Toko buku adalah tempat yang sangat jarang Anna datangi. Dan karena ia sudah lama tidak ke toko buku, dan mumpung ia sedang berada di Jakarta dan bukan berada di balik meja besarnya, ia akan memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin sebelum ia kembali ke New York--tempat ia memulai semuanya. Anna butuh tempat untuk melupakan apa yang tidak bisa ia lupakan di New York dan Indonesia adalah jawabannya. Ia akan terus kembali kesini jika ia rasa sudah tidak tahan lagi.
Masih dengan tangannya yang sibuk memilih buku, terkadang mulutnya ikut menggumamkan beberapa kata dari sinopsis di belakang buku tersebut. Ah, sekedar informasi saja, Anna sangat lancar membaca buku berbahasa Indonesia. So don't get her wrong, okay?!
Setelah memilah-milah buku yang akan menjadi bacaannya selama satu pekan, ia akhirnya pergi dengan membawa lima buah buku. Tiga diantaranya novel romance berbahasa indonesia dan dua lainnya buku self improvement berbahasa inggris.
Anna memutuskan untuk bersantai di cafe yang dekat dengan toko buku. Tidak lupa dengan secangkir panas americano untuk menemaninya membaca buku. Hinga satu jam pun telah berlalu dan americanonya yang sudah berubah mejadi americano dingin belum tersentuh sama sekali. Begitulah Anna, ia akan jarang sekali membaca buku karena kesibukannya tapi sekali ia mulai membaca, she will not get over it. Tidak ada banyak orang yang tahu bahwa ia membaca. Hanya satu. Dan Anna tidak berniat untuk memberi tahu siapa.
Matanya sudah perih dirasa. Maka ia menutup buku yang baru setengah ia baca, tidak lupa menandai agar tidak lupa. Ia meminum americanonya yang sudah dingin karena diacuhkan. Lalu memesan dark chocolate cake karena selain matanya, perutnya juga meronta-ronta perih. Ketika hendak memakan kuenya, matanya dikejutkan oleh Lucas yang berada di luar cafe dan berjalan memasuki cafe tempat ia duduk.
Shit.
Anna kembali memfokuskan dirinya memakan kue. Berusaha terlihat bahwa ia tidak melihat pria itu. Tuhan, Anna hanya ingin satu hari untuk merasa tenang. Apa tidak boleh? Kenapa takdir bersikap kejam begini kepadanya.
Terlihat dari sudah matanya bahwa Lucas tengah memesan pesanannya dan melangkah ke meja di sebelahnya. Anna masih memakanya kuenya. Kali ini dengan suapan besar agar kuenya cepat habis.
"Tidak usah terburu-buru. Nikmati saja kuemu. Aku tidak akan mengganggu." Lucas berkata dengan pelan. Tapi Anna masih bisa mendengarnya.
Anna mendengus, menghiraukan perkataan pria itu. Ia kembali memakan dengan suapan besar lalu meminum hingga tandas americanonya. Setelah semua habis, ia membereskan barang-baranya termasuk buku-buku kesayangannya yang ia masukkan kembali kedalam paper bag.
"Kau masih membaca." ujar Lucas lagi dengan pelan. Jelas-jelas itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan.
Anna memilih tidak menjawab. Ia hendak melangkah pergi namun suara di belakangnya--yang sangat amat kecil namun sialnya telinganya masih menjangkau suara itu-- memanggilnya.
"Ann.." Anna berhenti. Tidak menoleh, tidak berbalik. Hanya berhenti. Lucas pun terkejut dibuatnya. Lalu ia tersenyum kecil.
"Aku... ingin berbicara denganmu."
Menunggu. Anna masih menunggu apa yang akan Lucas ucapkan. Tapi hingga satu menit berlalu, tidak ada suara apapun yang terdengar. Lantas Anna memutar tubuhnya dan sangat terkejut ketika tubuh besar Lucas berada tepat di belakangnya.
"Oh tuhan," Anna mengusap-usap dadanya. Lalu menatap Lucas tajam. "Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan, sih?"
"Bisakah kita duduk?" Pinta Lucas. Ia menarik kursi disebelahnya. Mengisyaratkan Anna untuk duduk. Anna yang malas berdebat pun menurutinya.
"Apa?"
"Aku tidak tahu kau masih membaca."
"Ck, hanya itu?" Ia mendengus. Lantas berkata. "Aku masih mempunyai mata. Membaca atau tidak bukan urusanmu."
Lucas terkekeh kecil mendengar jawaban itu. Anna yang melihatnya mengerngit bingung.
Dasar sinting.
"Aku tidak tahu harus memulai dari mana, Anna," Lucas mendesah pelan. "Ini semua terlalu rumit bahkan jika aku menjelaskannya kepadamu. Aku tahu kau tidak akan semudah itu mempercayaiku."
"Hal apa yang sebenarnya kau coba ucapkan?"
"Us."
Anna terbahak mendengarnya. Pria itu lucu sekali. "There's no us anymore."
"Ada. Masih ada." Sekali lagi, Anna bisa mendengar helaan napas pria itu yang sangat berat. Seakan-akan untuk mengatakannya, sangatlah sulit.
"Aku tidak pernah selingkuh, Anna." Kata Lucas pelan. Anna mematung. Deru napasnya berubah cepat. Dadanya kian sesak kala topik itu kembali menjadi pembahasan.
Anna diam. Masih mencerna ucapan itu. Diamnya Anna membuat Lucas kembali melanjutkan perkatannya.
"Kau salah paham. Aku... tidak pernah mencintai Selena." Anna tersenyum sinis mendengar penuturan pria itu. Siapa yang percaya dengan omong kosong itu? Seluruh masyarakat Amerika tahu benar bahwa pasangan itu akan segera melangsungkan pernikahan. Jadi ketika Lucas mengatakan dia tidak mencintai Selena, itu adalah kebohonga besar dan Anna tidak akan jatuh ke lubang yang sama lagi.
"Sudah?" tanya Anna dingin.
"Ann... c'mon you can't be serious."
"Luc, apa yang harus aku lakukan dengan semua omong kosong busukmu itu? Aku tidak peduli kau mencintai Selena atau tidak, itu bukan urusanku. Persetan dengan semua itu." Jelas Anna. Dia memutar bola mata jengah.
"Benarkah kau tidak peduli?" Lucas menatap mata Anna tepat di bola matanya. Tajam dan terkesan mengintimidasi. Tapi Anna tidak terpengaruh. Peduli setan.
"Menurutmu? Apa wajahku terlihat bahwa aku peduli?" Ujar Anna. Dia menumpukan kedua lengannya di meja. Menelisik wajah tampan pria itu dengan kedua matanya. "Luc, kau mati pun aku tidak peduli." Ia menyunggingkan senyum tipis yang terkesan mengerikan. Lalu bangkit dari bangkunya dan pergi meninggalkan Lucas.
"Kau dulu jug berselingkuh, Anna." Ucap Lucas jelas dan lugas.
Untuk kedua kali, Anna kembali mematung, ditempat yang sama.
*****
To Be ContinueF
inally!!!
Guys, coba dong menurut kalian gimana cerita ini?
Aku butuh motivasi dan penyemangat buat terusin cerita ini😔See u sooooonnnnn
KAMU SEDANG MEMBACA
Side Of New York | #1
RomanceMature Story 🔞 "𝐇𝐞𝐥𝐥𝐨, 𝐍𝐞𝐰 𝐘𝐨𝐫𝐤. 𝐈'𝐦 𝐲𝐨𝐮𝐫 𝐦𝐢𝐝𝐝𝐥𝐞 𝐟𝐫𝐨𝐦 𝐲𝐨𝐮𝐫 𝐛𝐫𝐢𝐠𝐡𝐭𝐧𝐞𝐬𝐬 𝐚𝐧𝐝 𝐝𝐚𝐫𝐤𝐧𝐞𝐬𝐬 𝐬𝐢𝐝𝐞." -A.S.