Hanya kedua orang tua Raga dan Vigo yang mengetahui penyakit Raga. Raga meminta untuk disembunyikan. Bukan hanya penyakitnya saja, tapi juga identitasnya pada Anggi. Raga meminta Vigo untuk membahagiakan Anggi, sayangan Vigo tak tahu harus berbuat apa, di saat Anggi tak lagi dekat dengannya.
Cowok itu menatap langit-langit kamarnya, memikirkan akan perasaan pada Anggi yang masih belum tentu. Dia juga masih bingung, sebenarnya rasa apa yang dia miliki untuk Anggi. Cewek itu benar-benar mampu menarik perhatian Vigo.
Rasa apa sebenarnya yang dia punya untuk Anggi? Suka atau hal lain?
Vigo mencoba mencari-cari jawaban dari pertanyaan di hatinya, sekali-kali bertanya pada diri sendiri. Vigo membayangkan wajah Anggi, barangkali dia bisa mendapatkan jawaban. Namun nihil, bukannya jawaban yang dia dapatkan, malah kebingungan yang tiada tara.
"Kalau kayak gini terus, yang ada gue bisa gila," gumam Vigo.
Cowok itu berdecak kesal, dia menendang guling di sampingnya hingga tergeletak di lantai.
"Gi, lo benar-benar bikin gue hampir gila."
***
Raga yang baru saja selesai meminum obatnya, berniat ingin lanjut tidur. Efek dari cuci darahnya kemarin masih sedikit terasa, maka dari itu Raga masih belum masuk ke sekolah hari ini. Namun, panggilan masuk dari ponselnya membuat Raga urung untuk lanjut tidur.
Tangannya bergerak, mengambil ponselnya di nakas. Nama Anggi tertera di sana sebagai pemanggil. Tanpa berpikir panjang, Raga langsung mengangkat panggilan dari Anggi, dia tersenyum kala mendengar sapaan dari Anggi.
"Ga, gue udah ketemu sama alamat rumahnya Gaga!" seru Anggi senang.
Sayangnya, jantung Raga berdetak tak menentu. Keringat dingin mengucur deras di pelipisnya, dia ketakutan, takut bila Anggi mengetahui identitasnya. Cowok itu seketika diam, tak bisa berkutik.
"Besok gue bakal ke sana, lo mau nemenin, gak?"
Raga mengerjap berkali-kali, bibirnya kelu hanya sekadar menjawab pertanyaan Anggi yang pastinya akan membuat semuanya terbongkar. Cowok itu menggaruk tengkuknya, tak tahu harus menjawab apa. Anggi bisa saja kecewa padanya, atau parahnya Anggi bisa saja tak mau lagi dekat dengannya.
"Sorry, Gi, gue gak bisa," tolak Raga membuat Anggi mendesah kecewa.
Di seberang sana, Anggi hanya bisa pasrah kala Raga menolak permintaannya. Anggi tak berani ke alamat rumah Gaga sendiri, dia butuh seseorang untuk menemaninya.
"Sorry banget, Gi."
"Gak pa-pa, masa gue harus maksa, sih."
"Gimana kalau minta tolong Laura aja?" saran Raga.
Dalam hati, cowok itu berharap Anggi mau mengajak Laura yang buta maps, agar mereka tak mendapatkan alamat rumahnya. Apalagi lagi Anggi yang juga buta maps. Raga terus berdoa, sembari menunggu jawaban dari Anggi.
"Gak, Laura buta maps, yang ada nanti gue sama dia malah tersesat," ungkap Anggi.
Anggi benar-benar tak mau mengajak Laura yang buta maps, ditambah lagi dengan dia yang takut mengganggu Laura yang juga tengah memiliki masalah dengan Lingga. Seandainya Laura tak memiliki masalah pada Lingga, seandainya Laura tak sering mengeluh akan dirinya dan Lingga, Anggi pasti bisa bercerita segala pada Laura.
***
Ketika pagi telah tiba, Anggi adalah salah satu dari banyaknya peserta didik yang malas untuk masuk sekolah, apalagi kalau hari ini ada kata pelajaran Matematika. Menyebalkan, bukan?
Cewek itu memasuki kelas dan langsung duduk di kursinya, sebentar lagi guru mata pelajaran Matematika pasti akan masuk, karena bel masuk telah berbunyi. Huh, sekalipun hujan deras atau banjir bandang, guru Matematika pasti tetap datang. Hal itu membuat banyak siswa yang heran. Kapan guru Matematika tak masuk barang sehari saja?
Anggi mengernyit heran kala melihat hampir semua teman sekelasnya menulis banyaknya rumus dengan cepat. Apakah ada PR? Cewek itu melihat pada Laura yang cuma santai-santai saja, dia juga melihat Vigo dan Raga yang santai. Kalau Raga santai, berarti tak ada tugas. Tapi kenapa teman-temannya sibuk mencatat? Apa sebentar ada pemeriksaan buku catatan?
Anggi pun langsung saja duduk di tempatnya. Ketika sudah duduk, dia menarik rambut Laura pelan, bertanya ada gerangan apa sampai semua teman sekelas mereka mencatat begitu cepat. Laura menoleh, tentunya juga membuat Lingga menoleh.
"Ada apa, sih?" tanya Anggi membuat Laura langsung memukul lengan cewek itu pelan.
"Sakit, Ra. Lo kok kasar banget sih?" protes Anggi. "Lingga, lihat nih pacar lo," imbuhnya mengadu pada Lingga karena Laura telah memukulnya.
"Dih, gak keras, ya, gue mukulnya."
Anggi memutar bola matanya malas.
"Pertanyaan gue belum dijawab, btw."
"Ada tugas, Gi. Lo udah?"
Anggi mengernyit tak mengerti, tugas apa? Seingat dia, sama sekali tak ada tugas yang diberikan oleh Ibu Sari pada mereka.
"Tugas apa?"
"Matematika, hari ini dikumpulin. Lo udah?"
Anggi berhenti berbicara, tetapi dia menatap Laura seakan tak percaya. Kemudian dia mengingat-ingat lagi, benarkah Minggu kemarin ibu Sari memberikan mereka tugas? Tapi seingat
Anggi, sama sekali tak ada tugas. Cewek itu langsung saja mengambil buku matematika di tasnya, mencari catatan sebagai pengingat kalau ada tugas. Benar saja, di bukunya tertulis soal dan hari terakhir dikumpul.INGAT!
MATEMATIKA ADA TUGAS YANG DIKUMPULIN KAMIS PAGI.Seperti itulah yang tercatat di bukunya, kemudian Anggi melihat pada soal matematika itu. Ada 3 soal, tetapi bercabang. Masing-masing soal memiliki 3 cabang, jadi total semuanya adalah 9 soal. Anggi langsung berdiri dan memajukan tubuhnya untuk meraih buku Laura di meja, tangannya yang panjang langsung bisa menggapai buku Laura.
"Pinjam, gue belum buat," katanya.
"Habis lo."
Anggi baru saja berniat ingin menulis, tetapi ibu Sari sudah lebih dulu masuk dan mulai membuka pelajaran. Sebelumnya, guru Matematika itu juga meminta semuanya untuk mengumpulkan tugas agar diperiksa.
"Siapa yang gak ngerjain tugas?" tanya ibu Sari.
Anggi menelan ludahnya kesusahan, dia tahu, saat ini ada dalam masalah besar. Hukumannya hanya ada dua pilihan, mencatat rumus yang dihafal selama belajar dari kelas sepuluh atau keluar dari kelas dan tak boleh masuk bisa tidak bisa menjawab pertanyaan soal Matematika kelas sepuluh. Tentu keduanya bukanlah pilihan yang mudah.
"Ayo angkat tangan," perintah ibu Sari.
Anggi pun mengangkat tangannya, dia memejamkan matanya takut dimarahi.
"Mau keluar atau—"
"Keluar aja, deh, Bu," potong Anggi. Dia memilih keluar dan jika memilih keluar, dia punya kesempatan untuk belajar.
Anggi pun keluar, saat keluar, dia melewati bangku Vigo dan Raga. Cewek itu sama sekali tak melirik pada keduanya, dia masih mikirkan soal apa yang nanti diberikan ibu Sari padanya.
Ketika Anggi sudah keluar, ibu Sari kembali bertanya, "Siapa lagi?"
Dan dengan mantap, Vigo mengangkat tangannya, membuat Raga seketika menoleh padanya, begitu juga dengan Lingga yang seakan tak percaya. Pasalnya, Vigo tak pernah sekalipun tak mengerjakan tugasnya, sekalipun itu tugas yang berat atau susah dia pahami.
"Keluar," perintah ibu Sari.
Raga yang mengetahui maksud Vigo pun tersenyum, ternyata Vigo mengikuti perkataannya.
***
Jumat, 05 Agustus 2022
#1053 word
KAMU SEDANG MEMBACA
Plot Twist (END)
Ficção AdolescenteSpin-off Ayo Peka! -Cerita ini diikutsertakan dalam 30 days Writing Marathon Challenge with Bougenvillea Publisher Cabang Bekasi- Vigo sadar, Anggi mengejarnya hanya karena menjadikan dia sebagai pelarian. Sebenarnya Anggi tengah mencari sahabat kec...