REPOOOOOOST!!
Makan siang
Mitha tidak membiarkan Bagas menganggur, karena selepas Saka meninggalkan mereka berdua, ia mengulurkan kertas berisi daftar batik yang harus ia cek satu persatu. "Kerja!" hardik Mitha saat melihat Bagas membuka mulut untuk protes."Tha," panggil Bagas. Mitha hanya menjawabnya dengan Hhmm.
"Tha," panggil Bagas kembali. Namun, Mitha yang masih konsentrasi dengan beberapa catatan di tangannya hanya menjawab Bagas berupa deheman kembali.
"Tha!"
"Opo, se, Gas. Ojo tha tha tha, ae ,ta!" bentak Mitha karena menemukan beberapa item tidak ada dalam pengirimannya kali ini dan beberapa cacat yang masih bisa diselamatkan meski tetap mengganggu mata.
Bagas menarik kertas di tangan Mitha. "Kalau enggak Tha, terus aku harus manggil apa? Sayang, gitu?!" jawab Bagas tepat di depan wajah Mitha yang melongo melihat kelakuan sahabatnya.
"Sayang gundulmu! Aku kerja dulu, biar cepet kelar, aku laper, Gas!" protes Mitha yang berhasil menarik kertasnya kembali. Kelakuan Bagas membuat kepalanya pening, Mitha merasakan hembusan AC yang terasa menyegarkan di panas Surabaya yang terik. Dari jendela butik, mereka bisa melihat sepanas apa di luar. "Minggir!" perintahnya sebelum berdiri meninggalkan Bagas yang masih setia bersila.
Mitha menyusun kain yang sudah lulus dari pemeriksaan di dalam lemari kaca setinggi badan peninggalan ibunya. "Aku mau ngomong, penting," kata Bagas.
"Ngomong tinggal ngomong, Gas! Aku dengerin kok." Mitha kembali meneruskan pekerjaanya. Namun, ketika tidak mendengar suara Bagas, ia membalik badan dan menemukan pria yang siang ini menjengkelkan sedang sibuk dengan ponsel di tangannya. "Enggak jadi ngomong?"
"Ntar, balas email dulu. Ada temen yang pengen kenalan sama kamu."
Kepala Mitha menoleh dengan cepat mendengarnya, "Maksud kamu?" Ia tahu Bagas tidak akan menyerah begitu saja, tapi Mitha tidak menyangka harus melakukan dalam waktu dekat. "Ntar modelnya seperti Denny si Manusia Ikan kemarin lagi? Males, Gas!"
Mitha masih memandang Bagas, ketika pria itu memasukkan ponsel di saku celananya. "Ngomong-ngomong, sebenarnya kamu dapat calon dari mana? Kamu bilang ada teman kamu yang pengen kenalan sama aku, mereka tahu aku dari mana?"
"Whatsapp story, lah!" Matanya membelalak tak percaya mendengar jawaban Bagas. "Kamu enggak pernah lihat?" Mitha menggeleng sebelum membuka aplikasi pesan berwarna hijau tersebut dan segera melupakan pekerjaannya. Jika dalam film kartun, rahangnya terjatuh di lantai dan bola matanya akan menggelinding keluar ketika melihat story Bagas penuh dengan fotonya.
"Kamu ... ini apa? Aku seperti barang daganganmu?!" bentak Mitha. "Atau kamu perlu tulis, janda anak dua siap mencari suami, gitu!" Mitha membanting bolpoin di tangannya dan keluar meninggalkan Bagas yang terlihat terkejut melihat rekasinya.
"Tha, tunggu, Tha! Enggak gitu, lihat story ku sampai selesai." suara Bagas menghilang saat kakinya semakin cepat melangkah meninggalkan Bagas. "Aku hanya menulis kalau kamu sahabatku. Itu aja, kalau enggak percaya, kamu lihat sendiri."
Nada putus asa dari Bagas memaksa kakinya untuk berhenti berlari. Napasnya masih memburu karena membayangkan berapa banyak laki-laki yang melihat story Bagas, bahkan Aldy pun bisa melihat itu. "Tha, lihat dulu."
"Aku sudah lihat, Gas! Itu masalahnya, aku merasa seperti ditawarkan, meski tidak ada kesan seperti itu. Ngerti enggak sih!"
Ketegangan mereka berdua terpecah ketika Ananta keluar dari kamar dan menemukan mereka berdua dengan wajah keras saling melotot. "Kenapa? Kalian berdua ada apa?" tanya istri Rizky yang menggandeng anak perempuannya. "Mas Bagas ngapain Mbak Mitha?" tudung Ananta.
