"Jisung, terimakasih banyak karena sudah menenangkan anakku. Entah kenapa dia sekarang begitu rewel semenjak tumbuh gigi"
Jisung, si pemilik nama yang sedang bermain dengan anak kecil di pangkuannya menoleh kearah wanita yang ada di hadapannya. Ia tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Sama-sama kak. Tidak usah sungkan begitu, lagipula jia ini sudah aku anggap seperti anakku sendiri kok"
"Aku jadi tidak enak kepadamu karena mengganggumu bekerja saat keadaan cafe ramai tapi jia selalu meminta untuk bertemu denganmu"
Jisung mencubit pipi si kecil yang ada di pangkuannya. "Tidak apa, bawa saja dia kemari lagipula di dapur ada jeongin kok yang membantuku mengurus cafe jadi tidak masalah. Lagipula aku rindu dengan bayi mungil satu ini"
Jia terkikik bahagia saat jisung mencoba menggodanya dengan menggelitik perutnya. Tentu kejadian itu menjadi hiburan untuk sang ibu yang lelah melihat anaknya terus menangis.
"Kau belum ada keinginan untuk pulang jisung?"
Han jisung menoleh kearah wanita yang berstatus sebagai kakanya, han roohe. Jisung menggeleng kecil sambil tersenyum tipis.
"Jisung belum ingin pulang kak, lagipula tempat tinggal jisung saat ini tidak kalah nyaman dari rumah kok. Serius deh, kaka harus mampir ke apartment jisung yang baru"
Roohe menghela nafas kecil lalu mengangguk kecil. Dirinya tidak akan pernah bisa memaksa adiknya untuk pulang setelah kejadian waktu itu membuat jisungnya sangat berubah drastis bahkan roohe sendiri seperti hampir tidak mengenal jisung setelah laki-laki tersebut pergi dari rumah.
"Baiklah, aku akan mampir bersama jia dan ayahnya suatu saat nanti"
"Aku tunggu kak"
Jisung kembali sibuk bermain dengan keponakan tersayangnya walau sebenarnya laki-laki itu tengah banyak berfikir, mengingat kejadian lama yang membuat jisung memilih meninggalkan rumah dan tinggal di apartment kecil di pinggir kota yang tidak jauh dari wilayah cafe.
Setidaknya untuk saat ini tinggal sendiri lebih aman daripada harus kembali ke rumah itu. Rumah yang terasa seperti neraka untuknya.
---
Seusai bekerja mengurus cafe kecil yang jisung rintis sejak lulus sma berakhir dirinya tidak memilih melanjutkan kuliah. Jisung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang terdapat di apartment kecil miliknya, menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Entah apa yang jisung fikirkan saat ini, kepalanya seperti terasa bercabang.
Hidup itu penuh kejutan sekali. Sesuatu hal yang kita rencanakan dengan baik bisa hancur begitu saja hanya karena sesuatu hal kecil membuat jisung meringis membayangkan nasibnya yang sangat memusingkan.
Lamunan jisung buyar saat telfonnya berdering kencang membuat jisung terlonjak kaget. Dengan malas diraihnya telfon genggam tersebut yang menampilkan bahwa Felix, teman kecilnya menelfon.
"Kenapa lix?"
"Kamu udah di rumah ji? Aku abis buat resep kue baru dan butuh penilaian nih. Kamu bisa bantuin aku ga?"
"Boleh, kesini aja mumpung aku udah di rumah sekarang"
Felix mematikan telfon untuk langsung menghampiri jisung. Hal ini sudah biasa dimana jisung akan menjadi penilai untuk kue buatan Felix agar cocok masuk ke dalam menu baru di toko kuenya atau tidak.
Tiba-tiba fikirannya seperti mengingat kejadian tadi saat di cafe siang hari, dimana jisung bermain bersama jia saat itu juga matanya tidak sengaja menangkap seorang laki-laki menatap kearahnya dengan tajam.
Sesungguhnya jisung terbiasa mencuri perhatian apalagi saat bersama jia tetapi biasanya orang-orang hanya akan memperhatikan bayi kecil di pangkuan jisung. Entah kenapa, laki-laki tadi malah menatap ke arahnya.
Sebenarnya siapa sih dia? Sepertinya pelanggan baru karena jisung tidak pernah melihatnya sama sekali.
"JISUNG"
Teriakan nyaring tersebut membuat fikiran jisung buyar seketika. Jisung mendengus kesal mendengar teriakan Felix yang seperti tidak ada dosa sekali, akhirnya dengan malas jisung beranjak dari posisinya untuk membuka pintu bagi Felix.
Pintu di buka dan felix langsung masuk dengan banyak kotak makanan yang dibawa di tangannya membuat jisung berdecak kecil melihat felix yang kesusahan. Jisung membiarkan Felix menaruh semua kotak makanan di atas meja makan.
"Sumpah, hari ini aku buat banyak kue dan kamu harus cobain buat nilai pokoknya"
"Iya bawel"
Jisung duduk di hadapan Felix yang sibuk menata kue buatannya sesuai yang dia mau. Setelah itu jisung mencoba satu persatu sekaligus memberi nilai atau saran, kebiasaan ini sering mereka lakukan sejak masih di sma dulu saat Felix mulai belajar membuat kue dari buku resep yang dibeli.
Entah setan apa, kedua anak remaja tersebut memilih tidak melanjutkan pendidikan seperti teman-temannya dan malah membuka usaha setelah bertengkar dengan orang tua masing-masing.
Tidak sih, ini hanya jisung saja karena ayah Felix sangat mendukung keputusan anaknya membuka usaha.
"lix"
"Hm?"
Felix yang tengah memeriksa dengn teliti kue buatannya sambil menyeruput kopi buatan jisung tadi hanya berdehem kecil.
"Menurut kamu aneh ga sih kalau ada orang yang merhatiin kamu? Tapi posisinya kalian ga saling kenal dan baru tau hari itu"
Felix menoleh kearah jisung. "Bakal ngerasa aneh, emang kenapa? Ada yang merhatiin kamu sampai ganggu kamu?"
Jisung menggeleng dan memilih bungkam. Malu rasanya untuk cerita lebih lanjut tentang kejadian tadi, takutnya itu hanya perasaannya saja dan malah di tertawakan oleh felix karena terlalu percaya diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] SILENCE • MINSUNG
FanfictionMinho selalu mencoba untuk mengajak jisung berbicara tetapi hasilnya nihil. Sesulit itu kah mengambil hati jisung sampai mengajak bicara saja butuh waktu yang sangat lama? - • bxb • minsung • mature - Start: 11 Agustus 2022