Ponsel Vigo berdering nyaring, tetapi Witan sama sekali tak mempedulikan. Kemudian selang beberapa detik, dering telepon mati, tapi tak lama ponsel Vigo kembali berdering. Witan berdecak kesal mendengarnya, dia pun melihat pemanggil di ponsel anaknya. Nama Wina tertera di sana, papanya Vigo itu mematikan telepon dari Wina. Witan yakin, Wina pasti memaksa Vigo untuk mendonorkan ginjalnya untuk Raga.
Namun, ternyata Wina di sana tak menyerah, dia tetap menelepon nomor Vigo hingga diangkat. Hal itu, membuat ponsel Vigo terus berdering dan membuat Witan muak akibat berisik.
Kesal karena berisik, Witan mengangkat panggilan dari Wina dan berkata, "Berhenti menghubungi anak saya jika kamu meminta anak saya untuk mendonorkan ginjal untuk Raga."
"Mohon maaf, saya hanya ingin memberitahukan Vigo kalau Raga semakin sekarat," ujar Wina di seberang sana. Mamanya Raga itu memang tak memiliki niat meminta Vigo mendonorkan ginjalnya untuk anaknya.
"Ya, hanya ingin memberitahukan, tapi saat dokter mengatakan bahwa Raga membutuhkan donor ginjal, kalian pasti akan memaksanya," tutur Witan menggebu-gebu. Dia tak suka mendengar alasan Wina.
"Saya hanya ingin memberitahu Vigo, tidak ada maksud lain. Kalau begitu, saya izin menutup teleponnya."
Sambungannya pun terputus, Wina tak habis pikir dengan papa Vigo yang menuduhnya menyuruh Vigo mendonorkan ginjalnya untuk Raga. Mana mungkin Wina sejahat itu? Dia tak lupa kalau Vigo juga adalah anak satu-satunya.
***
Baru saja Vigo ingin duduk di bangkunya, Anggi sudah menghampirinya dan menamparnya. Vigo tentunya tak mengertilah dia salah apa, pasalnya dia baru tiba. Mereka berdua juga menjadi pusat perhatian teman sekelas mereka.
Anggi menatapnya tajam, setajam belati yang siap menikamnya dari depan. Namun, Vigo menatap Anggi dengan tatapan bertanya, dia benar-benar tak mengerti dengan maksud Anggi yang tiba-tiba menamparnya. Bahkan parahnya, dia tak tahu salahnya di mana.
"Lo emang mau Gaga mati 'kan?!" sentak Anggi jelas saja membuat Vigo terkejut. Mana mungkin dia ingin Raga pergi untuk selamanya, kalau bisa, Vigo ingin bertukar posisi dengan Raga.
"Lo tiba-tiba tuduh gue atas dasar apa?"
"Kenapa lo gak datang semalam pas Gaga sekarat?" tanya Anggi balik. "Bukannya itu menandakan kalau lo emang mau Gaga mati?!"
Vigo menggeleng pelan, dia sama sekali tak tahu kalau Raga sekarat semalam. Itu semua karena ponselnya yang disita, bahkan laptop serta tabletnya juga disita. Jelas saja dia tak tahu.
"Kenapa cuma diam? Benar yang gue bilang tadi?"
Vigo menghela napasnya panjang, dia bahkan mengacak rambutnya frustrasi lantaran Anggi yang menuduhnya yang tidak-tidak. Saking bencinya Anggi padanya, Anggi malah mengatakan hal yang tidak benar. Vigo tentu saja kesal, tetapi tak bisa membantah, takutnya nanti Anggi semakin jadi menuduhnya.
"Semalam gue ketiduran," sanggah Vigo tentunya berbohong. Dia bahkan tak begitu nyenyak tidur karena memikirkan Raga.
"Alasan doang. Gue gak tahu sedendam apa lo sama Gaga, tapi satu hal yang lo harus tahu, Gaga gak pernah dendam atau marah banget sama lo."
Seketika, emosi Vigo tersulut mendengarnya. Dia kesal, apa Anggi menganggapnya dendam sana Raga karena kejadian di villa Lingga? Masih saja Anggi mengingat itu. Cowok itu menatap Anggi tajam, dia benar-benar tak suka mendengar perkataan Anggi barusan.
"Tahu apa lo tentang Raga?"
"Jelas gue tahu Gaga gimana," balas Anggi.
Vigo terkekeh mendengarnya, bahkan hingga membuat beberapa orang di kelas mengernyit heran. Mereka tadi bahas Gaga kini beralih bahas Raga, mendengar itu, teman sekelas Anggi dan Vigo semakin heran.
"Lo gak tahu apa-apa tentang dia, Anggi. Lo gak tahu karena lo gak sedekat saat lo kecil sama Raga. Lo emang tahu, apa keinginan Raga? Lo emang tahu apa mimpi Raga? Lo emangnya tahu alasan Raga sembunyikan semuanya dari lo?" tutur Vigo memberondongi Anggi dengan pertanyaan yang jelas Anggi tak tahu jawabannya.
Anggi diam, membuat Vigo tertawa terbahak-bahak, mengejek Anggi. Bukankah Anggi memang pantas untuk diejek? Berlagak sok tahu tentang Raga padahal sama sekali tak tahu.
"Emang pantas sih, Raga sembunyikan sama lo siapa dia sebenarnya. Lo soalnya pecicilan, suka ngegas padahal gak tahu apa-apa," lanjut Vigo sukses membuat Anggi marah.
Wajah cewek itu bahkan memerah, marah dan malu di saat bersamaan. Karena merasa sudah tak punya muka lagi di depan Vigo, Anggi memilih kembali ke bangkunya, meninggalkan Vigo yang kini menatap punggung cewek itu sendu. Vigo jelas tahu sesedih apa Anggi, apalagi saat mengetahui siapa sebenarnya Raga.
***
Jam istirahat pelajaran jelas saja dimanfaatkan untuk makan, bermain bersama teman-teman atau hal lainnya. Begitu juga dengan Vigo. Cowok itu memilih duduk agak jauh dari bangku Anggi, Lingga, dan Laura. Sejak pagi tadi, Lingga atau Laura tak menegurnya, pastinya Vigo tahu, Lingga marah padanya karena telah menyembunyikan tentang Ragae.Di meja mereka, Lingga melihat Vigo duduk paling pojok sebelah kanan dekat pintu masuk kantin. Lingga menghela napasnya lelah melihat Vigo. Niatnya ingin bertanya pada Vigo semua tentang Raga. Vigo yang banyak tahu tentang Raga dibandingkan dirinya. Cowok itu ingin bertanya semuanya tentang Raga.
"Sebentar pada ke rumah sakit, gak?" tanya Anggi di sela-sela makan mereka.
Laura mengangguk, dia masih mengunyah batagor dengan saus kacang di depannya. Ktika sudah benar-benar menelan hasil kunyahannya, Laura pun berkata, "Gue ikut kok. Kemarin gak sempat liat Raga."
Anggi tersenyum, tapi tak lama senyumnya luntur karena menatap Laura serius, "Btw, gigi lo gimana, Ra?"
Laura tersenyum, dia teringat kalau kemarin dia periksa gigi berlubang karena sakit. Namun, sekarang sudah mendingan.
"Udah baikan, kok," jawab Laura kembali menyantap batagornya.
Tiba-tiba Lingga bangkit dari duduknya, hal itu sukses membuat Anggi dan Laura mendongak menatap cowok itu.
"Udah selesai makannya?" tanya Laura lembut.
Lingga menggeleng, dia kemudian mengambil sepiring nasi kuningnya, kemudian meninggalkan Laura dan Anggi menuju tempat Vigo makan.
Sesampainya di tempat Vigo, Lingga langsung saja meletakkan piringnya di meja dan duduk tanpa permisi. Tentu saja tindakan Lingga membuat Vigo heran.
"Jelasin deh, sama gue, kenapa bisa Raga sembunyikan semuanya dari kita? Apa alasannya?"
Vigo menghela napasnya, dia meletakkan sendok yang tadi dia gunakan untuk makan gado-gado, kemudian menatap Lingga sejenak.
"Raga gak mau buat kita khawatir, dia juga gak mau buat kita kasihan sama dia karena dia punta penyakit. Bahkan, waktu kita olahraga pun, dia tetap aja ikut padahal dia gak boleh kelelahan," jelas Vigo.
Lingga hanya diam seraya menyantap nasi kuningnya, tetapi dia tetap mendengar.
"Alasan yang lain?"
"Anggi. Raga juga gak mau Anggi khawatir sama dia. Raga cinta sama Anggi."
"Tahu dari mana Raga cinta sama Anggi?"
"Tatapannya."
Jawaban itu sudah cukup untuk Lingga. Cowok itu memang tak suka berbelit-belit. Dia juga tahu, Raga pasti memiliki perasaan pada Anggi.
***
Rabu, 17 Agustus 2022
#1055 word
KAMU SEDANG MEMBACA
Plot Twist (END)
Roman pour AdolescentsSpin-off Ayo Peka! -Cerita ini diikutsertakan dalam 30 days Writing Marathon Challenge with Bougenvillea Publisher Cabang Bekasi- Vigo sadar, Anggi mengejarnya hanya karena menjadikan dia sebagai pelarian. Sebenarnya Anggi tengah mencari sahabat kec...