Bab 7

750 248 24
                                    

Syarat dan Ketentuan berlaku

Semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Menghindarkan mereka dari mara bahaya dan juga segala bentuk trauma yang bisa membuat tumbuh kembang mereka terganggu. Begitu juga dengan Mitha. Ia menginginkan yang terbaik untuk Anjas dan Mara, karena itu cerita perselingkuhan Aldy hanya menjadi bebannya. Namun, Tuhan menghendaki yang lain. Anjas dan Mara tahu cerita di balik perceraiannya, tapi ia tak tahu bahwa anak pertamanya mengetahui hal itu jauh sebelum perpecahan keluarga mereka.

“Mas, kenapa enggak cerita Mama?” tanya Mitha setelah mendengar penjelasan Mara.

Anjas mengangkat kepala dan memandang ke arahnya, tatapannya tajam, tapi Mitha bisa merasakan rasa marah yang ada di sana. Namun, kesedihan yang mengusik hatinya. “Apakah ada bedanya kalau aku cerita ke Mama? Bukannya Papa dan Mama akan tetap bercerai?!”

“Sayang,” kata Mitha. “Kamu benar, tidak akan ada yang berubah di antara Papa dan Mama. Namun, Mama bisa bilang kalau cara Mama menghadapi kalian berdua mungkin saja berbeda.” Sejenak ia membutuhkan waktu untuk mengatur napas, Mitha mengedarkan pandangan ke semua sudut kafe. “Seperti yang Mama bilang waktu itu,” katanya kembali memusatkan perhatian pada kedua anaknya. “Memutuskan untuk tidak menceritakan tentang Papa adalah pilihan yang Mama ambil karena ingin melindungi kalian berdua. Jika Mama tahu kalau Mas An tahu tentang Papa, mungkin Mama enggak akan menutupi dari kalian. Mama minta maaf, ya. Enggak seharusnya menutupi kenyataan itu.”

“Papa enggak jawab apa-apa waktu aku bilang Papa selingkuh dan menghancurkan keluarga kita.” Hatinya sedih membayangkan kesedihan kedua anaknya. “Aku ingin membenci Papa. Aku ingin bisa melakukan sesuatu untuk mengurangi semua sakit yang Papa beri ke Mama. Aku ingin bisa melakukan sesuatu yang—”

Mitah menarik lembut tangan Anjas yang terkepal di atas meja dengan tangan kirinya dan mengenggam tangan Mara dengan tangan kanannya. “Mama enggak mau kalian membenci Papa. Mama enggak mau kalian menyimpan semua kebencian di hati untuk Papa atau bahkan untuk adik tiri kalian. Mama enggak mau anak-anak Mama hidup dengan marah di hati. Ketahuilah, Tuhan sudah menggariskan setiap bagian hidup kita semua. Garis jodoh Papa dan Mama berhenti tiga tahun yang lalu, tidak ada satupun yang akan bisa mencegah itu.”

Remasan di kedua tangan ia rasakan, dan membuat hatinya terisi dengan rasa bahagia yang tak tertandingi. Ia tidak menyesali perceraiannya, Mitha hanya berharap seandainya ia bisa lebih bijak dalam mengambil sikap. “Mama enggak mau kalian berdua memikirkan tentang perkataan Papa. Suatu saat Mama mungkin akan menikah, tapi kalian berdua harus yakin kalau Mama enggak akan melakukan sesuatu tanpa memikirkan kalian berdua.”

Sekian menit kedua anak remaja di depannya terdiam dan memandang ke segala arah kecuali dirinya. Mitha tahu banyak hal yang harus keduanya pikirkan, tapi ia tak ingin ada sesuatu yang berubah di antara mereka bertiga. Keterbukaan dan kedekatan yang semakin tumbuh setelah perceraian, membuatnya merasa tidak sendiri meski tidak ada suami di sampingnya.

“Om Bagas ingin mengenalkan Mama ke temannya.” Anjas dan Mara membeliakkan mata ke arahnya. Mitha memutuskan untuk tidak menutup-nutupi dari kedua anaknya. “Tapi Mama enggak akan lakukan itu kalau kalian tidak menyetujui itu.” Mitha mengatakan itu setelah melihat keberatan yang terlihat jelas di wajah anak perempuannya. “Gimana?”

“Om Bagas bukannya pacar Mama?!” kata Mara.

