Bab 13

676 224 23
                                    


REPOOOOOOST!!

Hingga kopi yang belum sempat Bagas sentuh menjadi dingin keduanya masih diam dengan pandangan tertuju ke halaman belakang rumah Mitha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hingga kopi yang belum sempat Bagas sentuh menjadi dingin keduanya masih diam dengan pandangan tertuju ke halaman belakang rumah Mitha. Suasana di antara keduanya terasa dingin dan berbeda, karena selama ini setiap kali Bagas ada di sekitar Mitha hanya ada perdebatan konyol hingga saling melempar ejekan. Namun, tidak pernah ada perang dingin seperti siang ini.

Bagas melirik jam di pergelangan tangannya, pukul tiga sore. "Aku yang jemput anak-anak, kamu di rumah aja!" tanpa menunggu jawaban Mitha, ia berdiri dan berteriak pada Simbok. "Aku jemput anak-anak dulu, Mbok!" Sekali lagi ia melirik Mitha yang masih bergeming di posisi yang sama sebelum melangkah keluar rumah yang terletak di jalan Tenggilis tersebut.

Sepanjang jalan menuju sekolah kedua anak kembar Mitha, pikirannya penuh dengan rasa bersalah yang semakin hari semakin besar. Saka pernah mengatakan padanya tentang kemungkinan orang lain akan beranggapan seperti itu. Meski sekuat tenaga ia mengatakan bahwa tidak ada hubungan romantis antara dia dan Mitha. Pada akhirnya Bagas mengetahui kenapa Aldy selalu memandangnya dengan sinis setiap kali tidak sengaja berada di tempat yang sama.

"Lho, kok Om Bagas yang jemput?" tanya Anjas ketika membuka pintu mobil pria yang berusaha untuk tetap ceria di depan kedua anak Mitha. "Mama ke mana?" giliran Mara yang menanyakan itu.

"Mama lagi repot ama kiriman hari ini, kebetulan Om ke sana antar bakwan surabaya kesukaan kalian berdua."

"Yes!" Teriak kedua anak yang kegirangan mendengar bakwan yang beberapa kali ia ajak mereka untuk makan ke snaa. "Om, Mama marah enggak kalau kita mampir beli ice cream dulu?" tanya Mara yang duduk di belakang.

Bagas sudah bisa menduga anak gadis kesayangannya akan mengatakan itu, karena setiap kali ia menjemput mereka, Mara selalu memintanya untuk membelikan ice cream dari salah satu restoran cepat saji di jalan Margorejo. "Kita telepon Mama dulu."

Tak lama terdengar suara Mitha yang keluar dari audio yang terkoneksi dengan ponsel Bagas. "Tha, anak-anak mau mampir beli ice cream dulu, boleh?"  tanya Bagas dengan pelan. "Boleh?" tanyanya lagi ketika tidak mendengar jawban Mitha.

"Boleh, ya, Ma!" teriak Mara. "Ada rasa baru yang kemarin aku ceritakan itu."

Belum juga terdengar jawaban Mitha ketika Anjas berteriak, "Aku boleh beli burger, enggak?"

Bagas mengangkat tangan dan kedua remaja itu menutup bibir seketika, "Mama enggak bisa jawab kalau gini. Boleh?" tanyanya lagi.

"Boleh," jawab mitha. "Gas, matikan bluethooth!" Bagas mematikan sambungan ke audio dan mengeluarkan earbuds dari saku celananya. "Sorry," kata Mitha yang terdengar jelas di telinganya. "Enggak seharusnya aku menyimpan informasi itu."

"Kenapa?" tanya Bagas. Ia ingin mendengar alasan kenapa Mitha memilih untuk menyembunyikan itu.

Jalanan sedikit ramai ketika mobilnya berada di depan sekolah  negri di  jalan Prapen, memberinya waktu beberapa detik untuk konsentrasi dengan suara Mitha. Anjas dan Mara pun terlihat memandang jalanan di samping kiri mereka. "Karena aku enggak mau kamu berasa bersalah atau bahkan menghindar dariku. Aku sudah kehilangan suami, aku enggak mau kehilangan sahabat, Gas. Sorry," kata Mitha lalu memutuskan sambungan.

"Om Bagas bertengkar sama Mama?" tebak Anjas saat mobil SUV yang di kendarainya memasuki jalur drive thru. "Kalau Mama sama Om Bagas bertengkar, pasti teleponannya enggak di sambungin ke audio mobil." Bagas mengacak-acak rambut Anjas sebelum mengatakan pesanan kedua remaja yang berjanji tetap makan bakwan sesampainya di rumah.

