Bab 4

806 242 25
                                    

Mission impossible


Pandangan Mitha mengikuti gerakan pria yang mengelilingi workshopnya saat ini. “Kamu mengharapkan aku meninggalkan apapun yang kukerjakan setiap kali kamu jemput, gitu?”

“Ya enggak gitu juga Mamita!” Mitha memutar bola matanya mendengar panggilan Bagas untuknya. Selain Ayya, hanya dia yang memanggilnya Mamita. “Pokoknya nanti aku atur pertemuan kamu sama temanku.”  

Mitha meletakkan gunting yang beberapa saat lalu ada ditangannya lalu bersedekap menghadap pria yang duduk di sebelahnya. Semenjak ide gila yang Bagas lontarkan pada Mitha, suasana di antara mereka berdua selalu terasa panas setiap kali keduanya bertemu. Seperti saat ini, Mitha terlihat jengkel memandang Bagas yang dengan santai merapikan tumpukan kain perca yang ada di depannya. Pria berkemeja polos warna biru navy tersebut tak terlihat terganggu meski ia tahu Mitha akan melancarkan serangan khas perempuan tersebut.

Hingga beberapa menit, Bagas tidak merasakan cubitan di lengan kanan yang biasa ia dapatkan setiap kali melakukan kesalahan pada Mitha. “Kenapa? Tumben enggak njiiwit?” tanya Bagas yang terheran-heran mendapati Mitha memandangnya dengan kening mengernit dan bukan wajah menahan marah. “Kamu kenapa, sih!”

“Kenapa kamu cerai?” pertanyaan yang selama ini berputar-putar di kepalanya tapi tak pernah cukup berani untuk menanyakannya semenjak berita perceraian Bagas lima tahun yang lalu.  

Setelah mereka berdua memiliki pasangan masing-masing, keduanya membatasi pertemuan meski selalu saling memberi kabar. Meski begitu, hubungan persahabatan keduanya tetap terjalin baik karena mereka memulainya sebagai sahabat sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan di tahun kedua dan mengakhirinya tak lama setelah keduanya wisuda. “Kamu tahu aku enggak pernah mau tahu urusan rumah tangga kamu, tapi aku enggak bisa menahan lebih lama lagi. Kenapa, Gas?”

Bagas meliriknya sekilas sebelum kembali meraih kain perca berwarna merah yang terlihat mencolok diantara potongan kain batik berwarna coklat dan hitam. Mitha mengenalnya bukan hanya untuk sesaat dan ia tahu Bagas sudah menahan diri selama ini untuk tidak membicarakan tentang perceraiannya. “Kamu tahu aku suka anak-anak, kan, Tha?”

“Tahu, lihat saja Anjas dan Mara. Selain Eky, kamu lelaki yang selalu mereka cari selama tiga tahun ini. Kamu manjain anak-anakku, Gas! Bisa dibilang, kamu dan Eky mengisi kekosongan itu.” Tawa lolos dari bibir Bagas mendengar protes yang Mitha layangkan padanya. Ia memang selalu memanjakan kedua anak Mitha, seperti ia memanjakan ketiga anak kakaknya selama ini. “Kamu mandul?! Jangan bilang kalau selama ini kamu enggak bisa berdiri!”

“Jancuk! Aku jik iso ngadek, Tha! Opo perlu dibuktikno saiki, ta?” [1] hardik Bagas sambil mendorong lengan kiri Mitha yang sudah terbahak-bahak melihat wajahnya yang merah padam. Salah satu yang tak pernah berubah dari keduanya, keterbukaan tentang semua masalah yang kerap kali membuat semua orang salah paham melihat kedekatan keduanya.

Mitha berdiri dan menuju lemari es yang tersedia di pantry pavillion, “Aku beneran tanya, Gas! Kalau adikmu enggak ada masalah terus kenapa kalian cerai. Karena selama ini aku lihatnya kalian berdua mesra terus enggak terlihat ada masalah.” Mitha mengenal mantan istri Bagas seperti halnya pria itu mengenal Aldy, kedekatan mereka berempat seperti layaknya keluarga selama ini. Hingga Nay—mantan istri Bagas—pindah ke Bali tak lama setelah mereka resmi bercerai. Nay memutus semua komunikasi dengannya setelah memberi kabar kepindahannya ke pulau dewata waktu itu. “Nay apa kabarnya ya, Gas?”

Bagas mengeluarkan ponsel dan tak lama mengulurkan pada Mitha yang kembali duduk di sebelahnya. “Dia sudah menikah dua tahun yang lalu, sekarang tinggal di Australia.”

Mitha merebut ponsel Bagas dan membeliakkan mata melihat foto pernikahan Nay dengan seorang pria berambut pirang. Keduanya terlihat tertawa lebar ke arah kamera, dan ia bisa melihaat kebahagiaan yang terpancar di wajah mantan istri sahabatnya tersebut. “Dia kelihatan bahagia, ya, Gas!”

“Iya, dan aku bahagia untuknya.”

“Tapi kamu enggak mau jawab pertanyaanku!” Bagas memasukkan ponselnya kembali sebelum memutar tubuhnya sepenuhnya menghadap Mitha yang  menanti jawaban dari bibirnya. “Kalau kamu enggak mau cerita juga enggak apa-apa, sih! Cuma rasanya enggak adil aja, kamu ngerti masalah Mas Aldy dan aku enggak tahu apa-apa masalah kam—”

“Nay meminta cerai karena ia tidak bisa … tidak mau memiliki anak!” jawaban Bagas membungkan Mitha. Sahabatnya yang tak pernah kehilangan kata-kata, saat ini terdiam dengan bibir terbuka dan mata membulat mendapati cerita di balik kegagalan rumah tangganya. “Aku sengaja enggak cerita, karena enggak mau anggapan kamu tentang Nay menjadi berubah.”

Mitha memukul lengan Bagas bertubi-tubi, hingga ia kelelahan. “Aku enggak sepicik itu, Gas.”

Keduanya terdiam dengan pikiran yang berbeda arah. Mitha tak ingin menanyakan tentang alasan dibalik keengganan Nay untuk memiliki anak. Sedangkan Bagas masih memikirkan tentang rencananya mengenalkan Mitha pada beberapa orang temannya. Perasaan bersalah yang ada di hatinya semakin besar melihat sikap Aldy yang datang dan merusak acara pembukaan butik Mitha. Jika dulu ia menceritakan tentang ketidaksetiaan Aldy, apakah cerita pernikahan Mitha akan berbeda. Meski ia meragukan itu, tapi kepalanya tak berhenti untuk bertanya-tanya.

“Makasih karena enggak tanya tentang Nay selama ini,” kata Bagas menarik perhatian Mitha.

“Alasan kita memutuskan untuk bercerai bukan untuk diceritakan pada semua orang.” Mitha masih mengingat marah dan jengkel yang dirasakannya ketika bertemu salah satu saudara yang terkenal usil. “Gas … aku enggak mau kamu merasa bersalah,” kata Mitha. “Mas Aldy enggak bisa menahan nafsu bukan menjadi tanggung jawab kamu.” Bagas menopang dagu dengan satu tangan menoleh ke arah Mitha yang juga melihat ke arahnya. “Aku enggak cerita ke kamu masalah Mas Aldy karena aku enggak mau dikasihani. Aku tahu semua orang kasihan melihatku, itu kenapa saat ini aku  mati-matian membuktikan pada siapapun bahwa aku bisa berdiri meski tanpa seorang suami.”

“Tapi kamu enggak perlu sendiri, Tha!” kata Bagas tegas. “Aku  tahu kamu kuat. Aku percaya kamu bisa, tapi aku juga tahu kamu pasti butuh seseorang buat nemenin kamu tidur. Karena tidur cuma sama guling itu enggak enak.”

Mitha mendorong, memukul dan mencubit lengan Bagas ketika mendengar nasehat tidak berguna yang masuk ke telinganya. Meski ia jengkel semua orang meributkannya yang tidur hanya berteman guling, tapi Mitha bisa tertawa terbahak-bahak dan melupakan semua masalah yang Aldy timbulkan hari ini. Meski terkadang ia merasa sendiri, tapi jauh di dalam hatinya, ia tau bahwa disekitarnya ada banyak orang yang mendukungnya. Termasuk Bagas dengan misi anehnya. “Mau ikut ke rumah Mas Ara? Ada pesta bakar-bakar di sana.” Kedekatan Bagas dengan semua anggota keluarganya membuat pria berbadan tinggi besar itu selalu diterima kapanpun di rumah mereka.

Keduanya melangkah keluar dari tempat persembunyian Mitha dan menuju rumah utama yang sepi karena semua sudah berangkat ke rumah Ara. Hanya tinggal Simbok yang sibuk di dapur bersama Tatik yang membantu asisten rumah tangga sepuh mereka. “Mas Bagas mau kopi?” teriakan Simbok menyambut keduanya.

[1] Aku masih bisa berdiri, Tha. Atau perlu dibuktikan sekarang?

Thank you sudah sabar baca Mas Bagas pelan-pelan. Kali ini aku main perasaan. Kalaupun ada bagian yang membingungkan, nanti bakalan jelas. Entah saat selesai di wp atau di buku cetak 😎😎

Happy reading
😘😘😘
Shofie

Dicomblangin MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang