Kenyataan
Aldyansyah Saputra
Aku harap kamu bisa ngomong sama anak-anak dengan baik, Tha! Jangan sampai anak-anak membenciku karena kemarahanmu!Mitha memutuskan untuk tidak membalas pesan yang membuat suasana hatinya semakin buruk. Ia belajar dari pengalaman bagaimana cara menghadapi Aldy pasca perceraian, karena Aldyansyah Saputra yang dihadapinya saat ini berbeda dengan pria yang pernah menjadi bagian dalam hidupnya.
Sepanjang jalan menuju sekolah kedua anaknya, Mitha kembali mengingat kata-kata Saka. Membuatnya bertanya pada diri sendiri, apakah itu yang dia lakukan saat ini, tidak berusaha untuk bahagia? Karena bagi Mitha bahagia adalah melihat senyum di bibir kedua anaknya dan keceriaan di wajah keduanya.
Namun, ada yang berbeda sore ini. Ketika keduanya masuk dan menutup pintu mobil, tidak ada cerita atau senyuman untuknya, bahkan keduanya sibuk menatap jendela mobil sepanjang perjalanan pulang. Sesekali Mitha melirik keduanya, tapi anak-anaknya masih diam seribu kata. Ia semakin yakin telah terjadi sesuatu di rumah mantan suaminya semalam
“Ini kenapa pada diam? Mama ada salah sama kalian berdua?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan Nginden yang mulai padat. “Ingat perjanjian kita semenjak pindah ke rumah eyang?”
“Ingat, Ma,” jawab keduanya serentak.
“Terus?” Mitha mulai tak sabar melihat kedua anak yang tak pernah kehilangan pokok pembicaraan, sore itu hanya diam tanpa kata. “Mama enggak mau kalau kalian ada masalah terus diam seperti ini!”
“Mama mau nikah lagi?”
Kaki kanannya langsung menekan kuat pedal rem, dan ia bersyukur tidak menabrak mobil di depannya saat mereka berada di antrian lampu merah. Mitha memandang keheranan kedua anaknya yang terlihat menanti jawabannya. “Jadi beneran Mama akan nikah lagi?” tanya Mara dengan muka muram.
Mitha mengurungkan niatnya menuju rumah, ia mengarahkan mobil ke arah salah satu restoran cepat saji di jalan Prapen. Jantungnya berdetak kencang membayangkan akan melakukan pembicaraan yang kemungkinan membuat keduanya kecewa, dan ia tak mau melihat kekecewaan lagi di mata kedua anaknya.
Membiarkan keduanya duduk dengan muka masam, Mitha menuju counter untuk memesan semua makanan kesukaan Anjas dan Mara. Ia tahu dua remaja yang sedang dalam pertumbuhan tersebut tidak akan melewatkan makanan begitu saja. “Makan dulu, setelah itu cerita ke Mama kenapa tiba-tiba menanyakan itu!”
Melihat Anjas tanpa ragu meraih burger di depannya, membuat Mara mengikuti jejak kakaknya, dan hati Mitha merasa lega melihatnya. Ia diam menanti keduanya dengan sabar, ketika terdengar suara anak lelakinya tak lama setelah gigitan pertama ditelannya.
“Kemarin malam Papa bilang kalau Mama pasti akan menikah lagi,” kata Anjas tanpa mengalihkan pandangan dari burger di tangannya.
“Kenapa Papa tiba-tiba bilang gitu?” tanya Mitha penasaran meski jengkel karena mantan suaminya mengatakan sesuatu yang menimbulkan keraguan di hati kedua belah hati mereka. Kemarahan yang reda setelah pertemuan tadi kembali menyeruak, dan Mitha berusaha untuk tetap tersenyum meski yang diinginkannya adalah menhajar mantan suaminya.
“Kenapa kalian enggak cerita dari awal.” Semenjak dulu, ia tak pernah memaksa kedua anaknya untuk terbuka padanya. Ia hanya membiasakan mereka untuk bercerita apapun yang mereka rasakan. Mitha selalu menempatkan diri sebagai teman yang siap mendengar semua cerita dan keluh kesah keduanya. Seperti saat ini, ia menunggu dan tidak mendesak mereka untuk bercerita.
“Papa bilang suatu hari nanti Mama juga akan menikah lagi seperti Papa. Mama akan memulai keluarga baru.”
Mendengar itu, Mitha harus mengepalkan tangan menahan diri untuk tidak menghubungi Aldy dan melayangkan protes karena menanam pemikiran seperti itu pada kedua anaknya. Ia tidak percaya dengan ketidakpekaan pria yang dulu selalu ada di dalam doanya.
“Jadi … Mama akan menikah lagi?” tanya Mara padanya. Anak perempuan yang masih enggan untuk menginap kembali di rumah papanya tersebut memandangnya dengan sorot mata yang membuatnya ingin menangis karena melihat Mara terluka.
Mitha mengatur napas dan menekan semua pikiran negatif di kepala sebelum menjawab pertanyaan anak perempuannya. “Mama enggak akan berbohong dengan mengatakan tidak menikah la—”
“Tapi Mama ingin menikah lagi?!” tanya Anjas menyelanya.
Mitha bisa merasakan keraguan kedua anaknya saat ini. Ia juga bisa merasakan kemarahan Anjas dan Mara dengan keadaan kedua orang tua mereka, meski ia dan Aldy telah resmi bercerai semenjak tiga tahun lalu. “Untuk saat ini, enggak. Namun, kalian harus tahu. Jika … jika nanti ada pria baik yang ingin menikah dengan Mama. Kalian berdualah yang akan pria itu temui pertama kali.”
Ia mendapati sorot kecewa semakin besar di mata Mara yang membuatnya semakin sedih dan juga ingin tahu apa yang sebenarnya Aldy katakan semalam. “Sebenarnya apa yang Papa katakan semalam?” tanyanya dengan lembut pada keduanya. Mitha mengulurkan tangan pada anak gadisnya yang terlihat sedih. Ia tahu Aldy bukan hanya mematahkan hatinya, karena Mara juga merasakan sakit yang sama.
“Mas An semalam bilang kalau Papa selingkuh sebelum resmi cerai sama Mama.”
Matanya membulat ke arah Anjas dan Mara bergantian, “Kenapa, Mas?” Anjas memandangnya dengan tajam, dan ia bisa merasakan ada sesuatu yang menancap di sana. Sakit yang ia lihat di kedua mata anaknya, membuatnya berdarah hanya dengan mengingatnya.
“Papa marah karena waktu itu aku sama Mara enggak mau temuin Papa,” kata Anjas. “Papa bilang kalau Mama sudah mengatakan sesuatu yang membuat kami berdua membenci Papa.”
“Saat itulah Mas An bilang, Papa selingkuh.” Mara menambahi cerita Anjas. “Mas An juga bilang kalau sebenarnya dia sudah tahu semenjak dulu.” Mitha tidak mempercayai pendengaranya. “Mas An bilang kalau dia pernah lihat Papa sama tante itu beberapa bulan sebelum kita tinggal di rumah Eyang.”
Mitha menghela napas berat yang mengganjal setiap kali mengingat kejadian di hari pembukaan Mamita. Setelah tiga tahun perceraiannya, ia mengetahui bahwa yang terluka karena perselingkuhan Aldy bukan hanya dirinya, tapi juga kedua anaknya. “Yang Mama enggak ngerti, kenapa Mas An diam aja selama ini. Tiga tahun Mas, kenapa hanya diam saja selama ini?” tanya Mitha.
“Aku diam karena Mama dan Adek,” jawab Anjas. “Aku enggak mau Adek jadi benci Papa dan aku enggak mau Mama sedih karena tahu.”
Air mata mengancam untuk mengalir keluar mendengar pengakuan Anjas. Anak lelaki yang terlihat tenang selama ini ternyata menyimpan badai sebesar itu di hatinya. Perasaan bersalah mencengkeram hatinya, Mitha tidak menyadari bahwa selama ini Anjas menjaga hatinya.
“Mama minta maaf sudah membuatmu kuatir, Mas,” katanya sambil mengeratkan genggaman tangannya. “Mama juga minta maaf karena Mara harus merasakan sakit sebesar ini. Maafkan mama.”
“Makasih sudah menjagaku, Mas.” Mitha tersenyum mendengar kalimat Mara untuk kakaknya.
Ia memandang Anjas dan Mara, hatinya kembali hancur saat ini. Mengingat semua usahanya untuk melindungi kedua buah hatinya selama ini, tapi Aldy dengan mudah menghancurkan semuanya.
Kepalanya terasa berdenyut setiap kali ia menarik napas yang terasa semakin berat kala teringat tudingan Aldy dan kekacauan yang mantan suaminya lakukan. Lelaki yang menjabat tangan bapaknya dan bersumpah akan mencintai, menjaga, melindungi dan juga menghormatinya telah berubah. Mitha tidak menyesali perpecahan ini, karena ia percaya ini adalah jalan yang terbaik. Bukan hanya untuk dia dan Aldy tapi juga untuk kedua anak mereka. Namun, ia masih berharap situasi di antara mereka tidak membuat Anjas dan Mara semakin sedih.
Biar pada kenal ama bapaknya anak-anak 😂😂😂
Kalau mau sambit si Aldy enggak apa-apa kok.Love, ya!
😘😘😘
Shofie
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicomblangin Mantan
RomanceYang Mitha inginkan adalah menjalani hidup tenang bersama kedua anak kembarnya. Menikmati hari sebagai orang tua tunggal, pemilik butuh dan juga penjual kain tradisional dengan banyak kesibukan. Yang tidak Mitha inginkan adalah kembali membuka hati...