"Kok aku. Kenapa enggak Mitha yang ngapa-ngapapin aku, Na?!" protes Bagas ke arah Ananta yang memutar mata mendengar protes itu. "Diskriminasi ini namanya,"
Mitha mendorong kepala Bagas yang beberapa senti lebih tinggi darinya sebelum berkacak pinggang. "Enggak ada ceritanya aku ngapa-ngapain kamu, Gas! Pulang sana, aku laper!" perintah Mitha. Ia melangkah menuju dapur besar menghadap halaman belakang. Mitha bisa mendengar langkah kaki di belakangnya ketika ia mendapatkan bakwan Surabaya sudah ada di atas meja makan.
"Mas Bagas makan siang di sini, Mbak?" tanya Simbok melihat ke balik punggungnya.
"Iya, Mbok. Sekalian buatin kopi, biar otaknya bener itu orang." Simbok yang sudah ikut keluarga mereka semenjak ia kecil hanya tertawa mendengar perintahnya. Perempuan sepuh yang sudah mulai mengurangi pekerjaan itu tidak mengucapkan apa-apa dan menyiapkan kopi seperti yang Bagas suka. "Gas, makan!" perintah Mitha lagi.
"Kirain disuruh pulang." Bagas menarik kursi di samping Mitha dan mendorong ponsel yang menunjukkan pesan beberapa teman Bagas. Semuanya berisi dengan ucapan selamat karena semua orang mengira dirinya adalah calon nyonya Bagas Aditya Pratama yang baru. "Aku enggak akan sekejam itu sama kamu, Tha. Dan bisa kamu lihat, sebagian besar berisi ucapan selamat."
Mitha meletakkan sendok dan memutar duduknya hingga berhadapan dengan Bagas yang terlihat bahagia ketika Simbok mendorong cangkir kopi ke arahnya. "Aku melakukan perkenalan ini setengah hati, Gas. Kalau kamu lupa, Mas Aldy punya nomer kamu. Dia pasti ngelihat story kamu, dan dia pasti beranggapan bahwa kecurigaannya terbukti."
"Kecurigaan apa!" Mitha teringat tidak seharusnya ia berkata apa-apa. Mengingat hal itu, ia kembali meraih sendok dan memasukkan potongan bakwan kesukaan Anjas ke dalam mulutnya. "Mas Aldy curiga ada sesuatu di antara kita, begitu?" Kepalanya menoleh dengan cepat saat mendengar tuduhan Aldy itu kembali. Ia hanya mengedikkan pundak dan tidak ingin membenarkan tebakan Bagas.
"kamu sama Bagas, lebih dari sahabat, kan?" tuduh Aldy ketika ia berdiri dan bersiap untuk meninggalkan rumah mereka untuk selama-lamanya. Mitha hanya membawa tas tangan berisi dengan semua harta benda miliknya, bukan pemberian Aldy. Mendengar tuduhan itu, ia memutar tumit dan menatap tajam ke arah pria yang menjadi tujuannya pulang setiap kali ia harus pergi ke luar kota untuk bekerja. Membeli kain tradisional langsung dari pengrajin terkadang mengharuskan ia untuk pergi meninggalkan suami dan kedua anaknya.
"Jujur saja, Tha! Kalian masih berhubungan, kan?!"
"Aku enggak pernah menemui Bagas tanpa kamu, Mas! Setiap kali aku bertemu dengannya tanpa kamu, selalu ada Anjas dan Mara atau bahkan Rizky, terkadang Tara. Aku enggak pernah bertemu dengan Bagas hanya berdua." Mitha masih menatap ke kedua bola mata lelaki yang akan segera menjadi mantan suami di depannya. "Berbeda dengan kamu yang tanpa merasa bersalah menemui perempuan lain. Menciumnya, memeluknya, membisikkan kata sayang di telinganya, bahkan menanam benih di rahimnya!" bentak Mitha. "Aku enggak seperti kamu, Mas." Mitha mengatur napasnya. "Jika ... jika pada akhirnya aku memiliki hubungan dengan Bagas, kamu adalah orang ketiga yang mengetahui itu setelah Anjas dan Mara!"
"Yakin kalau kedekatanmu sama Bagas hanya sebatas teman?" Nada sinis dari tuduhan Aldy membuatnya ingin berteriak. "Karena bagiku, enggak ada persahabatan antara seorang pria dan wanita, Tha!
"Dia nuduh kamu selingkuh sama aku?" Pertanyaan Bagas menariknya kembali dari kenangan malam terakhir ia menginjakkan kaki di rumah tempatnya pulang selama lebih dari sepuluh tahun. "Kenapa kamu enggak cerita selama ini, Tha!"
Yuhuuu ... Kangen diriku, kah? 😎😎
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicomblangin Mantan
RomanceYang Mitha inginkan adalah menjalani hidup tenang bersama kedua anak kembarnya. Menikmati hari sebagai orang tua tunggal, pemilik butuh dan juga penjual kain tradisional dengan banyak kesibukan. Yang tidak Mitha inginkan adalah kembali membuka hati...