Bagas Aditya Pratama
Senyum puas tercetak jelas di bibir Bagas saat memandang hasil kerja Ara di depannya. Bangunan satu lantai berdinding batu bata ekspos berwarna merah terlihat indah ketika pintu gebyok hasilnya berburu terpasang dengan sempurna. Senyumnya tidak akan selebar saat ini jika pintu dengan ukiran di bagian atas tersebut dibeli dari seorang pengrajin. Karena pintu gebyok yang dikirim langsung dari Jepara tersebut berusia hampir seratus tahun.
Bagas menepuk punggung seseorang yang dengan teliti membuat semua terjadi. “Mas,” sapanya.
“Hasilnya beda, kan? Kalau kita pasang pintu baru, efeknya enggak akan sebagus itu. Terlihat lebih berkarakter, Gas.” Ara beberapa kali mundur untuk mengambil gambar tampak depan butik yang dikerjakannya. “Mitha pasti seneng liatnya,” gumam kakak sepupu Mitha saat melihat hasil fotonya.
Keningnya mengernyit mendengar nama perempuan yang pernah mengisi hatinya disebut. Ia menyadari resiko ketika menerima pekerjaan dari Ara, karena ia tahu hubungan keluarga mereka. “Jam berapa dia datang, Mas?” tanya Bagas bersamaan dengan suara mesin mobil di belakang mereka.
“Tuh,” jawab Ara mengedikkan kepala ke belakangnya.
Keduanya melihat perempuan berambut panjang dengan mata yang terlihat terlalu besar untuk wajah mungilnya turun dari mobil SUV keluaran Korea, diikuti dua remaja berseragam SMP yang terlihat bersimbah keringat. “Mas, Gas,” sapa Mitha.
Anjas dan Mara—kedua anak kembar Mitha—mengucapkan salam saat keduanya mencium punggung tangannya dan Ara. Ia selalu tersenyum melihat kedua remaja yang terkadang usil seperti Aldy—mantan suami Mitha. “Pulang basket?” keduanya hanya mengangguk dan meninggalkan ketiga orang dewasa yang tak terlihat terkejut dengan sikap diam mereka.
“Siap, Tha?” tanya Ara.
Mitha memandang Ara dan Bagas bergantian sebelum meluruskan pandangan ke arah butik dengan nama Mamita di depan mereka bertiga. “Harus siap, Mas. Aku sudah siap untuk melangkah lagi!” jawab Mitha Vegas.
“Berarti siap juga dong?” pertanyaan Bagas membuat wajah Mitha berubah keruh, dan Ara menyadari itu. “Aku udah tanya mulai dari bulan kemarin, Mamita?” tanya Bagas dengan nada jengkel yang tidak pria itu tutup-tutupi
“Siap untuk apa?” Terdengar pertanyaan dari belakang mereka. “Tha?”
Bagas tertawa puas ketika melihat wajah Mitha yang memerah menahan marah saat ini. Berbeda dengan Mitha yang siap melepas dan melempar sandal wedgesnya ke arah Bagas setelah mendengar pertanyaan dari adiknya. “Bagas mau nyomblangin aku sama temen dia,” jawab Mitha pada Rizky, adik lelakinya yang berdiri di samping Ara. Mitha melotot ke arah Bagas, “Puas?!”
Bagas mengedikkan pundak acuh menanggapi pertanyaan Mitha. “Siap, enggak?” tanyanya dengan nada geli. “Aku udah bikin list bibit unggul, Tha. Mulai dari pengusaha sampai ASN.”
“Mayak! Mbok kiro aku enggak laku, Gas?”[1] tanya Mitha setelah benar-benar melempar sandal ke arah Bagas. Tiga pria dewasa tertawa terbahak-bahak di bawah pohon mangga tepat di depan butik yang akan dibuka besok pagi membuat Mitha semakin meradang. “Karepmu, wis![2] ” jawab Mitha setelah mengambil sandalnya dan menjauh dari mereka yang masih berusaha menahan tawa.
Langkah Mitha terhenti, “Awas kalau sampai Mas Aryo ngerti!” ancam Mitha ke arah mereka bertiga sebelum melewati ambang pintu memasuki rumah utama.
“Mitha beneran mau kenalan sama teman kamu, Mas?” tanya Rizky pada Bagas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicomblangin Mantan
RomanceYang Mitha inginkan adalah menjalani hidup tenang bersama kedua anak kembarnya. Menikmati hari sebagai orang tua tunggal, pemilik butuh dan juga penjual kain tradisional dengan banyak kesibukan. Yang tidak Mitha inginkan adalah kembali membuka hati...