 Bagas tidak pernah marah setiap kali Anjas dan Mara atau ketiga keponakannya makan di mobilnya. Ia merasa mendapat kesempatan istimewa ketika membiarkan mereka nyaman di mobilnya, seperti saat ini. Ia melirik Anjas yang asik dengan burger di tangannya sedangkan Mara dengan gelas ice cream yang berlapis Oreo. "Om Bagas enggak pernah anggap kalian anak kecil selama ini," kata Bagas tiba-tiba. Anjas dan Mara mengangguk menanggapinya. "Om Bagas boleh tanya sesuatu, dan kalian punya hak untuk enggak jawab kalau enggak nyaman. Om Bagas enggak bakalan marah. Boleh?"

"Boleh," jawab keduanya bersamaan.

Bagas kembali memandang kedua remaja yang menanti pertanyaan darinya. "Papa kalian pernah sebut nama Om, enggak?"

Suasana di dalam mobil terasa berbeda, ia melirik Anjas yang terlihat ragu menjawab pertanyaannya. Bagas tidak mau keduanya merasa harus menjawab atau melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan, ia menunggu.

"Pernah," jawab Anjas setelah beberapa kali menghela napas. "Om pengen tahu Papa bilang apa, gitu?" Bagas mengangguk menjawab pertanyaan Anjas.

Dari sudut matanya, ia melhat Anjas menoleh ke belakang, melihat adik perempuannya yang juga menatap balik. Bagas selalu kagum dengan kemampuan keduanya dalam berkomunikasi seperti saat ini. Jantungnya berdetak kencang menanti jawaban kedua remaja yang sepertinya ragu untuk menjawab pertanyaannya.

"Waktu itu aku pernah agak debat sama Papa alasan mereka berdua bercerai," kata Anjas. "Ak—"

"Mas An bilang karena Papa selingkuh," sela Mara yang tiba-tiba memajukan badan di antara Bagas dan Anjas. "Waktu itu Papa marah lalu bilang, kalian enggak tahu aja kalau sebenarnya Mama kalian selingkuh sama Om Bagas kalian itu."

Meski ia sudah bisa menduganya, tapi Bagas tetap terkejut mendengarnya. Ia menjadi serba salah saat ini, "Kalian berdua tahu Om Bagas sayang kalian berdua, kan?" keduanya mengangguk meski Bagas bisa melihat setitik keraguan. "Mama kalian sudah menjadi sahabat Om semenjak masih muda hingga sekarang, kedekatan kami berdua sering membuat orang lain salah paham, termasuk Papa kalian."

"Om Bagas sayang Mama?" tanya Anjas.

 Sebelum Bagas menjawab pertanyaan Anjas, Mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang bersamaan dengan Mitha mengantar pelanggannya hingga sampai di Mobil. Kedua anak yang beberapa saat lalu terlihat menanti jawaban segera berlari keluar Mobil sebelum ia mematikan mesin. Bagas tak bisa menahan rasa bersalah yang kian membesar setelah apa yang Anjas dan Mara katakan.

Ketukan di kaca jendela sebelah membuatnya terkejut, "Turun!" perintah Mitha saat kaca sepenuhnya ia turunkan. Bagas mengikuti langkah Mitha menuju workshop yang selalu menjadi tempat favorit perempuan itu. Kursi di teras menghadap halaman belakang selalu menjadi pilihannya dan Mitha, jika keduanya memerlukan space untuk membicarakan sesuatu yang tidak boleh didengar kedua anak Mitha.

Secangkir kopi yang terlihat masih panas menyambutnya ketika ia keduanya duduk. "Sorry, Gas! Harusnya aku cerita tentang tuduhan Mas Aldy, aku beneran enggak mau kehilangan kamu."

Bagas mencoba menekan rasa bersalah yang semakin lama semakin berkembang, hingga ia melihat wajah Mitha terlihat berbeda. Ada takut dan kuatir di sana. "Kamu enggak akan kehilangan aku, Tha!" kata Bagas. "Aku sudah bikin daftar calon suami potensial Dyah Paramitha Puspitasari, enggak mungkin dibatalin, dong! Mau taruh di mana muka gantengku nanti."

Nih ... Mas Bagas narsis muncul lagi, nih
😂😂😂

Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Dicomblangin MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang