[24] Penyelesain yang tak kunjung usai

108 27 2
                                    

Jisung membiarkan kakanya masuk ke dalam kantornya yang berukuran tidak terlalu besar. Ia menutup pintu dan memilih duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan wanita yang selalu memperlakukannya dengan sayang. Jisung menunduk, kembali ragu untuk mengeluarkan hal-hal yang ada di fikirannya dan takut kakanya akan memandang benci dirinya.

"Ji"

Panggilan lembut itu membuat jisung kembali menaikan kepalanya. Tentu yang dilakukan jisung dapat terlihat dengan jelas oleh wanita itu bahwa jisung sedang banyak masalah.

"Jisung kenapa? Kamu ada masalah lagi? Cafe kamu gaada kemajuan atau gimana?"

Jisung menggeleng, mencoba menyenangkan wanita itu yang benar-benar kelihatan panik. Pasalnya memang terakhir kali jisung seperti ini saat cafe ini benar-benar kritis karena kurangnya pemasukan sebelum dibantu oleh felix dan kakanya untuk memasok dana.

"Kak maafin jisung kalo misalnya selalu ngerepotin terus"

"Kamu ngomong apa sih jisung?"

"Ada laki-laki yang mengajak jisung menikah"

Wanita itu menatap jisung dengan pandangan tidak percaya lalu sedetik itu juga langsung tertawa membuat jisung menatap kakanya dengan bingung. "Kak?"

"Kamu tuh bikin aku takut tau ga. Kalo emang ada yang mau ajak kamu nikah ya bagus dong"

"Tapi dia laki-laki kak dan jisung laki-laki juga"

"Ya terus kenapa jisung? Mau laki-laki atau perempuan, kalau dia bisa buat kamu bahagia pastinya aku bakal ikut seneng"

Jisung masih tidak percaya dengan ucapan kakanya yang terlihat lebih santai dari sebelumnya. "Masalahnya jisung ga kenal dia. Mungkin dia kenal aku tapi aku ga kenal dia sedikit pun kak"

"Masih ada waktu buat kamu kenal dia. Kamu bisa bicarain sama dia jisung buat lebih kenal satu sama lain sebelum hubungan kalian berlanjut"

Jisung menggeleng. "Bukan cuma itu. Masalah di rumah juga-"

"Jisung, kamu tau ga sih perihal masalah itu bisa kamu selesain kalau kamu pulang ke rumah buat obrolin semuanya. Berhenti buat lari terus dek"

Jisung tidak yakin jika harus menyelesaikan masalah ini sendirian tetapi dirinya juga tidak ingin menarik minho untuk masuk ke dalam dunianya yang runyam.

"Jisung takut kak"

Wanita itu beranjak dan memilih duduk di sebelah jisung, memegang tangan jisung yang bergetar. Menandakan bahwa jisung benar-benar kalut seperti saat itu.

"Jisung adeknya kaka, kamu harus tau ya kalau banyak orang yang sayang banget sama kamu kaya felix, kaka, jia, dan orang yang mau ajak kamu nikah ini pasti juga ada rasa sayang ke kamu. Kita pengen kamu bahagia dan satu-satunya cara buat kamu bahagia lagi itu selesain masalah kamu. Kalau memang kamu ga sanggup sendirian, kamu bisa minta tolong kaka pasti bakal kaka bantuin kok"

"Kak makasih"

Jisung menatap kakanya yang memandang dirinya dengan pandangan sayang. Jisung merasa bahwa dirinya kembali ada energi setelah mendengar apa yang dikatakan oleh wanita di sebelahnya ini.

"Kamu harus yakin kalo kamu bisa jisung"

"Iya kak jisung coba pelan-pelan ya"

Setelah sesi berbincang serius yang cukup memakan banyak waktu akhirnya wanita tersebut pulang bersama anaknya. Jisung membawakan beberapa cake serta minuman sebagai tanda terimakasih walau kakanya sempat menolak.

Kepergian wanita itu membuat jisung sedikit lebih bersemangat dari sebelumnya. Kalinya masih belum ingin berpindah tempat dari balik meja, menatap penuh harap ke pintu cafe untuk menyambut seseorang yang dia nantikan. Sayangnya sampai sore menjelang bahkan waktu tutup datang, yang di tunggu tidak pernah hadir membuat jisung membisu.

Cafe tutup sesuai waktunya dan jisung tersenyum saat seluruh karyawannya berpamitan kepada dirinya. Kepergian mereka semua membuat jisung menghela nafas lelah, menatap kosong ke arah langit malam sebelum akhirnya memilih untuk berjalan ke arah apartement yang jaraknga tidak begitu jauh dari cafenya berada.

Dirinya membiarkan angin menampar tubuhnya dengan nyaman walau rasa dingin terkadang menggelitik kulitnya tetapi jisung tetap bertahan untuk berjalan secara perlahan. Menikmati suasana malam seperti biasanya.

"Loh jisung"

Jisung menoleh dan mendapati chan yang sedang keluar dari minimarket. "Kak chan tumben banget ada di sekitar sini?"

Chan mendekati jisung dan tersenyum manis seperti biasanya, ciri khas chan sekali yang selalu menampilkan kesan manis dan baik membuat jisung mau tidak mau ikut melemparkan senyuman.

"Kebetulan lagi lewat sini aja abis dari resto. Ini cafe udah tutup?"

Jisung mengangguk. "Udah kak, emang udah waktunya tutup"

"Kok ga bareng Felix?"

"Aku pulang ga selalu bareng Felix kok, kalo emang janjian aja"

"Oh gitu"

Jisung berjalan diikuti chan yang berjalan juga disebelahnya, mereka mengeratkan jaket yang membuat tubuh masing-masing sambil menatap ke arah jalanan di depan.

"Rasanya udah lama ga ngobrol sama kamu kaya gini lagi jisung"

"Iya kak, soalnya cafe emang nyita perhatian aku banget"

"Kangen sama kegiatan kita dulu pas kamu masih suka masak-masak bareng felix dan aku jadi jurinya"

Jisung mengenang kenangan jaman mereka sekolah, dimana setiap ada kesempatan selalu main ke rumah chan yang memang jarang ada orang di rumah. Jisung dan Felix akan memasak sedangkan chan hanya sibuk menatap kegiatan dua orang tersebut.

"Aku sama Felix yang suka masak dulunya, tapi akhirnya malah kamu yang buka resto"

"Iya juga sih ya"

Suara angin kembali menelusup ke dalam telinga mereka dan Hal itu mereka nikmati begitu saja tanpa merasa terganggu sedikit pun.

"Aku buka resto pun karena biar keinget kamu terus" bisik chan yang teredam angin malam.

"Kenapa kak chan? Tadi ngomong apa?"

Chan yang menoleh ke arah jisung langsung tertawa kikuk sambil mengusap belakang kepalanya sendiri. "Gapapa kok. Oh iya, aku gabisa nganterin kamu sampe apartement jisung soalnya masih ada urusan"

"Kak, lagian aku ga minta di anterin juga. Kita kan ga sengaja ketemu"

"Iya sih, kalo gitu aku duluan ya jisung. Lain kali kalo ketemu lagi kita harus banyak ngobrol ya"

"Oke kak"

Chan berbalik menuju arah yang berlawan, meninggalkan jisung yang kembali sendiri. Dengan malas jisung langsung berjalan lagi untuk menuju apartemennya. Ia merindukan kasurnya karena lelah dan banyak fikiran, tubuhnya butuh dimanjakan dengan tidur.

[2] SILENCE • MINSUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang