Bab 3

917 252 27
                                    

New beginning

“Pertama Mama tahu tentang Papa kalian, kurang lebih setahun sebelum … kita pindah ke sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Pertama Mama tahu tentang Papa kalian, kurang lebih setahun sebelum … kita pindah ke sini.” Mitha menjelaskan dengan jantung berdetak kencang. “Kalian harus tahu, menghancurkan rumah kalian adalah sesuatu yang sulit untuk Mama lakukan,” kata Mitha dengan hati yang hancur memandang wajah anak gadisnya.

“Mama enggak menghancurkan rumah kita, Papa yang melakukan itu!” jawab Anjas. “Yang aku dan Mara enggak ngerti adalah, kenapa Mama memutuskan untuk menyimpan sakit itu sendiri?!” tanya Anjas dengan suara serak.

Mitha terpaku memandang kedua anaknya, dalam sekejap terlihat lebih dewasa dibanding umur mereka yang baru saja beranjak dari tiga belas tahun. Kedua anak yang menjadi tujuannya selama ini terlihat sedih, marah dan kecewa, meski ia tahu bukan ditujukan kepada dirinya. “Seburuk apapun Papa, tetap Papa kalian. Tidak ada yang bisa merubah itu dan Mama enggak pernah ingin kalian tahu aib Papa. Mungkin kalian marah dan kecewa sama Ma—”

Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimat, kedua anaknya menghambur dan memeluknya dengan erat. Tangis bukan hanya ada di wajahnya, karena ia bisa mendengar isakan dari bibir Anjas dan Mara, “Kami enggak marah sama Mama. Mama salah!” jawab Anjas tegas.

“Kami berdua merasa bersalah sama Mama, bukannya marah dan kecewa sama Mama,” jawab Mara dengan suara serak yang mengeratkan pelukan di sekeliling pundaknya. Kedua tangannya sibuk mengusap punggung dua remaja yang tingginya sudah melewatinya tersebut. Setelah beberapa saat Anjas dan Mara membiarkannya bernapas lega dan kembali duduk menghadap ke arahnya.

“Mama bisa cerita ke kita, enggak perlu disimpan sendiri?” pinta Anjas dengan suara pelan, menatapnya ragu. Seolqh takut ia akan marah mendengar permintaannya.

Mitha mengusap air mata yang meleleh di pipinya ketika mengingat pembicaraan paling sulit yang pernah ia lakukan dengan kedua anak remajanya beberapa saat lalu. Tak pernah ia membayangkan akan kembali membuka rasa sakit yang selama tiga tahun dikuburnya dalam-dalam. Namun, yang membuatnya semakin sedih adalah melihat sorot mata Anjas dan Mara yang terlihat terluka. Salah satu alasan kenapa ia menyimpan duka itu sendiri, karena ia tak mau melihat itu pada kedua buah hatinya.

“Piye? Mereka baik-baik aja?” tanya Rizky yang menghampirinya di paviliun yang sudah beralih fungsi menjadi ruang kerjanya sejak adiknya pindah ke kamar utama.

Mitha melirik Rizky dan kembali menekuri pola baju yang baru saja ia kerjakan. Ia membutuhkan pengalihan dari wajah kedua anaknya yang acap kali muncul ketika ia mengingat kejadian beberapa saat lalu. “Kamu ngapain ke sini? Mas Ara udah balik?”

Lha kowe ngopo ndelik neng kene?”[1] tanya Rizky yang memainkan penggaris lengkung di tangannya. Pria yang terlihat santai dengan celana pendek tersebut tak terlihat lelah meski ia tahu harus berperan ganda selama ini. “Kowe cerito arek-arek?”[2] Mitha hanya mengedikkan pundak tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Terus, piye?”[3]

Dicomblangin MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang