Bonchap - Haechan side

3.7K 270 19
                                    

Haechan saat ini sedang berada di ruang rawat Giselle. Duduk di sisi ranjang Giselle yang masih terbaring lemas. Kedua tangannya menggendong sang putri dengan hati-hati. Raut wajah bahagia terpancar di wajah keduanya.

"Kondisi Giselle sudah semakin membaik. Eommamu sendiri disana. Apa tidak lebih baik kalau aku kesana untuk menemaninya?" tanya ibu Giselle.

"Benar. Disini sudah cukup orang. Kasian kalau dia harus menunggu Jaemin sendiri. Apalagi kondisi Jaeminie menurun tadi" ucap ayah Giselle setuju.

"Aku saja yang kesana. Eomma dan appa bisa disini menemani Giselle. Biar Giselle dan Baby Na beristirahat. Tidak apa kan aku tinggal mengecek adikku dulu? Tidak lama kok" ucap Haechan meminta izin pada istrinya. Dengan perlahan ia menaruh putrinya di box bayi di samping ranjang Giselle.

"Tentu. Sampaikan salamku padanya. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku dan baby Na disini. Ada appa dan eomma" ucap Giselle

"Baiklah. Aku pergi dulu. Eomma, appa aku titip Giselle dan baby Na sebentar ya?" ucap Haechan pamit. Kedua orangtua Giselle mengangguk setuju.

Haechan sudah melangkah menuju pintu. Baru saja tangannya terangkat hendak membuka pintu, pintu sudah lebih dulu terbuka dari luar. Ada seorang perawat perempuan yang datang. Kehadirannya mampu mendapatkan seluruh atensi baik dari Haechan, Giselle, dan juga orangtua Giselle.

"Haechan-ssi, maaf. Kami memiliki kabar untuk Anda dan keluarga Anda" ucapnya. Detak jantung Haechan meningkat saat menyadari raut wajah dari perawat tersebut. Berbagai asumsi hinggap di kepalanya.

"Apa ada yang salah dengan putri kami?" ucap Haechan meyakinkan.

"Bukan. Bukan soal putri Anda. Ini soal saudara Anda, Jaemin-ssi" jawab perawat tersebut. Detak jantung Haechan semakin cepat. Dia belum sempat mengecek adiknya karena harus menemani istrinya dan menyambut putrinya. Kondisi Jaemin yang sempat menurun sebelumnya membuat asumsi buruk kian meningkat.

"Ada apa dengan Jaeminie~?" tanya Haechan mendesak. Raut wajahnya semakin serius pun dengan Giselle dan kedua orangtuanya yang juga mendengar perkataan perawat tersebut.

"Sebelumnya kami meminta maaf yang sebesar-besarnya karena harus menyampaikan kabar kurang baik ini pada Anda. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Pasien atas nama Na Jaemin dinyatakan meninggal dunia tadi pukul 8 lebih 13 menit. Jenazah sudah kami pindahkan ke kamar jenazah untuk tindakan selanjutnya" ucap perawat tersebut dengan raut wajah sendu.

"Aniya. Jangan bercanda! Kau pikir kematian bisa dijadikan candaan?!" Haechan yang terlalu terkejut pun terbawa emosi. Segera ayah Giselle mendekat untuk menenangkan sebelum adanya kejadian yang tidak diinginkan.

"Kami turut berduka cita atas kepergian Jaemin-ssi" ucap perawat. Air mata turun dari kedua mata Haechan yang sudah memerah. Dengan langkah terburu-buru ia berlari keluar. Satu tujuannya yaitu kamar jenazah.

"Aku akan menyusulnya. Kalian disini saja. Terimakasih sudah memberitahu kami" ucap ayah Giselle. Dia juga bergerak cepat menyusul Haechan. Tak lupa berucap terimakasih pada perawat yang sudah menyampaikan kabar tersebut. Walau bukan kabar baik dan tentu bukanlah kabar yang diinginkan.

"Eomma, Jaeminie~..." Giselle ikut menangis. Walau belum lama bertemu, dia sudah lumayan dekat dengan Jaemin. Tentu saja kabar ini sangat mengejutkannya terlebih setelah kabar baik atas kehadiran putrinya dalam kondisi sehat.

***

Langkah kaki cepat terdengar memekakkan telinga di sepanjang lorong menuju kamar jenazah. Langkah kaki yang berasal dari Haechan yang berlari tergesa serta ayah Giselle yang menyusul Haechan. Air mata semakin banyak turun seolah mengiri setiap langkah Haechan menuju kamar jenazah. Harapan Haechan bahwa berita itu hanya bohongan pun sirna kala ia melihat ibunya menangis meraung disamping brankar. Jaemin terbaring diatasnya. Dengan kulitnya yang semakin memucat dan mata terpejam.

Bruk~

Haechan jatuh berlutut didepan pintu. Kakinya melemas begitu melihat jelas wajah saudaranya satu-satunya. Tangan kanannya sibuk memukuli dadanya yang terasa sesak. Haechan menangis meraung, melawan kerasnya tangis sang ibu.

"Kau harus kuat. Peluk adikmu untuk yang terakhir kalinya. Ayo!"

Ayah Giselle membantu Haechan untuk kembali berdiri. Haechan mendekat ke brankar Jaemin dengan langkah tertatih. Mendekap tubuh dingin itu dengan erat. Tangisnya kembali terdengar dan semakin keras. Terdengar sangat menyayat hati seolah ikut menyebarkan perasaan sedihnya.

"Jaeminie~ Kenapa meninggalkanku? hiks... Aku belum membalas hiks hutangku padamu... Kenapa kau pergi dulu ha? hiks... Kau bahkan tidak pamit padaku hiks... Jaeminie... hiks... jawab Jaeminie... Putriku sudah lahir. Kau bahkan belum menemuinya hiks..." Haechan meracau ditengah tangisnya. Menumpahkan segala perasaannya.

"Kenapa kau tidak membiarkanku bahagia hiks... Baru saja aku senang karena putriku lahir hiks... tapi kau justru pergi meninggalkanku hiks... memberi kabar buruk..."

"Apa kau mau membalasku? hiks... Kau ingin membalasku karena sudah meninggalkanmu kan? hiks... Tapi tidak begini caranya Jaeminie~ hiks... Tidak dengan pergi selamanya hiks... Aku meninggalkanmu tapi kita akhirnya bertemu lagi kan? hiks... Kalau kau membalasnya dengan cara yang seperti ini hiks... bagaimana kita bertemu? hiks..."

"Kau memberiku pilihan yang sulit hiks... Aku punya istri dan juga putri sekarang hiks... bagaimana aku menyusulmu kesana ha?..."

"JAEMIN! Ireona jebal~ hiks... hiks... NA JAEMIN! JEBAL~!" Tangis Haechan semakin keras

"Kumohon Jaeminie~~~ hiks... hiks..."

"Jaemin~"

Suara Haechan semakin melemah seiring dengan tubuhnya yang semakin melemas. Perlahan pelukannya terlepas seiring dengan tubuhnya yang meluruh kebawah. Ayah Giselle mengusap punggungnya untuk menenangkan.

****

Pihak keluarga Jaemin menolak untuk dikremasi. Mereka memilih menguburkan jasad Jaemin tanpa kremasi. Pemakaman Jaemin sudah berlangsung. Banyak sekali tamu yang datang untuk memberikan salam terakhir pada Jaemin. Media pun banyak yang meliput walau dengan jarak jauh karena dibatasi oleh pihak keamanan.

"Ayo kembali. Ikhlaskan adikmu Haechanie~ Dia sudah tidak sakit lagi sekarang" ajak ibu Haechan

"Haechan-ah~" ucapan ibunya terhenti kala Giselle menyentuh lengannya. Memberinya kode untuk membiarkannya.

"Eomma kembali saja dulu bersama eomma dan appa. Aku yang akan menemani Haechan disini. Titip baby Na sebentar ya eomma" ucap Giselle.

Setelah semuanya pergi, kini hanya ada Haechan dan Giselle di depan makam Jaemin. Haechan tidak berbicara apapun setelah menangis hebat di kamar jenazah saat itu. Raut wajahnya lesu. Giselle mendekat dan mengelus punggung suaminya perlahan.

"Ikhlaskan Jaeminie pergi ya? Perlahan-lahan. Kau pasti bisa. Setidaknya dia sudah tidak sakit lagi disana" ucap Giselle menenangkan.

Hancur sudah pertahanan Haechan. Dia kembali jatuh berlutut. Menunduk dan menangis lagi. Giselle berdiri semakin merapat di sebelah Haechan. Pergerakannya masih terbatas pasca melahirkan. Tangannya mengelus kepala suaminya yang semakin lama semakin menempel ke pahanya. Giselle juga ikut menangis. Jika ia saja merasakan begitu kehilangan atas kepergian Jaemin, bagaimana dengan Haechan dan juga ibunya. Yang ditinggal pergi dengan segala perasaan bersalah di hati keduanya.

"Mianhae Jaeminie~~"

"Jaeminie~ mianhae~"

Haechan terus menggumamkan maaf disela tangisnya. Tangannya memeluk kaki Giselle sebagai sandaran.

***

Mian typo bertebaran ^^

Votement juseyo~

Missing you ~ Jaemin Haechan || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang