3. BangKu

59 4 0
                                        

"Disaat seseorang memilih mempertahankan egonya, disitulah rasa takut kehilangan menggerogoti hatinya."

Happy reading!!!

_____

Di sebuah cafe, seorang pemuda tampan terlihat sedang berkumpul bersama teman-temannya. Seakan tak ada beban, semua tertawa lepas saling melempar candaan.

"Eh, bro jam berapa sekarang?" tanya seorang pemuda di sela-sela candaan mereka.

Dia Xavier Zayden Dirgantara, putra sulung Hendra Dirgantara dan Ratih Ayunda. Abang sepupu kesayangan Viona. Sekarang, dia duduk di bangku perkuliahan semester awal Manajemen Bisnis. Dia bertekad meneruskan bisnis keluarganya.

"Baru jam tiga sore," jawab Iqbal--- teman Xavier.

"Sial, gue harus jemput adek gue. Kenapa Lo gak bilang dari tadi si?" tanya Xavier heboh. Merapikan sedikit bajunya yang berantakan lalu bangkit hendak meninggalkan cafe tersebut.

"Ya mana gue tau, Lo juga baru tanya," jawab Iqbal, tak terima jika disalahkan. Lagipula memang ini bukan salahnya.

"Gue duluan," pamit Xavier menyambar kunci mobilnya yang tergeletak di meja dan dengan terburu-buru berlari menuju tempat mobilnya terparkir.

"Kenapa gue bisa kelupaan sih? Gue pastiin itu anak pasti udah nungguin gue sambil manyun," duga Xavier sudah hapal di luar kepala sikap adik sepupunya itu. Setelah sampai di mobilnya, dia bergegas masuk dan menjalankannya menuju sekolah Viona--- SMA Bima Sakti.

Di lain sisi, Vio baru saja keluar dari kelasnya. Sebenarnya kelas selesai beberapa menit yang lalu, tetapi besok jadwal piketnya. Karena takut besok kesiangan, jadi dia mengerjakan piketnya hari ini. Baru beberapa langkah dari pintu, terlihat Arshaka sedang terduduk memainkan ponselnya. Sepertinya dia menunggunya sedari tadi.

"Arshaka, belum pulang?" tanya Viona basa-basi yang sebetulnya dia sudah tau jawabannya.  Merasa ada yang memanggil namanya, dia mengalihkan atensinya ke sumber suara. Dia mengakhiri permainannya dan menyimpan ponselnya.

"Belum. Udah selesai?" tanya Arshaka bangkit dari duduknya.

"Udah. Ayok pulang!" ajak Vio.

Mereka beriringan menuju gerbang sekolah. Sesekali saling melempar candaan ringan. Koridor pun sudah lumayan sepi, mungkin hanya tinggal anak organisasi dan murid yang sengaja nongkrong terlebih dahulu menunggu parkiran sepi, sebab kendaraan mereka yang sulit keluar.

"Pulang sama siapa?" tanya Arshaka ketika sampai di ujung koridor.

"Bang Xavier, siapa lagi?"  Bukannya berjalan lurus ke arah parkiran untuk mengambil motornya, Arshaka mengikuti Vio sampai depan gerbang.

"Shaka enggak ke parkiran?" Heran Vio menyadari Arshaka malah mengikutinya.

"Nanti, aku temenin sampai Bang Xavier dateng," jawab Xavier bersandar pada dinding penyanggah gerbang.

"Aku bisa nunggu sendiri. Arshaka kalo mau pergi, pergi aja." Bukan niat mengusir, tapi Vio tidak enak hati. Tadi Arshaka telah menunggunya piket kelas, jadi tidak mungkin sekarang dia meminta untuk menemaninya menunggu Xavier. Lagian Abang lucknutnya kemana coba, kenapa dia belum sampai juga?

"Aku temenin," ucap Arshaka, tetap pada pendiriannya.

Menghela napas panjang, "Yaudah, terserah Arshaka." Pasrah Vio.

Hampir sepuluh menit lamanya mereka menunggu, akhirnya yang ditunggu menampakkan wujudnya. Xavier turun dari mobil menghampiri mereka dengan wajah tanpa berdosanya.

Nabastala Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang