Anggi menggerutu lantaran dia sama sekali tak membawa topi di hari Senin ini. Semuanya karena dia buru-buru ke sekolah karena jam telah menunjukan pukul 06:50. Kalau saja semalam dia tak menuruti keinginan Vigo untuk ditemani jalan-jalan, dia tak akan terlambat bangun akibat kelelahan.
Dua hari sudah Vigo mengajak jalan-jalan, membuatnya juga harus menunda untuk mencari alamat Raga. Tentunya, Anggi tergiur, apalagi dia yang merasa bosan dan kesepian di rumah. Cewek itu bahkan sampai terbawa suasana ketika jalan-jalan.
Semuanya mulai berlarian ke lapangan untuk mengikuti upacara bendera, matahari yang terik benar-benar membuat Anggi malas untuk ke tengah lapangan. Dia ingin ke UKS saja dengan alasan sakit, toh kalau ditanya sakit apa, tinggal jawab saja sakit kepala. Gampang 'kan?
Ketika semuanya sudah berbaris di lapangan, bagi peserta didik yang memakai atribut lengkap berada di depan, sementara peserta didik yang tidak menggunakan atribut lengkap, berada di belakang. Di mana terik matahari membuat semuanya pasti berkeringat. Setelah upacara, merekam juga akan dihukum. Duh, sial sekali Anggi hari ini.
Demi apapun, Anggi menyesal menerima tawaran Vigo. Kini cewek itu sudah mencak-mencak, kakinya dihentakkan berkali-kali, kesal bukan main. Kenapa juga dia sampai lupa membawa topinya? Padahal itu bisa digunakan untuk menutup wajahnya dari terik matahari.
Tak ingin di barisan paling belakang, Anggi memilih masuk ke barisan paling tengah, agar dia bisa berjongkok dan berteduh walau sejenak.Namun, ketika dia baru saja berbaris, tiba-tiba saja ada topi terpasang di kepalanya, hingga terik matahari tertutup oleh topi itu. Anggi mendongak, melihat siapa yang sudah berbaik hati memberikannya topi.
"Ga?" lirih Anggi seakan tak percaya, Raga berdiri di sampingnya dengan wajah pucat juga senyum tak luntur dari bibirnya.
"Makanya topi tuh simpan aja di laci meja, biar gak dihukum nanti. Sana, ikut berbaris," ucap Raga.
"Lah, lo gimana, Nying?"
"Ck, khodamnya Vigo ... gue berniat baik malah ditolak," decak Raga.
"Bukan nolak, gue nanya. Gak ada niatan juga mau nolak, orang gak mau dihukum," balas Anggi berseru senang. Bersyukur upacara bendera belum mulai.
"Thank, Ga. Habis upacara gue traktir sepuasnya," lanjut Anggi kemudian meninggalkan barisan itu.
Ketika Anggi sudah benar-benar di barisan yang punya atribut lengkap, ponsel Raga di saku celananya berdenting, hal itu membuat cowok itu langsung berniat menyalakan mode silent. Namun, sebelum itu, Raga melihat pesan masuk dari Vigo.
Vigo : Ga, lo serius di situ? Gimana kalau lo kenapa-kenapa?
Raga : Gak pa-pa, Anggi kelihatan bahagia. Gue senang.
Sebenarnya bukan itu yang menjadi masalah Vigo, tetapi Raga yang sakit dan tak bisa kelelahan. Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada Raga?
Vigo : Pake topi gue aja, biar gue di sana.
Raga : Gak usah. Ini kesempatan emas lo untuk minta maaf sama Anggi. Kok bisa-bisanya dua hari jalan bareng dia masih gak mau maafin lo?
Dua hari jalan-jalan bersama Anggi, sayangnya Anggi masih belum memaafkan Vigo.
***
Ketika amanat pembina upacara dimulai, Raga yang berada di barisan belakang, sudua merasa mual juga pusing. Bukan hanya itu saja, perutnya terasa keram. Cowok itu merasa tak bisa berdiri lagi, matanya pun berkunang-kunang.
Perlahan-lahan semuanya terlihat gelap, kemudian tubuhnya tak bisa lagi ditopang. Keseimbangan Raga hilang, tubuhnya ambruk hingga membuat orang-orang di sampingnya terkejut. Anggota PMR langsung menghampiri Raga, membawa tandu darurat untuk mengangkat Raga.
Di barisan peserta didik yang memiliki atribut lengkap, Vigo menoleh karena melihat keributan tersebut. Matanya melebar tak percaya kala melihat Raga dibawa menggunakan tandu darurat ke UKS. Begitu juga dengan Anggi, dia terkejut saat melihat Raga dibawa. Seketika rasa bersalah menjalar di hatinya, Anggi benar-benar merasa bersalah karena telah membuat Raga pingsan. Seandainya Raga tak memberikan topinya pada Anggi, Raga tak akan pingsan.
Sudah tak peduli pada amanat upacara dari pembina upacara, Anggi berlari menghampiri mereka.
"Raga kenapa?" tanya Anggi. Tapi tak dijawab, mereka melangkah cepat menuju UKS, apalagi saat melihat wajah Raga yang begitu pucat.
Dari wajahnya yang Anggi lihat, Raga sakit.
"Ga, lo gak pa-pa 'kan?" tanya Anggi sembari mengikuti Raga yang dibawa dengan tandu darurat.
"Ga, bangun! Masa gitu aja lo pingsan." Anggi masih mencoba untuk membangunkan Raga, tetapi dia sama sekali tak mendapatkan respon. Tentunya itu membuat Anggi kesal.
"Raganjing, bangun. Lo malah bikin gue takut," ujar Anggi. Nada suara cewek itu bergetar, dia sungguh takut Raga kenapa-kenapa karenanya. Raga pasti kepanasan, Raga pasti tak sanggup dengan terik matahari.
Ketika sampai di UKS, Raga langsung dibaringkan di ranjang, hidung cowok itu diberi aroma minyak kayu putih, kepalanya juga dioleskan minyak kayu putih, dan perutnya juga seperti itu. Bukan hanya itu saja, kaki cowok itu posisinya lebih tinggi dari kepalanya.
Vigo juga menyusul, dia harus secepatnya membawa Raga agar secepatnya mendapati penanganan yang tepat. Mereka tak tahu kondisi Raga sebenarnya. Vigo harus segera menyusul dan segera membawa Raga ke rumah sakit.
"Ga, lo kalau bercanda gak lucu, ya? Lo pingsan supaya gak upacara, 'kan?"
Anggi masih saja memberondongi Raga dengan pertanyaan. Saat Vigo telah sampai, dia melihat Anggi yang benar-benar khawatir. Cowok itu paham, pasti Anggi merasa bersalah. Andai Anggi tahu, Raga melakukan ini semua demi dirinya.
"Raga harus dibawa ke rumah sakit," ucap Vigo seketika membuat Anggi menoleh. Mata Anggi yang memerah, menandakan kalau cewek itu menahan tangisnya. Vigo yakin, Anggi pastinya merasa bersalah.
"Raga kenapa, Go?"
"Bukan saatnya buat nanyain itu, Gi. Gue harus bawa Raga ke rumah sakit," jawab Vigo jelas membuat Anggi menelan pahit-pahit kekecewaan. Kenapa dia tak boleh tahu? Ada apa sebenarnya?
"Bantu gue bawa Raga ke mobil gue," pinta Vigo pada anggota PMR yang ada di UKS.
Vigo dan 3 orang anggota PMR cowok, membantu Vigo mengangkat Raga ke mobilnya. Namun, baru saja Raga diangkat, cowok itu sudah membuka matanya. Otomatis Vigo juga menurunkan Raga kembali di ranjang. Tatapan mata Raga sangat memohon pada Vigo, kemudian Raga melirik pada Anggi yang kini sudah menangis karena melihat Raga telah siuman.
"Ga—"
Vigo berniat protes, tapi tatapan memohon Raga membuat Vigo urung.
"Jiah yang pada khawatir sama gue," seru Raga membuat Vigo mengalihkan pandangannya.
"Dih, gue cuma pingsan pura-pura, Gi. Jangan lebay, lagian juga cuma pingsan, bukan mati. Begitu sayangnya lo sama musuh lo ini."
Anggi kesal, tentu saja. Siapa yang tidak khawatir saat orang yang menolong kita malah berpura-pura pingsan? Anggi sudah sangat takut tadi, takut Raga pingsan karenanya. Karena kesal, Anggi menghampiri Raga, dan tanpa aba-aba, cewek itu langsung menampar pipi Raga.
"Keterlaluan, Ga. Gue khawatir, bisa gak, jangan kayak gini?"
Raga menunduk, dia hanya tak ingin membuat Vigo atau Anggi khawatir, tapi nyatanya dia malah membuat kedua orang itu benar-benar khawatir.
***
Rabu, 10 Agustus 2022
#1081 word
KAMU SEDANG MEMBACA
Plot Twist (END)
JugendliteraturSpin-off Ayo Peka! -Cerita ini diikutsertakan dalam 30 days Writing Marathon Challenge with Bougenvillea Publisher Cabang Bekasi- Vigo sadar, Anggi mengejarnya hanya karena menjadikan dia sebagai pelarian. Sebenarnya Anggi tengah mencari sahabat kec...