Zea 0.1

5.8K 519 3
                                    

Gadis itu berdiam diri di pembatas balkon kamarnya, asap putih mengepul melalui mulutnya yang kecil namun sedikit berisi. Tidak, itu bukan asap yang disebabkan karena menggunakan barang yang dibakar dan berbahan nikotin itu, bukan. Melainkan disebabkan karena cuaca pagi ini yang sangat dingin. Jelas, jam masih menunjukan pukul 3:30.

Angin berhembus cukup kencang, menerbangkan helaian rambutnya yang memang sengaja diurai, mungkin jika ada yang melihat gadis ini mereka akan bertanya-tanya 'apakah gadis ini tidak merasa kedinginan?' Pasalnya ia hanya mengenakan kaos tipis berlengan pendek juga celana kain selutut, jangan lupakan kaki-nya yang tak memakai alas.
Perlahan, gadis itu melangkahkan kaki-nya kembali menuju kamar, bukan untuk tidur kembali, melainkan membawa handuk dan menuju kamar mandi.

Usai memenuhi bathub dengan air hangat, ia mulai menceburkan dirinya yang sudah tak memakai sehelai benang pun ke dalam, menutup matanya merileks 'kan tubuh. Matanya menatap ke arah langit-langit kamar mandi.

"Satu minggu." Gumamnya pelan. Ya, gadis itu adalah Lyodra. Tepatnya, jiwa yang menempati raga itu adalah Lyodra, sedangkan raganya bukan miliknya.

"Zeanetha Gabriena Abraham. Huh, kayaknya mulai sekarang hidup gue bakal jauh lebih menyenangkan." Kekehnya pelan dan langsung beranjak mengenakan handuk keluar dari kamar mandi.

Selesai dengan pakaiannya, ia duduk di depan meja rias, matanya tak mengalihkan perhatian berang sedikitpun dari pantulan raga baru-nya ini. Zeanetha Gabriena Abraham, anak pertama dan perempuan satu-satunya keluarga Abraham. Kakak si tokoh antagonis laki-laki.

Lyodra atau bisa kita panggil Zeanetha sekarang sedang mengetuk-ngetuk meja rias dengan kuku panjangnya yang indah, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman manis. Ya, bila mereka yang tidak mengenalnya pasti menganggap senyuman itu adalah senyum paling indah di dunia, tapi tidak bagi mereka yang mengenal Zeanetha.

"Mari kita lihat Zeanetha, pertunjukan apa yang terjadi dalam hidup lo. Gue harap, itu gak ngebosenin seperti yang tertulis di novel."

***

Seorang pemuda beranjak dari tempat duduknya, suasana di sana tampak begitu ramai, padahal hari menjelang pagi dan orang-orang itu masih asik menari ria dibawah cahaya lampu kerlap-kerlip dan sedikit tamaram, aroma alkohol menyeruak di mana-mana. Dengan langkah lebar pemuda tersebut pun segera pergi sebelum suara temannya yang masih sadar setengah teler mengintrupsi langkahnya.

"Zefan! Mau ke mana?" Serunya.

Pemuda tersebut menggulirkan mata malas, namun tak urung tetap menjawab. "Cabut." Ujarnya malas kemudian pergi meninggalkan tempat penuh maksiat tersebut.

Tujuannya kali ini bukan pulang ke apartemen seperti biasanya, melainkan menuju ke rumah kedua orangtua-nya. Jujur, ia sedikit merindukan kakaknya. Ingat, sedikit!

Zefandra Gabriello Abraham, ia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, saat ia hampir sampai di kediaman orangtua-nya, matanya tak sengaja menangkap sosok perempuan yang berdiri di pembatas balkon, matanya menyipit, ia tidak salah lihat, itu adalah kakaknya. Apa yang ia lakukan di pagi yang dingin dengan pakaian berlengan pendek itu? Di saat ia sudah memasuki halaman rumah, kakaknya sudah menghilang pergi dari balkon. Zefan menghela napas pelan, tapi tak urung segera masuk ke dalam.

Jika kalian berfikir  bahwa Zefandra adalah adik dari Zeanetha maka jawabannya benar. Inilah sosok sang antagonis pria.
Yang di novel dijelaskan memiliki kepribadian yang penuh ambisi, obsesi dan gila. Namun, mungkin ia masih waras sekarang, karena alur novel belum di mulai? Mungkin juga karena keberadaan sang kakak? Kita lihat saja.

Begitu memasuki rumah, Zefandra di sambut wajah sang kakak yang akan menuruni tangga, tatapannya masih sama. Datar tak ada kehangatan. Ia menghela napas pelan begitu melihat kakaknya berlalu begitu saja menuju dapur. Tak ingin membuat kakaknya tak nyaman dengan mengejar, ia memilih duduk di ruang tamu dan menyalakan televisi.
Sedangkan Zeanetha yang kini berada di dapur menatap pantulan wajahnya dari kulkas, raut terkejut tercetak jelas di wajahnya. Jujur, meski sudah seminggu ia menempati raga ini, yang ia lakukan hanya berdiam diri di rumah dengan alasan sakit dan selama itu pun sang tokoh antagonis pria tidak ada datang ke rumahnya ini. Melihat wajahnya yang terpahat sempurna bak dewa yunani, membuat Zeanetha salah fokus. Sialan!

Menghela napas pelan, Zeanetha bergumam,"Padahal udah dijelasin kalo antagonis cowok itu ganteng, malahan lebih dari tokoh utama. TAPI! Ini tuh gantengnya kelewatan!" Sekejam-kejamnya sosok Lyodra, ia tetap lemah bila dihadapkan dengan pria tampan.
Melihat sosok Zefandra ia jadi teringat dengan Nathan.

Plak

Ia menampar pipi-nya sendiri dengan keras."Sadar Lyodra. Lupain si brengsek itu!"

Bergerak gelisah, Zefran tak bisa mengalihkan tatapannya dari arah dapur, sedari tadi kakaknya belum keluar juga dari sana. Saat hendak beranjak untuk menyusul, tiba-tiba saja Zeanetha keluar dari arah dapur dengan membawa nampan bersisi dua coklat panas dan juga kue kering. Ia mendudukan dirinya di samping Zefandra.

"Mau ke mana?" Tanya-nya saat melihat posisi Zefandra setengah berdiri seperti ingin beranjak pergi. Yah, ia terkejut sampai tak sadar posisi. Dengan cepat ia duduk kembali.

"Gak ke mana-mana," ujarnya pelan. Zeanetha mengangguk lalu menaruh segelas coklat panas di meja depan Zefandra. Lalu terdiam setelahnya, matanya fokus menatap televisi.
Sedangkan Zefandra terus menatap wajah sang kakak. Ia terkejut tentunya. Pasalnya, ia tidak ingat kapan terakhir dirinya dan sang kakak duduk bersama dan bercengkrama seperti tadi.

Tiba-tiba tatapannya menyendu, kapan kakaknya berubah menjadi sedingin ini? Dulu ia adalah sosok yang paling mempedulikan Zefandra, hangat dan penuh perhatian. Namun, sekarang? Ia hanya bisa melihat raut datar di wajah cantik itu.
Merasa risih karena diperhatikan, Zeanetha pun menoleh ke samping, pandangannya bertemu dengan Zefandra.

"Kenapa lo natap gue gitu?" Ujarnya, terdengar jelas nada tak suka.

"Maaf," hanya itu kata yang Zefandra keluarkan, lalu mengangkat gelasnya dan menyeruput coklat panas tersebut.

Zeanetha mengedikkan bahu-nya acuh dan kembali menatap ke depan.

ZEANETHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang