"Sial," desis Daniel marah. Sontak ketiga temannya menoleh, Kemudian menghela napas lelah."Udahlah, Niel, terimain aja, namanya juga pertandingan, menang atau kalah itu wajar," tutur Arsen bijak.
Daniel terdiam, kemudian mengacak rambutnya kasar. Arsen melirik Aries, tetapi hanya dibalas isyarat untuk diam olehnya.
"Lagian lo nya sendiri bego, gak fokus." Daniel menatap tajam Geo yang duduk tepat di depannya. "Apa? Mau ngamuk? Lagian jelas kan, kalo misalkan perhatian lo gak teralihkan ke Amelia, Zefan gak mungkin bisa rebut bola. Kalo bukan bego apa namanya? Tolol?" Arsen dan Aries meringis mendengar penuturan Geo yang seolah mengantarkan diri kepada sang pencipta jalur VVIP.
Sementara itu, di pojok meja, seorang pemuda yang sudah berhari-hari menghilang dari pandangan keempat temannya hanya menyimak dengan tenang.
Bibir Daniel terbuka, siap membalas ucapan Geo, tetapi tertahan begitu Dean bersuara, "Jangan denial." Dua kata, tetapi cukup membungkam amukan Daniel.
Merasakan atmosfer yang tak mengenakkan, Arsen dan Aries segera mengalihkan perhatian dengan melempar buku menu ke tengah meja. "Yokk, pesen aja, yok. Kita ke sini kan mau pesen pizza, yakali kagak jadi?!" Tutur Arsen semangat.
Aries mengambil buku menu. "Duhh, pesen pizza apa, ya?" Dean memutar bola mata malas, lalu tatapannya teralihkan ke arah pintu yang sedikit berisik karena kehadiran segerombolan orang berseragam basket dan cheers. Namun, bukan itu yang menjadi fokusnya, tetapi seorang gadis berseragam sekolah biasa yang dirangkul seorang pemuda berseragam basket. Jelas sekali raut wajah itu menampilkan kedongkolan yang teramat, membuat Dean terkekeh gemas.
Keempat temannya yang semula mulai melihat-lihat buku menu mengalihkan perhatian ke arah Dean yang tertawa, pasalnya tidak biasanya pemuda itu seperti itu. Lalu, keempatnya menoleh ke arah pandang yang serupa dengan Dean, yang ternyata adalah kelompok tim basket dan cheersleader SMA Cendrawasih. Emosi Daniel kembali tersulut ketika mereka memilih meja yang dekat dengannya juga teman-temannya.
Ternyata Zefan menyadari hal itu, lalu berkata,"Gue gak mau nyari ribut, gak ada meja kosong yang nyisa," tuturnya ringan.
Daniel berdecih lalu kembali mengalihkan atensinya pada buku menu, sebelum itu, sosok yang duduk di samping Zefan menarik perhatiannya, menghadirkan kerutan di dahi begitu Daniel menyadari sesuatu. "Itu ... ceweknya Bang Bara?" gumam Daniel pelan, tetapi ternyata masih bisa di dengar oleh Arsen yang duduk di sebelahnya.
"Siapa?" Arsen bertanya, lalu ikut menatap arah pandang yang menjadi fokus Daniel. "Ohh, Zea." Daniel langsung menoleh ke arah Arsen. "Lo kenal dia?"
Arsen mengernyit heran mendengar pertanyaan itu, tetapi tak ayal menjawab. "Cuman sebatas tau sih. Dia kan kakak satu-satunya Zefan, Lo gak tau?" Daniel menggeleng polos. Yang ia tahu, perempuan itu pacar kakaknya—Bara, mengingat ia pernah melihat potret keduanya terpajang di nakas samping tempat tidur kakaknya.
"Gue cuman tau kalo dia itu pacar Abang gue," jawab Daniel jujur membuat teman satu meja dengannya melongo tak percaya.
"Lo serius Zea pacarnya Bang Victor?!" Pekik Aries tertahan yang diangguki oleh Daniel. "Gila, sih!" Timpal Geo yang kemudian diam-diam memperhatikan tangan Dean yang terkepal erat.
"Kalo gosipin orang bisa gak jangan depan orangnya langsung? Bikin gak mood tau gak? Cowok kok demen ghibah!" Komentar salah satu anggota cheers yang berada di meja rombongan Zefan.
Arsen meringis saat menyadari bahwa mereka dari tadi berbicara terlalu kencang, hingga yang menjadi topik pembicaraan mendengarkan semuanya.
"Gue ke toilet dulu," ujar Zea kemudian berlalu pergi.
Zefan menatap meja yang di tempati oleh Daniel beserta para sahabatnya sinis. "How dare you?! Berhenti menyandingkan nama indah kakak gue sama si brengsek itu!" Desis Zefan tajam.
Daniel berdiri. "Maksud Lo siapa yang brengsek?!" Zefan hanya berdecak, kemudian menjawab, "You know what i mean, Mr. Flotan!"
Belum sempat Daniel membalas, Dean sudah lebih dulu berdiri. "Gue ke toilet." Lalu pergi tanpa berbicara apa-apa lagi.
Di sisi lain, Zea menatap pantulan wajahnya di cermin, tatapan gadis itu menajam, mengingat mereka tadi terus menyangkut pautkan dirinya dengan si brengsek Victor. Ah, ia jadi kesal setelah mengetahui kebenaran yang ada setelah menemukan chips rahasia itu.
"Tahan, Zea, tahan. Sedikit lagi!" Zea menutup kedua matanya, lalu kembali membukanya setelah dirasa ada seseorang di belakangnya. Melihat pantulan di cermin, terlihat Dean di sana, menyandarkan tubuhnya pada dinding dengan tangan terlipat di depan dada.
"Are you angry, babe?" Tanyanya seolah khawatir, berbanding terbalik dengan tatapan mengejek yang ia layangkan.
"Don't ask, jerk!" Dean terkekeh mendengar nada tak santai dari Zea, lalu melangkah mendekati gadis itu, berdiri tepat di belakang Zea yang masih dalam posisi membelakanginya.
Tanpa berbicara apapun, Dean memeluk Zea dari belakang, mengelus perut rata gadis itu pelan, lalu mencium tengkuk gadis itu, membuat Zea merinding karena ulahnya. Zea pun hanya diam, lalu perlahan menutup matanya tanpa perlawanan.
Ada alasan mengapa Zea hanya diam saja atas perlakuan Dean. Itu karena Zea telah mengetahui kebenaran bahwa mereka berdua sebenarnya telah bertunangan sedari lama. Saat kedua orangtua Zea masih ada. Bahkan, mereka berdua telah melakukan hal yang lebih dari ini sebelumnya.
"Mmhh." Suara laknat itu meluncur begitu saja.
Dean menyeringai di sela kegiatannya. "You remember me, babe?"
"Yeahh ... eunghh."
Seringai Dean kian lebar. "I'll give you more, if you want, babe."
Mata Zea terbuka, lalu menatap pantulan Dean dari cermin. "Nope." Setelah itu melepas pelukan Dean dan keluar dari toilet.
Dean masih belum beranjak pergi meski Zea sudah meninggalkan toilet beberapa menit yang lalu. Ia asik memandangi kedua tangannya yang barusan merengkuh tubuh ramping Zea, lalu tangannya terangkat menyentuh bibir yang tadi mengecup area tengkuk dan leher Zea.
Dean terkekeh, lalu menutupi sebelah wajahnya dengan telapak tangannya. "What should I do, babe? You make me Crazy."
***
"Kok lama?" Tanya Zefan begitu Zea sudah kembali duduk di sampingnya.
"Tadi ada serangga ganggu," jawab Zea penuh maksud.
Zefan mengedarkan pandangannya, lalu langsung mengerti serangga yang Zea maksud."Dia gak apa-apain Lo, kan?" Zea terkekeh begitu pertanyaan sarat akan kekhawatiran itu terlontar.
"Menurut Lo?" Terlihat Zefan berpikir sejenak, lalu memindai tubuh Zea dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas lagi.
"He's not kiss you, right?" Zea terkekeh, lalu menunjuk area leher belakangnya, "He did it."
Zefan menggeram marah, lalu memalingkan wajahnya. Tak berselang lama, ia melihat kehadiran Dean di meja sebelahnya.
"Untuk kali ini gue lepasin Lo," ucap Zefan menghadirkan kernyitan heran orang-orang di sekitarnya.
"Lo ngomong sama siapa, Fan?" Tanya salah satu rekan se-timnya.
Zefan menatap sinis Dean yang juga menatapnya dengan senyuman miring. "A bastard."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZEANETHA
خيال (فانتازيا)Bagi seorang Lyodra artamevia yang sudah merasakan kepahitan hidup tanpa jeda, kematian adalah hal yang dinantikan. Namun, bagaimana jika di saat kematian itu sudah berada di depan mata, ia malah ditakdirkan hidup kembali dengan raga yang berbeda...