Bab 10

1K 236 20
                                    

Penawaran


Melangkah memasuki Mamita selalu membuat senyumnya terbit. Ada rasa tenang dan nyaman saat ia berada di antara semua kain tradisional yang tertata rapi. Kain songket yang bermotif cerah tergantung di dinding menghadap pintu masuk. Sedangkan kain batik terlihat tertumpuk rapi di atas meja marmer kotak berwarna putih.

Sebagian besar meja atau lemari yang dia gunakan untuk display adalah barang peninggalan orang tuanya atau orang tua Ara dan Nika—istri Ara. Perempuan berambut pendek tersebut lebih bersemangat dari pada dirinya saat menata butik untuk malam sebelum pembukaan. Saat ini ia bisa melihat hasil kerjanya bersama Nika dan Ananta. Teriakan Paket membuyarkan lamunannya, dan mendapati kurir membawa kotak besar berwarna coklat. Hatinya melonjak bersemangat setiap kali mendapati produk baru yang bisa ia buka satu persatu seperti kebiasaan mendiang ibunya.

Mitha bersimbuh dan mengeluarkan satu persatu kain batik dari dalam kotak kardus besar di depannya. Mendapati kain batik hasil kerjasamanya dengan pengusaha UMKM asal Surabaya, membuatnya semakin bersemangat. Dengan cekatan dan sesekali mengecek catatan di tangannya, Mitha mengeluarkan semua isi kotak tersebut.

Batik dengan motif dan juga warna yang lebih cerah dan juga berani membuatnya tersenyum puas melihat hasil karya pengrajin batik. Jarinya mengusap pelan batik dengan warna cerah di pangkuannya. Motif Ujung Galuh dan juga Sawunggaling menjadi produk andalannya. Entah apa yang membuat kedua motif itu memiliki pasar yang lebih ramai, karena bagi Mitha semua batik terliat indah.

Denting notifikasi terdengar lembut dari saku celana jeans yang dipakainya hari ini. Mitha memadu padankan dengan kemeja batik tanpa lengan sepanjang setengah paha membuatnya terlihat rapi tapi tetap santai.

Ajisaka Pratama
Boleh mampir? Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan

Matanya membulat membaca pesan Saka. Pasalnya semenjak pertemuan tidak sengaja di kafe waktu itu, ia tak pernah bertemu atau berkomunikasi dengan kakak kandung Bagas tersebut.

Tumben, Mas? Monggo kalau mau mampir, aku ada di butik.

Setelah menutup jendela pesan, Mitha duduk dan mengedarkan pandangan ke setiap sudut butik kecilnya. Semua terlihat rapi dan sesuai apa yang ia rencanakan, dan hari ini ia akan mengundang kakak Bagas untuk masuk kemari. Pria yang tidak terlalu banyak bicara ketika keduanya bertemu, membuatnya merasa terintimidasi. Bukan karena pria itu menakutkan tapi karena setiap kali Saka mengatakan sesuatu, ia bisa melihat bahwa pria itu mengamati atau menilai dirinya. Membuatnya merasa melakukan kesalahan.

"Gas, Mas Saka mau apa ke butik, ya?” tanyanya ketika Bagas menjawab teleponnya di dering kedua, seperti biasanya.

“Ada pekerjaan yang pengen aku dan Mas Saka ajukan ke kamu.” mendengar kata pekerjaan membuatnya bersemangat. “Kalau nanti Mas Saka enggak sempat mampir, aku yang ke sana.”

“Mas Saka aja, lah! Bosen aku liat kamu melulu. Sesekali ada penyegaran mata, gitu. Biar enggak sepet-sepet banget mataku.”

“Heh! Mas Saka udah punya istri!” Mitha tertawa setiap kali ia menggoda Bagas dengan memakai nama kakaknya. Terlebih lagi setelah misi mencari suami yang resmi diluncurkan minggu kemarin. Membuatnya teringat pada pria yang menolak untuk melihat kedua anaknya.

Mita tertawa mendengar hardikan Bagas, “Masih mending Mas Saka timbang temen kamu, Gas. Orang kok jengkelin banget, gitu katanya bibit unggul.” Mitha mengingatkan pada promo Bagas tentang calon-calon yang sudah di susunya untuk menyukseskan misi nekadnya.

“Iya iya … enggak lagi. Aku jamin calon berikutnya bakalan bikin kamu seneng.” Meski ia meragukan dengan calon-calon yang Bagas punya, mitha tetap menjawab iya sebelum menutup telepon dan menanti kedatangan Saka.

Ia masih duduk bersimpuh dikelilingi tumpukan kain batik terlipat rapi dan juga beberapa buku catatan ketika terdengar suara kamera. Ia mengangkat kepala dan siap untuk menghardik siapapun yang mengambil fotonya, karena selama ini ia tak suka untuk berfoto.

“Kam—”

“Hai,” sapa Saka yang terlihat menenteng kamera professional di tangannya.

“Lho, Mas. Sorry, aku kira siapa,” kata Mitha ke arah pria yang masih berdiri di ambang pintu. Kakinya kesemutan karena terlalu lama duduk di bawah, ia hanya  mendongak dan menyambut Saka memasuki butiknya. “Silahkan masuk, Mas,”kata Mitha. “Enggak foto aku, kan, Mas. Aku belum siap terkenal.” Goda Mitha yang hanya mendapati senyum simpul dari pria yang berjalan masuk setelah mengucapkan salam.

“Aku enggak ambil foto kamu,” jawab Saka. “Nih, foto butik kamu, kan?” Mitha melihat layar kamera yang Saka ulurkan padanya, dan yang dilihatnya adalah tumpukan kain songket yang beberapa saat lalu disusunnya dengan rapi. Mitha tersenyum menampilkan deretan giginya sebelum meminta maaf karena menuduh kakak Bagas. Pria yang selalu terlihat rapi tersebut berkeliling di butik tanpa mempedulikannya yang sedang menahan sakit.

“Kesemutan?” tanya Saka ke arahnya. Mitha hanya mengangguk dan berusaha menahan sakit saat ia meluruskan kaki. Sesekali bibirnya mengaduh dan mengundang raut kuatir di wajah Saka. “Sudah biasa, lagi, Mas. Emang enggak pernah lihat perempuan gringgingen, apa?”

Saka berjongkok di depannya dan meraih satu kain batik lalu berkata ke arah Mitha. “Pernah, tapi biasanya mereka enggak ngomong kalau kesemutan. Entah beneran enggak kesemutan atau pura-pura,” jawab Saka. Kedikan pundak pria yang masih mengamati batik di tangannya tersebut terlihat acuh. “Masih sakit?”

Mitha menggeleng setelah tidak merasakan sakit di kakinya. “Mas Saka ada perlu sama aku?”

Bukannya menjawab, pria yang ada di depannya mengeluarkan kartu nama berwarna hitam berisi nama dan nomor teleponnya. Mitha menaikkan satu alis, keheranan melihat kartu nama di tangnnya. “Lha ngapain Mas Saka kasih kartu nama?” tanya Mitha geli, karena ia beberapa kali menyambangi kantor Saka dan Bagas.

“Biar kelihatan resmi. Bagas sudah cerita pekerjaan yang mau aku tawarkan?”

“Enggak, Mas,” jawab Mitha. Saka mengikutinya dan duduk bersila di depannya. Ia hendak melarang pria itu, tapi melihat kenyamanan yang Saka tunjukkan membuat Mitha mengurungkan niatnya.

“Kamu pasti tahu kalau aku sama Bagas itu pedagang, dan sebagian besar klien kami berada di luar negri.” Mitha menerima uluran ponsel yang menunjukkan proses packing beberapa produk di sebuah gudang konstruksi baja. “Mulai dari furniture hingga kain traditional, semua hasil kerajinan tangan.”

Mitha mengangguk mendengar Saka, meskipun ia belum mengetahui detail pekerjaan yang akan mereka berdua tawarkan padanya. “Jadi maksud Mas, mau ambil kain dari Mamita?’

“Kenapa Mamita?” tanya Saka membuyarkan lamunannya tanpa menjawab pertanyaannya.

“Hah?!” tanyanya dengan mata membulat.

“Kenapa Mamita?” tanya Saka sambil menunjuk lampu neon yang berwarna terang.

Mitha mengikuti arah pandangan Saka. Neon sign bertuliskan Mamita kado dari kedua anaknya. “Aku ambil dari keponakan yang selalu memanggilku Mamita. Singkatan dari Mama Mitha,” jawabnya tanpa memandang Saka mengingat anak perempuan Rizky yang selalu  menjadi sasaran kasih sayang dan keusilan Anjas dan Mara.

“Saya ada permintaan beberapa furniture dengan lapisan kain batik di bantalannya,” kata Saka tiba-tiba kembali membahas pekerjaan.

Mas Bagas libur dulu ya hari ini, biar pada kangen ntar 😂😂😂

Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Dicomblangin MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang