Konsultasi

122 10 0
                                    

~ Tujuh tahun bukan waktu yang singkat ~

Arieanna memperhatikan sekelilingnya yang ramai. "Mbak harus banget ya?" tanya Arieanna yang merasa tidak nyaman di tempat seperti ini.

Wangi obat-obatan yang menyeruak, suara tangisan, serta wajah-wajah murung membuat nya sangat merasa tidak nyaman.

"Mbak udah janji sama mama papa kamu buat bawa kamu ke sini!" ujar Sintia. Arieanna hanya bisa menghela nafas nya.

"Tapi Yana gak gila mbak," cicit gadis itu. Sintia langsung menatap mata indah milik Arieanna yang kehilangan binarnya itu.

"Kamu gak gila Yana! Dokter jiwa bukan hanya untuk orang gila. Liat tuh dari tadi yang masuk ke ruang dokter itu apa ada yang keliatan kayak orang gila?" tanya Sintia, membuat Arieanna langsung memperhatikan orang yang sedari tadi keluar masuk ruangan itu.

"Enggak kan?" tanya Sintia mendapat anggukan dari Arieanna. Gadis itu tidak menemukan ciri-ciri orang gila masuk ke dalam ruang dokter itu.

"Ya udah atuh, lagi pula dokternya nanti itu sahabat mbak," ujar Sintia sambil tersenyum manis.

"Oh ya, siapa?" tanya Arieanna penasaran.

"Itu yang tinggal di depan rumah kita, cowok yang nama nya Hydar, sahabat mbak itu!" ucap Sintia. Arieanna mengangkat salah satu alisnya.

"Cowok yang kemarin?" tanya Arieanna kaget. Sintia langsung mengangguk. Dia tak menyangka bahwa sahabat mbaknya adalah seorang dokter spesialis jiwa.

"Kata ibunya cowok itu, mbak sama cowok itu sahabatan sejak kuliah ya?"

"Iya udah sejak kuliah," jawab Sintia dengan senyum yang sedikit mencurigakan.

Arieanna mengangguk saja. Gadis itu kemudian memperhatikan Sintia yang tidak henti mengecek ponselnya dengan raut gelisah.

"Pacar nya gak jawab pesan mbak ya?" tanya Arieanna.

"Hah? Eh, kok tau?" tanya Sintia terkejut, perempuan itu tidak pernah bercerita pacaran dengan seseorang kepada Arieanna.

Arieanna terdiam sesaat. Gadis itu jelas tau, dia pernah pacaran selama tujuh tahun, mengecek ponsel berulang kali dengan raut berharap pesan nya di jawab, jelas sekali sudah sering dia lakukan dahulu.

Perasaan kecewa berat itu kembali menghantuinya. Gadis itu menelan salivanya sulit, mau berusaha sekuat apapun melupakannya, kenangan mereka sulit untuk dihapuskan. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat.

"Yana kamu gapapa?" tanya Sintia sambil mengelus punggung Arieanna. Mata gadis itu terlihat berkaca-kaca.

"Padahal tinggal besok mbak," ucap Arieanna dengan begitu lirih. Lirihan gadis itu sangat menyayat hati. Sintia hanya bisa terus mengelus punggung sepupunya.

"Dia gak pantes buat kamu Yana." Arieanna menatap Sintia, lelaki itu yang tak pantas atau dirinyalah yang tak cukup pantas untuk bersanding dengan lelaki itu.

Entah mengapa Arieanna merasa kurang percaya diri belakangan ini. Semua yang dia lakukan seakan-akan salah dan dia membenci hal itu.

"Nona Arieanna Ananta Gabriela." Suara suster memanggil membuat Arieanna bangkit dari tempat duduknya.

"Gak perlu mbak temenin kan?" tanya Sintia. Arieanna diam sesaat, dia ingin ditemani, namun akhirnya gadis itu menggeleng kala melihat Sintia harus menerima telpon dari seseorang.

ARIEANNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang