𝐁𝐀𝐆𝐈𝐀𝐍 𝟏𝟑

17 4 0
                                    

VOTE DULU. AKU MAKSA!
Jangan malu buat nulis komentar juga, ya.
Terima kasih

Selamat Membaca

🌙🌙🌙

Mendadak senyumku muncul ketika mengingat kejadian semalam. Mulai dari Alfa memasakkan untukku, menyuapiku seperti anak kecil, sampai dia mengantarku ke depan apartment-ku. Tiap kegiatan itu terinci jelas di ingatanku. Aku rasa Alfa bukan seperti temanku, melainkan seperti ibuku.

Bagaimana tidak kuanggap seperti itu jika Alfa selalu merawatku layaknya seorang anak. Aku terkekeh kecil lalu menggelengkan kepalaku pelan. Iya, aku sedang berusaha mengenyahkan pikiran itu sebelum aku dianggap orang gila karena menggambar sambil tertawa sendiri.

Tanganku mendadak berhenti mencoret sketchbook ketika melihat apa yang baru saja aku gambar. "Alfa lagi?!" pekikku pelan.

"Ah," desahku sambil menelungkupkan kepalaku ke meja. "Kenapa harus gambar dia lagi, sih?"

Aku mengambil pensil dan menekan-tekan sketsa tersebut tepat di pipi Alfa. "Kamu ngapain di sini, sih, Al? Ngeselin," gerutuku pelan.

Aku menegapkan kembali tubuhku. "Otakku bermasalah, ya? Gak mungkin kan aku gila?" tanyaku parno.

TUK

Aku memukul dahiku menggunakan pensil. "Mikir yang bener, Air. Kamu gak gila."

"Airla!" seru seseorang pelan dan berhasil membuatku terlonjak kaget. Aku memegang dadaku lalu menoleh ke samping. Ada sosok Kia tengah berjalan menghampiriku.

"Kaget," dumelku. Gadis itu hanya tertawa kecil sambil menunjukkan tanda perdamaian di tangannya. "Gue cariin lo ke mana-mana, gak taunya ke perpus."

"Kenapa?" tanyaku.

Kia menggeleng, "Hehe gak ngapa-ngapain, sih."

Aku mendengus sebal lalu berniat menutup sketchbook.

"Eh, tunggu," cegahnya sambil menahan pergerakan tanganku.

Aku menoleh, "Kenapa?"

"Sketsa lo familiar sama seseorang, Lun. Tapi siapa, ya?" gumam Kia. "Gue boleh lihat bentar gak?"

Aku lantas menggeser sketchbook itu ke hadapan Kia. Dia terus menggumamkan sesuatu tetapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

"Siapa, ya?" gumamnya sambil mengetukkan jari telunjuknya ke buku.

"Salah lihat kali," sahutku seadanya.

Dia melirikku, "Nggak, Lun. Aku yakin pernah lihat dan kenal sama cowok ini."

Aku hanya membiarkan Kia berpikir keras tanpa berminat mengganggunya. Aku memundurkan tubuhku ketika Kia tiba-tiba melotot sambil membuka mulutnya. "Serem, Kia," ceplosku.

"Gue tau dia siapa, Lun!" serunya keras.

Sontak aku membungkam mulutnya. "Jangan teriak," tegurku padanya. Aku melirik keadaan sekitar, takut jika guru penjaga mendatangi tempat duduk kami. Syukurlah tidak ada yang datang.

"Mm," gumam Kia tidak jelas.

Aku lantas melepaskan tanganku dari mulutnya.

"Hehe maaf, Lun. Kelepasan," cengirnya.

"Lagian kenapa sih sampe teriak gitu?" tanyaku heran.

Kia memutar kursiku sampai aku menghadap ke arahnya. "Eh, ngapain?"

"Gue tau dia siapa, Lun," ucapnya berbisik.

Aku mengernyitkan dahiku, "Siapa?"

"Dia Alfa."

"Kok tau?" beoku kaget.

"Siapa sih yang gak kenal sama Alfa? Secara dia anak geng motor dari sekolah sebelah."

Lagi-lagi aku kaget dengan ucapan Kia barusan. Alfa? Anak geng motor? Apa maksudnya?

"Bentar, maksud kamu ... apa?"

Kia menepuk dahinya, "Ya, ampun, Luna. Jangan bilang kamu gak tau."

"Emang gak tau," balasku jujur.

"Aduh. Gini, Alfa itu anak geng motor dari tetangga sekolah kita, SMA Rajawali. Bahkan dia itu wakil ketua dari Rancapati, Lun," jelas Kia panjang lebar.

"Ranca apa?"

"Rancapati, itu nama geng motornya. Lo gak tau?"

Aku menggeleng pelan, "Tapi Alfa gak kayak anak motor, Ki. Mungkin maksud kamu Alfa yang lain?"

"Nggak, Lun. Jelas-jelas gue tau wajah dan bentukannya dia kayak gimana. Gini aja, deh, Alfa yang lo maksud itu nama lengkapnya siapa?"

"Alfa," jawabku.

"Iya, Alfa siapa?"

"Alfa aja. Aku gak tau nama lengkapnya, Ki."

Kia menghela nafasnya panjang. Sepertinya dia lelah menjelaskan hal yang tidak aku ketahui.

"Lo gak tau nama lengkapnya?" tanya dia dan aku balas dengan anggukan. "Lo gak tanya sama dia?"

"Enggak," balasku. "Lagian buat apa?"

"Oh, my God. Terus kenapa lo bisa gambar muka dia, Luna?" tanya Kia kesekian kalinya. Aku bahkan bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin kan aku menjawab jika aku asal menggambar karena keasyikan melamun?

"Temenku, Ki."

"Ih, aneh banget. Masa nama temen sendiri gak tau, Lun?"

"Kenyataannya gitu," balasku seadanya.

"Kaivan Alfa Centauri. Itu nama lengkap Alfa yang gue tau dan Alfa si Wakil Ketua geng Rancapati."

Aku hanya terdiam sambil menyimak penjelasan dari Kia.

"Kalo nanti lo ketemu sama dia, coba lo tanya ke dia siapa nama lengkapnya. Kalo bener namanya kayak yang gue sebutin tadi, berarti fix dugaan gue bener," tuturnya.

"Kalo ternyata namanya gak cocok?" tanyaku.

Kia menyandarkan tubuhnya ke kursi.

"Simple, berarti gue salah," sahutnya. "Tapi, Lun. Gue yakin seratus persen kalo dugaan gue bener. Percaya sama gue."

Yang aku lakukan hanya mengernyitkan dahiku sambil berpikir keras. Rasanya tidak mungkin jika Alfa seorang anggota geng motor.

Sederhananya begini, pakaian Alfa saja tidak mencerminkan jika dia anak motor. Aku tau wajah anak motor pastilah menyeramkan dan agak aneh, atau bisa dibilang menakutkan.

Tapi Alfa tidak, bahkan dia sangat menyebalkan. Alfa juga baik, jadi tidak mungkin jika dia anak motor yang terkenal dengan image nakal, suka tawuran, tidak tau aturan, dan urakan.

KRING KRING KRING

"Udah bel, Lun. Ayo balik ke kelas."

Aku tersadar dari lamunanku, "Hah? Oh, iya. Duluan aja."

"Yaudah, gue duluan, ya?" pamit Kia kepadaku.

Aku tersenyum tipis kemudian menganggukkan kepala sekali. Setelah punggung Kia mulai menjauh, aku merapikan barang-barangku. Tanganku tiba-tiba berhenti ketika mengingat penjelasan dari Kia tadi.

"Kaivan Alfa Centauri?"

"Ah, gak mungkin. Kia pasti salah," gumamku sambil menggelengkan kepalaku berulang kali. Aku buru-buru bangkit dan keluar dari perpustakaan.

🌙🌙🌙

AFFAH IYA, LUN?

KOMEN DONG GUYS, BIAR RAME. MASA SEPI KAYAK GINI, KAN GAK ASIK 😉

SEGINI AJA DULU. SEE YOU BESOK. BYE-BYE!

ㅡ SKY

𝐋𝐔𝐍𝐀 ( 𝐄𝐍𝐃 )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang