12: Banyak tanya, banyak tahu.

917 125 38
                                    

Suara bantingan barang yang terbuat dari kaca terdengar hingga ke dalam kamar Jiwa.

Teriakan Bara menggema di rumah mereka yang kecil, beruntung sang Ibu sedang berkerja. Undangan untuk mencuci baju di salah satu rumah mewah di kampung sebelah.

Brak

Brak

Brak

"Ji, buka! Gw tau lo di dalam"

Bukan ketukan, tapi dobrakan yang hampir saja melepaskan engsel pintu kamar Jiwa.

"Jiwa! Lo mau keluar buat ngasih gw duit, atau gw dobrak pintu kamar lo, terus gw cekek sampai mampus, hah!"

Bara terus melanjutkan aksinya yang nampak seperti orang kerasukan.

Tidak tahu sudah seberapa banyak pecahan-pecahan kaca yang ada di dapurnya. Jiwa hanya bisa berharap Ibunya tidak segera pulang dan menjadi pelampiasan sang Ayah. Sebab, Jiwa belum cukup mampu melindungi wanita itu untuk saat ini. Dengan kaki memar yang belum sepenuhnya bisa digunakan berjalan lancar, apalagi kondisi tubuh yang tidak pernah sehat. Jiwa hanya takut Bara benar-benar akan mencekiknya kembali hingga hampir menghadap sang Maha Kuasa, seperti waktu itu.

"Jiwa!" Teriakan itu semakin keras.

"Jiwa lagi gak punya duit, Yah! Udah dipake buat beli obat kemarin" Jiwa membalas berteriak.

"Oh udah berani bohong lo! Gw tau Ji, obat lo biasanya dibeliin sama temen lo yang kaya itu kan! Atau lo mau gw nyamperin dia, buat minta duit. Hahahah" Lelaki berumur itu tertawa terbahak di akhir kalimatnya.

Selalu saja, ada saja, entah itu apa, tapi Bara selalu memiliki cara untuk mengancam Jiwa. Membawa orang-orang yang peduli dengan hidupnya seolah-olah, jika mereka menyanyangi Jiwa, maka mereka juga harus menyanyangi Bara dan memberikan apa ia minta.

Jiwa tidak punya pilihan selain kembali mengambil uang tabungannya yang semakin menipis. Jerih payahnya yang berhasil dikumpulkan beberapa bulan terakhir tidak mau bertambah banyak, tapi semakin menipis seiring dengan ancaman-ancaman Bara jika ia tidak memberikan uang yang diminta Lelaki paruh baya itu.

Cklek

Pintu kamar terbuka sedikit. Tangan Jiwa menyelip di sana.

"Jiwa cuma punya segini, Yah. Di kantor lagi sepi Job"

Sang Ayah nampak tidak perduli. Mengambil uang itu secepat kilat, tanpa menghitung dan mendengarkan penjelasan Jiwa, ia langsung pergi begitu saja.

Jiwa hanya bisa menghela napas kasar, menghempaskan kembali tubuhnya di atas kasur. Meski sudah hampir setengah tahun ikut berkerja ditempat produksi iklan kecil-kecilan milik salah satu temannya, Jiwa tetap belum mampu untuk menutupi keperluan rumah tangga, hingga Ibunya tetap harus berkerja.

Kadang, Jiwa berfikir harus berkerja apa lagi agar uang yang ia dapatkan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari supaya Ibunya tidak lagi berkerja.

Berkelana pada isi kepalanya tentang perkerjaan, Jiwa jadi ingat pada seseorang yang mengirimkan pesan lewat aplikasi Instagramnya beberapa hari yang lalu.

Cukup aneh, sebab sudah Jiwa jelaskan kalau dalam produksi mereka, semuanya harus didiskusikan bersama Team. Tapi orang itu bersikeras hanya ingin berdiskusi dengan Jiwa di kafe yang ia miliki.

"Saya kurang ngerti gimana konsep yang kamu jelaskan, kalau bisa kita langsung ketemu aja. Biar penjelasannya lebih detail"

Jiwa kembali membaca beberapa isi pesan yang menurutnya agak aneh. Apakah wanita yang mengirimnya pesan ini sedang mencari berondong-berondong untuk dijadikan sugar baby?

BruisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang