Pertemuan
Mitha menatap sebal ke arah pintu ketika melihat seorang pria terlihat memasuki kafe dengan tangan merangkul pundak perempuan yang berjalan bersisian dengannya. Senyum tak lepas dari bibir keduanya, membuatnya semakin muak melihatnya. Ia bukan iri melihat kebahagian pria itu, tapi marah karena Aldy membawa istrinya untuk bertemu siang ini. Pasalnya Aldy meminta bertemu untuk membicarakan masalah anak-anak mereka.
“Sudah lama, Tha?” tanya Aldy yang menarik kursi untuk perempuan yang menatapnya dengan ragu. Mitha hanya mengedikkan pundak ke arah pria yang masih tidak merasa bersalah setiap kali bertemu dengannya.
“Mari kita berpisah,” ucap Aldy setelah menyelesaikan makan malam mereka. Mitha sengaja menitipkan kedua anak mereka di rumah keluarganya agar ia memiliki waktu berdua dengan suaminya untuk merayakan hari pernikahan mereka.
Tangan yang memegang gelas air minum berhenti di udara ketika ia mendengar suara pelan dan tanpa ada keraguan sama sekali keluar dari pria yang menikahinya dua belas tahun lalu. Dengan tangan gemetar, Mitha meletakkan gelas sebelum menatap Aldy. Ia membutuhkan waktu beberapa menit untuk mengatur napas dan berdoa semoga telinganya salah mendengar.
“Mas bilang apa?” tanyanya pelan.
“Aku ingin kota berdua bercerai!”
Napasnya tercekat, dan tak lama kemudian keringat dingin mulai bermunculan. Ia bahkan bisa merasakannya mengalir di sepanjang tulang punggung yang ia tegakkan begitu mendengar permintaan yang tidak masuk akal dari bibir Aldy. Pria tinggi, gagah, berkulit putih dengan lesung pipi di sebelah kanan. Pria yang selama ini ia sebut di setiap akhir sujudnya. Pria yang berselingkuh di belakangnya semenjak tahun lalu. “Karena kamu mau nikahi kekasihmu yang sudah hamil dua bulan, iya, kan, Mas?”
Wajah pias pria yang selalu terlihat sempurna tak luput dari pengamatannya saat ini. Ia bisa melihat bibir Aldy mengeras dan sorot mata penuh kemarahan tertuju kepadanya. “Enggak usah marah gitu. Aku tahu kok, hanya pura-pura enggak tahu, dan saat ini aku menyesali keputusanku itu.”
“Kalau kamu tahu, kenapa diam selama ini?!”
Sesak di dadanya semakin terasa mendengar nada penuh kemarahan yang Aldy tujukan padanya. Bahkan saat ini ia bisa merasakan detak jantungnya semakin tidak beraturan. Mitha meraba dada kirinya dan berharap ia tidak pingsan saat ini. Karena ia harus menjadi perempuan kuat, bukan untuk diri sendiri, tapi untuk kedua anak-anaknya. “Kenapa harus aku yang mengatakan sesuatu? Di antara kita siapa yang enggak bisa nahan nafsu! Aku? Enggak, kan?!”
Mita melonjak ketika Aldy menggebrak meja dan menunjuk dirinya dengan mata memerah menahan marah, “Kam—"
“Kamu yang sselingku,” sela Mitha. “Jadi laki-laki jantan dan akui kesalahanmu, bukannya berharap aku yang mengatakannya. Aku hanya berharap papa yang jadi panutan kedua anakku akan bersikap seperti layaknya seorang laki-laki dan memulai sesuatu setelah mengakhiri apapun yang kita punya. Namun, ternyata aku salah. Kau tidak cukup punya nyali untuk itu.” Mitha berdiri dan meninggalkan meja makan di mana Aldy masih terdiam. “Kirim gugatan ceraimu ke rumah Ibu, aku enggak akan menghabiskan satu malam lagi di rumah ini. Kalau Mas mau kasih rumah ini untuk selingkuhan kamu, silahkan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicomblangin Mantan
RomanceYang Mitha inginkan adalah menjalani hidup tenang bersama kedua anak kembarnya. Menikmati hari sebagai orang tua tunggal, pemilik butuh dan juga penjual kain tradisional dengan banyak kesibukan. Yang tidak Mitha inginkan adalah kembali membuka hati...