Epilog; Jejak Sang Pianis

682 31 2
                                    


Segala sesuatu tentang pertemuan pasti akan berakhir dengan kata perpisahan. Entah perpisahan di dunia karena banyak hal maupun perpisahan selamanya karena satu hal. Kematian.

Jika tidak ada perpisahan, itu berarti belum bukan tidak. Cuman Tuhan berbaik hati untuk memperpanjang prolog kamu sebelum bertemu dengan epilog.

Malam yang kembali hadir dengan langit luas kelam di atas sana bahkan enggan untuk menampakkan benda langitnya, barang sebiji.

Kamar dengan bau selepas hujan yang kembali terbuka, tungkai yang dipaksa untuk masuk. Menyelami kembali bagaimana pemilik kamar masih hadir di dekatnya.

Dia telah tenang, jiwanya sudah terlepas dari belenggu sesak yang selalu menyiksa.

Terbang tinggi bahkan sebelum Juan menggapai mimpi menjadi pilot.

Arsya, berusaha mati-matian untuk tidak menangis lagi. Sudah setahun sejak kepergian Danu, dan kamar ini baru dibuka.

Melangkah pada piano putih susu yang mulai berdebu ditinggal pemilik. Duduk di kursi dekatnya.

Mulai menekan beberapa balok yang malah semakin membuat lara itu kembali singgah.

"Sudah setahun ya, Na." Lirihan yang bahkan angin saja tak mampu menjawab.

Pikiran yang dibawa kembali pada malam adiknya yang masih tertidur dengan nafas normal, sampai pada pagi nafas itu benar-benar terhenti.

Melihat dengan jelas bagaimana adiknya ditimbun tanah serta diadzani.

Melihat bagaimana hari-hari setelahnya raga itu tidak bisa lagi untuk didekap.

Usai memainkan beberapa bait lagu, Arsya mendongak menatap bagaimana hitamnya langit malam ini. Memejam dengan air mata yang kembali luruh.

"Bahkan, Kakak belum berusaha untuk kesembuhan kamu tapi kamu udah sembuh duluan." Ucapnya.

Segala tentang pergi tampa pamit memang paling menyakitkan. Tapi, terlepas dari semua itu yang namanya kepergian tetaplah sakit.

Mau kamu berpamitan atau tidak luka yang akan tergores akan tetap dalam. Kembali mengingat kenangan yang telah dilewati bersama masa yang masih ada, sama saja membumbui luka itu dengan garam.

Jendela kamar Danu yang berhembus karena angin malam bahkan tidak bisa menyamarkan air mata yang semakin berlomba ingin keluar.

Jejak basah yang dibiarkan mengering kembali basah saat bingkai fotonya serta Danu masih terpajang di atas nakas.

Arsya beranjak, mengambil bingkai foto yang sedikit berdebu itu.

Mengusap foto yang bahkan masih hangat kenangannya, saat ia dan Danu piknik di belakang rumah. Merengek setiap kali bidikan kamera Danu diarahkan tampa seizinnya.

"Mau difoto kayak bagaimana pun, Kakakku tetap cantik."

"Masa?"

"Tapi boong."

"Ih, awas kamu ya."

LAST NIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang