknya masuk. Tangannya yang digenggam Anggi, membuat Vigo tersenyum kecil, suda lama sekali Anggi tak digenggam Anggi. Rasa hangat menjalar dari perut naik ke dada cowok itu, hatinya senang. Vigo tak ingin Anggi melepaskan genggaman tangannya.
"Udah makan?" tanya Anggi.
Cowok itu tak mengeluarkan suara, tetapi menggeleng pelan sebagai jawaban. Vigo yakin, suaranya pasti serak sehabis menangis.
"Gue tadi sebelum mau berangkat, masak dulu. Makan yuk!" ajak Anggi. Cewek itu kembali menarik tangan Vigo agar duduk di kursi.
"Maaf tapi, cuma ada sayur asem sama ikan goreng," lanjut Anggi. Vigo hanya mengangguk, dia sama sekali tak mempermasalahkan, asal bisa makan masakan Anggi. Selama ini, dia belum pernah memasak masakan Anggi yang murni cewek itu yang memasak.
Kemudian Anggi mengambilkan Vigo dua centong nasi, satu ekor ikan goreng berserta sambal dabu-dabu, dan sayur asam. Tersenyum, bukankah Anggi terlihat seperti simulasi ibu rumah tangga? Vigo jadi membayangkan kalau mereka hidup bersama, membayangkan Anggi yang menyiapkan semua keperluannya.
Astaga, di saat seperti ini, dia masih saja bisa membayangkan hal yang belum tentu terjadi. Ketika piring telah disodorkan Anggi padanya, Vigo mulai menyantap, menikmati masakan Anggi yang memang lezat.
"Thank, Gi," ungkap Vigo pelan.
Anggi menggaruk tengkuknya, sebenarnya dia merasa canggung dengan Vigo, makanya dia mengajak cowok itu masuk untuk makan. Bahkan, Anggi melupakan janjinya dengan Laura yang akan menemaninya ke rumah Gaga.
"Sama-sama," balas Anggi. Anggi yang tadinya masih kenyang juga terpaksa makan, menemani Vigo makan.
Mereka sama-sama menikmati makanan, denting sendok beradu dengan piring kaca menambah kebisingan di antara keduanya. Sampai pertanyaan Vigo yang tiba-tiba, membuat Anggi berhenti mengunyah.
"Gi, kalau seandainya Gaga yang selama ini lo cari adalah teman dekat lo saat ini, gimana?"
Apa tadi? Pertanyaan Vigo benar-benar sukses membuat Anggi terdiam, cewek itu bahkan sampai membayangkan hal yang terjadi jika Gaga adalah teman dekatnya saat ini. Dia membayangkan memeluk Gaga, bercerita banyak hal pada Gaga, bahkan menangis pada Gaga. Kemudian Anggi menatap Vigo dengan tatapan intimidasi, hal itu sukses membuat Vigo jadi gelagapan.
"Kenapa lo tanya kayak gitu? Lo tahu tentang Gaga?"
"Gu-gue 'kan cuma nanya doang, emang gak boleh?"
"Mencurigakan," ujar Anggi.
"Gue aja baru tahu Gaga itu siapa pas liat fotonya di rumah lo, gimana caranya gue bisa tahu Gaga?!" gerutu Vigo.
"Barangkali aja lo tahu, tapi lo sembunyikan dari gue," balas Anggi.
"Gak ada."
"Bagus deh. Jangan sampai gue dapat kabar kalau lo selama ini sembunyikan tentang Gaga dari gue," pungkas Anggi sukses membuat Vigo terdiam.
Apa yang akan cewek itu lakukan seandainya mengetahui fakta kalau Raga adalah Gaga?
"Lo mau ke mana?"
"Mau ke alamat Gaga," jawab Anggi.
"Emang dapat?"
"Dapat, teman SMPnya bilang, ada satu orang yang dipanggil Gaga, dia juga punya alamatnya."
"Di mana?"
Anggi menggeleng, dia tak tahu di mana rumah Gaga, tapi dari alamatnya Gaga berada di bagian Tangerang Selatan, maka dari itu Anggi berencana ke sana bersama Laura.
Kemudian cewek itu menyodorkan ponselnya pada Vigo, menunjukkan alamat rumah Gaga pada Vigo. Melihat itu, Vigo menelan nasi yang sudah halus dia kunyah dengan susah payah, apalagi saat melihat alamat rumah Gaga.
Ekspresi cowok itu tentu saja terkejut, tapi dia tak mungkin mengatakan pada Anggi kalau dia selangkah lagi bisa bertemu dengan Gaga. Namun, mengingat perkataan Raga yang tak ingin Anggi tahu tentang dia, Vigo pun mengambil inisiatif untuk mengajak Raga.
"Jalan-jalan, yuk!" ajak Vigo.
"Gue mau ngajak lo ke pantai yang bagus banget, mau?"
"Gue mau cari Gaga," kata Anggi yang tentunya menolak.
"Sekali ini aja, Gi. Gue mohon, setidaknya biar gue bikin lo bahagia walau cuma sehari."
***
Raga berdecak kesal karena sepupunya ini begitu ribut, terus saja mengoceh berbicara sana sini tanpa rem. Raga yang niatnya beristirahatlah malah urung kala mendengar ocehan Andra. Ya, Andra, cowok yang bertemu dengan Raga dan Anggi waktu itu.
Raga telah mengatur semuanya, dia yang membuat skenario itu. Mulai dari teman SD Gaga hingga teman SMP Gaga, tetapi Raga lupa untuk mewanti-wanti Anggi. Sayangnya, Anggi sudah mendapatkan alamat rumahnya, maka dari itu Raga mengungsi ke rumah sepupunya yang cerewet itu.
"Heran gue sama tuh orang, kok bisa-bisanya dia marah padahal yang salah itu dia," oceh Andra membuat Raga berdecak kesal. Ini kalau tak diperingati atau ditergur, yang ada Andra mengoceh sampai pagi. Tak akan berhenti.
"Terus pas sampai di minimarket, dia malah potong antrian. Udah di parkiran bikin kesal, eh pas di dalam juga bikin kesal."
"Andra, bisa diam gak? Sepuluh menit aja, gak lebih, kok," sela Raga. Kepalanya sakit, berdenyut-denyut sejak tadi dia pulang dari rumah sakit, tapi Andra terus saja mengocek.
"Dih, nyebelin lo. Ingat, ya, gue udah bantuin elo."
"Gak ikhlas, gue juga udah kasih sepatu gue, ya," balas Raga tak mau kalah.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi, tanda pesan masuk. Raga pun langsung mengambil ponselnya, apalagi saat melihat pop up di ponselnya menunjukkan pesan masuk dari Vigo.
Vigo : Anggi udah tahu alamat rumah lo, hari ini rencananya mau nyari alamat lo karena kemarin gak sempat. Sebisa mungkin gue tahan, supaya gak ketemu sama lo. Ngungsi, Ga, jangan lupa!
Raga tersenyum, Vigo benar-benar menuruti permintaannya untuk menyembunyikan semuanya dari Anggi. Anggi memang tak boleh tahu dia itu Gaga, dia tak ingin membuat Anggi sedih karena penyakitnya, apalagi kala mengingat Anggi adalah orang yang cengeng.
Raga : Tolong banget, Go. Anggi gak boleh tahu gue itu Gaga.
Setelahnya, tak ada lagi jawaban dari Vigo, Raga berdoa dalam hati, berharap Vigo bisa menahan Anggi. Kemudian perhatikan Raga beralih pada Andra yang kini juga memainkan ponselnya.
"Ndra, makasih yah, udah bantuin gue,"ujar Raga sepenuh hati. Dia tak tahu apa jadinya jika Andra tak ada.
***
Selasa, 09 Agustus 2022
#1041 word
KAMU SEDANG MEMBACA
Plot Twist (END)
Teen FictionSpin-off Ayo Peka! -Cerita ini diikutsertakan dalam 30 days Writing Marathon Challenge with Bougenvillea Publisher Cabang Bekasi- Vigo sadar, Anggi mengejarnya hanya karena menjadikan dia sebagai pelarian. Sebenarnya Anggi tengah mencari sahabat kec...