8. Perihal Mimpi dan Rasa Takut

41 1 1
                                    

'Aku tak ingin membuaimu dengan janji. Menenggelamkan jiwamu dalam pengharapan yang semu. Biarkan aku bersamamu tanpa ekspetasi takkan pergi.'

Happy reading!!

__

"Dalam hidup, ketenangan adalah hal yang paling dicari. Namun, apakah untuk mencapai tenang mengabaikan semua orang yang peduli? Berdalih ingin sendiri, menepi dari ramainya sorakan yang ingin menemani," ujar Arshaka menghampiri Viona yang tengah termenung di bangku taman belakang sekolah.

"Enggak semua orang peduli itu benar-benar peduli. Kebanyakan hanya seolah peduli dan hanya sekedar penasaran. Terkadang kita harus menepis hal-hal yang membuat kita terusik karena terlalu berisik," balas Vio menatap lurus ke depan tanpa melihat Arshaka.

Arshaka mendudukkan dirinya di sebelah Vio. "Kenapa di sini sendirian?" tanyanya.

"Seperti yang kamu bilang, ketenangan," jawab Vio menatap Arshaka dengan seulas sabit tipis.

"Kenapa enggak ke kantin? Udah makan?" Vio hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Melihat itu, Arshaka menggenggam tangan Vio hendak mengajaknya untuk sekedar mengisi perut kosongnya. Namun, malah penolakan yang dia dapat.

"Aku enggak mau Arshaka," tolak Vio menahan tangan Arshaka yang ingin menariknya. Arshaka mengurungkan niatnya, lebih memilih untuk mendengarkan Vio.

"Kamu ada masalah? Kamu bisa cerita sama aku, aku siap jadi pendengar kamu. Dan aku minta maaf soal semalam, aku ketiduran," ucap Arshaka berbohong. Dia tidak ingin membuat Vio khawatir, tugasnya adalah menjaganya.

"Enggak papa, aku paham."

"Kamu ada masalah?" tanya Arshaka mengulang pertanyaannya.

"Enggak ada," jawab Vio.

"Katanya kebohongan itu manis, dan kebenaran itu pahit. Namun, aku lebih suka kebenaran. Jadi, kamu bisa kan jujur sama aku, Vio? Jadikan aku tempat bersandar atas masalah kamu," ucap Arshaka menggenggam tangan Vio.

"Enggak ada masalah Arshaka. Aku cuma kepikiran sama mimpi tadi malam," ucap Vio akhirnya.

"Mimpi? Mimpi tentang apa yang sampai buat kamu jadi diam gini?" Arshaka memposisikan duduknya lebih nyaman, bersiap menampung cerita Vio.

"Kamu."

"Kamu mimpiin aku apa?" tanya Arshaka tersenyum, tak ulung dia semakin penasaran.

Vio mengalihkan pandangannya dari Arshaka, menatap lurus hamparan rumput dan bunga.

"Di dalam mimpi aku kamu pergi. Kamu menjadi sosok yang berbeda. Kamu pergi jauh dari aku dan aku sendirian tanpa siapapun. Aku sendirian dalam dunia ini, semua orang seakan benci sama aku. Aku bertanya-tanya kenapa aku dibenci? Tapi, bukan jawaban, melainkan caci maki yang aku dapati, Arshaka. Aku takut," papar Vio dengan mata yang mengembun, memburamkan pandangannya. Bila saja dia berkedip, maka bulir bening itu akan meluncur.

Arshaka terdiam mendengarkan, dia tak tahu harus merespon bagaimana. Dia tidak ingin menjanjikan apapun, jika akhirnya dia ingkari. Arshaka menangkup kedua pipi Vio.

"Dengerin aku, aku gak pernah tau apa yang bakal terjadi di masa depan. Tapi, aku cuma mau bilang, kamu itu kuat, kamu enggak lemah. Kamu pasti bisa hadapin itu semua kalaupun semua mimpi kamu itu akan jadi nyata," ucap Arshaka. Sejenak dia terdiam untuk sekedar menarik napas.

"Dan soal aku pergi di mimpi kamu, aku enggak akan berjanji untuk tidak pergi, Vio. Namun, satu hal yang harus kamu tau, aku akan ada disaat kamu butuh. Aku akan berusaha tetap menjadi Arshaka yang kamu kenal, tidak akan berubah. Sebenarnya aku enggak mau janji, karena aku takut enggak bisa nepatin itu semua. Aku cuma minta jangan khawatir, aku akan tetap ngejaga kamu jika akhirnya kita harus menjauh nantinya. Seperti mentari dan bumi, menjauh untuk menjaga," terang Arshaka berhasil meruntuhkan pertahanan Vio untuk tidak menurunkan hujan di pipi. Arshaka mendekap tubuh Vio, mengusap punggungnya lembut.

Nabastala Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang