Warna langit tidak lagi merekah, mendung dengan awan hitam. Sore dengan gerimis hujan, aspal basah, serta tubuh lelah.
Damar menatap Jiwa lama, anak itu baru saja menghembuskan napas dalam.
Sudah dua jam mereka berada di tempat ini, Kafe dekat kampus. Lumayan sunyi karena memasuki pergantian jam keramat, menurut Damar. Pergantian dari terangnya siang menuju gelapnya malam. Jaket Damar yang sudah berpindah ke tubuh kurus Jiwa penanda bahwa angin senja mulai menusuk kulit.
"Dingin, Dam? Gw ambil jaket gw aja di mobil lo."
Damar menggeleng, tidak menyalahkan Jiwa yang sudah meninggalkan jaket miliknya di mobil.
"Nggak usah. Gw gak kedinginan."
Jiwa mengangguk, kemudian menelisik keadaan sekitar. Terlihat beberapa pengunjung saling tertawa, bercerita dengan temannya disertai ekspresi wajah yang beragam.
Ada juga sepasang kekasih yang terlihat romantis, menunjukan rasa kasih sayangnya masing-masing, terlihat sang laki-laki sesekali mengusap pipi wanita, dan sang wanita bersemu karenanya.
Jiwa terkekeh, penasaran apakah orang-orang itu juga punya masalah di hidup mereka. Dari bagaimana mereka menikmati hidup, Jiwa merasa iri. Bukan tidak bersyukur, hanya sedikit iri. Ya, sedikit.
"Gak pengen pulang, Ji? Udah gelap, dingin. Gak baik buat tubuh lo"
Sentuhan pelan Damar pada pergelangan tangannya membuat lamunan Jiwa lenyap. Anak itu kembali duduk tegak dan memfokuskan intensinya pada Damar.
"Pulangnya agak malaman aja ya, Dam. Gw lagi pengen di luar"
Alis Damar berkerut sebentar, 'tidak biasanya' batin pemuda itu. Karena yang Damar tahu, Jiwa sangat tidak suka berada diluar rumah di jam seperti ini, apalagi dengan hawa dingin dan harum aspal yang menguar sehabis hujan.
"Ada masalah?" Damar bertanya hati-hati.
"Biasa"
"Kenapa lagi?"
'Lagi' menekankan bahwa itu sudah sering terjadi.
"Pas gw pulang dari rumah lo kemaren Ibu langsung marah-marah. Katanya, dia ngira gw bakal minggat dari rumah dan biarin dia sendirian ngurusin Ayah"
Damar terkejut, tapi mencoba tenang. Sudah sering ia mendengar ini, mendengar wanita yang Jiwa kasihi setengah mati itu menuduh, mengancam, bahkan tidak segan melontarkan kalimat makian pada Jiwa.
"Terus?"
"Gw udah sering denger dia bilang gitu, ngancem ini itu kalau gw berani ninggalin dia. Atau dia bersikap seolah-olah orang paling tersakiti kalau gw pergi, gw udah sering dapat itu semua. Tapi kalau dipikir-pikir, gw juga udah usaha, pasang mental, pasang badan buat jagain dia, gw rela jadi pelampiasan kemarahan Ayah. Terus, dia gak nganggep kalau itu cara gw ngelindungin dia?"
Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi, hanya perlu waktu. Damar menatap bola mata Jiwa yang gelisah setelah seharian menyelam pada rasa penasaran. Gelagat aneh Jiwa akhirnya terjawab. Risau yang ia tanggung akhirnya terungkap.
"Lo bawa inhaler gak?" Keluar dari topik, tapi Jiwa tetap mengangguk gemas.
Damar membuka bungkus permen dan mengulumnya sebelum menjawab. Dua jam tidak menghisap batang kecil yang berisi tembakau membuat lidahnya sedikit kecut.
Ini bukan berarti ia tidak menghargai atau menyepelekan masalah Jiwa. Tapi ini cara Damar, sikap santainya akan membuat Jiwa lebih tenang dari pada ikut meluapkan emosinya.
"Jujur gw bingung, Ji. Dan pasti lo juga gak bakalan minta jawaban sok bijak dari gw. Karena lo tau gimana isinya otak gw. Tapi gw gak pernah bosen bilang kalau lo punya gw," Damar meletakkan tangannya dipundak ringkih Jiwa "gw gak tau ini bener apa engga, ini buruk apa engga, cuman kalau lo pengen egois, gw dukung lo, kalau lo mau kabur, gw dukung lo, bahkan kalau lo minta perlindungan gw dari Ayah lo, gw siap"
Damar buka orang yang pandai dalam memberikan ketenangan lewat kata-kata hangat, ia bodoh dalam hal menasehati. Apalagi memberikan masukan perihal masalah kehidupan, hidup terlalu tenang dan damai membuat pemuda itu minim pengetahuan perihal masalah hidup. Damar lebih handal dalam tindakan, act of service.
Bagaimana setiap tindakan seseorang di ruang lingkup matanya Damar tangkap dengan seksama, merekam dan mengingatnya sedetail mungkin. Sehingga tindakan mengenai rasa peduli, dan kasih sayang berjalan beriringan.
Jiwa juga sudah hapal apa yang akan pemuda atletis itu katakan. Meskipun Damar sudah mengatakannya berulang-ulang, setiap kali Jiwa mengeluh. Namun tetap sama. Jiwa akan merasakan ketenangan luar biasa. Sebab masih ada seseorang yang akan merangkulnya ketika ia rapuh, membangunkannya ketika ia tersungkur, menariknya dari lubang hitam, dan menemaninya di tempat gelap.
****
Raga hampir tidak pernah kekurangan selama hidupnya. Pahatan wajah tampan, postur tubuh yang sempurna, harta berlimpah, juga yang terpenting, orang tua menyanyanginya lebih dari apapun.
Semuanya diaduk Tuhan, menjadi kesatuan lengkap yang Raga miliki sejak ia 'dilahirkan'.
Zafran memberikan semua hasil kerja kerasnya dalam bentuk materi. Sedangkan Kira memberikan pelukan kasih sayang seorang Ibu yang pasti di dambakan semua anak di muka bumi.
Raga tumbuh menjadi sosok pintar, tapi tidak cerdas. Ia selalu mengambil keputusan tanpa banyak perhitungan, mudah terbawa arus, dan mudah dihasut. Ia sebenarnya naif, tapi semuanya tersembunyi dibalik tubuh kokoh serta tatapan matanya yang tajam. Maka, ketika semua orang berfikir bahwa setiap langkah pemuda itu telah dipikirkan matang-matang. Nyatanya, tidak. Raga hanya seorang anak yang setiap langkah kakinya disokong oleh kedua orang tuanya.
"Dimana lo, Bang?"
Tangan berurat Raga lihai memutar kemudi mobil mewah klasik miliknya. Benda beroda empat itu membelah jalan raya dengan santai. Jalanan yang masih basah membuat pemuda itu membuka kaca disampingnya, menikmati semilir angin yang sejuk tanpa banyak debu dan polusi.
"On the way. Lo udah di sana?"
Suara seseorang terdengar lewat benda pipih yang sudah menggunakan mode speaker.
"Bentar lagi nyampe"
"Oke. Palingan 10 menitan gw dah nyampe"
Raga mengangguk, "Eh, Bang!" Ia berucap cepat. Takut Genta lebih dulu mematikan sambungan telpon.
"Hmmm?"
"Gw harus gimana pas ketemu dia?"
Terdengar jelas suara kekehan Genta di seberang telpon.
"Gw udah berani ngambil resiko besar buat ini, Ga. Tapi semuanya tergantung lo, sesuai sama yang bilang. Entah itu lo gak peduli gimana keadaan dia, atau bahkan pengen nemuin dia cuma karena penasaran. Semuanya ada di elo. Tugas gw cuma sampai disini."
Jika suara degub jantung bisa disambungkan lewat kabel ke speaker yang berada dibawah dashboard mobil milik Raga, maka akan terdengar bagaimana detak menggila itu di dalam sana.
Ingat semua runtutan kisah yang Genta ceritakan sebelum ia memilih meninggalkan rumah seperkian detik. Sebuah pesan masuk dalam room chatnya. Berisi gambar, foto buram. Terlihat bahwa itu gampar cetak yang difoto kembali menggunakan kamera hp.
Dua bayi mungil.
Tulisan tanggal, bulan, tahun, tertulis menggunakan spidol kecil berwarna hitam pudar.
Perjalanan yang panjang, 10 menit terasa lama namun Raga menikmati itu. Mencoba menikmati lebih tepatnya. Seolah ia sedang berjalan di atas jembatan perubah takdir kehidupan. Seolah ia menjemput kisah baru dalam hidupnya.
Kenyataan yang sebelumnya ia tolak mentah-mentah tidak dapat terbantah. Sebab, kali pertama tatapan mata itu sudah membuat desiran aneh di tubuhnya. Raga mendamba.
Maap baru update. Hihihi
Jadi malu. :')

KAMU SEDANG MEMBACA
Bruises
Teen FictionJIWA menjual habis kebahagiannya demi hidup lebih lama. RAGA berayun pada dahan pohon yang siap tumbang di atas tubuhnya.