“Hah! Dapat kesimpulan dari mana itu? Om Bagas itu sahabat Mama sejak kuliah, deketnya Mama sama dia udah seperti saudara.” Ia mencoba menjelaskan kedekatannya bersama Bagas yang selalu membuat semua orang salah paham selama ini. “Gimana? Menurut kalian Mama harus terima penawaran Om Bagas, enggak?”

Mitha tahu tentang kedekatan anak kembar, ia sudah melihat itu di keduanya semenjak mereka bayi. Terkadang mereka bisa menangis atau bahkan diam secara bersamaan setelah saling memandang atau tangan mereka saling menyentuh atau bahkan ketika keduanya berada di ruangan yang sama. Semua itu semakin berkembang hingga saat ini. Ia melihar keduanya saling pandang layaknya orang yang melakukan pembicaraan serius, tapi bibir keduanya tertutup rapat. Ia melipat tangan di depan dada dan menanti keduanya selesai berkomunikasi dengan bahasa isyarat mereka berdua. 

“Kita berdua belum sepenuhnya bisa menerima jika Mama ingin menikah lagi, tapi aku dan Mara ngerti kalau Mama membutuhkan seseorang di samping Mama,” kata Anjas. “Kata Om Eky, setiap orang membutuhkan pendamping. Bukan karena kami berdua tidak cukup untuk Mama, tapi karena Mama sayang sama kita berdua jadi membutuhkan seseorang untuk ber agi sayang itu.”

Mitha mengigit bibir bawahnya mendengar suara tegas Anjas. “Kita berdua belum sepenuhnya ikhlas, tapi jika Mama ingin berkenalan dengan teman Om Bagas, kami enggak apa-apa.”

“Padahal Mama sedikit berharap kalian larang, lho,” kata Mitha geli.

“Kenapa? Kata Om Eky, Mama butuh seseorang untuk menguatkan Mama. Meski aku enggak tahu apa maksudnya, karena buatku, Mama adalah manusia paling kuat.” Ia kembali mengenggam tangan Mara dan mengatakan sayang pada gadis kecil itu.

“Jujur, Mama enggak yakin sama rencana On Bagas,” kata Mitha. “Mama merasa enggak adil buat kalian berdua.”

Ada ketakutan di hatinya, bukan takut untuk memulai, tapi takut jika dia menemukan kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Karena bagi Mitha, itu sama dengan mengkhianati kedua anaknya. Setelah pengkhianatan Aldy, Mitha menjadi lebih berhati-hati dalam bersikap.

“Kita berdua punya syarat,” kata Anjas membuyarkan lumunannya. “Mama boleh berkenalan dengan siapa saja, tapi harus sama kita berdua.” Pinta Anjas setelah melihat keterkejutan di wajah Mitha. “Seperti Mama bilang tadi, kamu berdua yang nanti harus dihadapi siapapun yang ingin menikah sama Mama, kan?”

Entah harus bersyukur atau justru sedih melihat sikap kedua anaknya yang terlihat mendukung ide Bagas. Penerimaan keduanya membuatnya semakin ragu untuk melakukan rencana Bagas, karena ia tak siap jika harus mencoba kembali. Membayangkan menerima seseorang untuk masuk ke dalam kehidupannya dan kedua anaknya menjadi sesuatu yang menakutkan. Ia tahu kedua anaknya sudah terbiasa dengan rutinitas tanpa seorang ayah, begitu juga dengan dirinya.

“Kalian ingin Mama menikah lagi?” pertanyaan yang berat untuk ia tanyakan pada keduanya, tapi Mitha tahu pada akhirnya ia harus menanyakan hal tersebut. Anjas dan Mara terdiam dengan  sorot mata yang berbeda, tapi ia tahu kedua anaknya menyimpan keraguan di hati mereka masing-masing. Karena ia pun merasakan hal yang sama, ragu untuk memulai kembali. Mempercayakan hati pada seseorang yang memiliki kesempatan besar untuk menghancurkannya lagi terasa menakutkan bagi Mitha. “Mama masih belum yakin bisa percayai seseorang sebesar itu lagi?” katanya dengan senyum kikuk ke arah kedua anaknya.

“Tapi Mama percaya Om Bagas, kan?” Tanpa berpikir dua kali, Mitha mengangguk dan tersenyum menjawab pertanyaan Anjas.

Yuhuuu ... Hari ketujuh dan aku masih bertahan
😂😂😂

Mitha punya masalah dengan kepercayaan. Dia suloit untuk percaya sama orang lain kecuali yang sudah ia percaya selama ini. (Halah, terlalu banyak kata percaya)

Happy reading ya guy
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Dicomblangin MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang