Genta benar-benar menyesal dengan keputusannya yang gegabah. Buka keputusan untuk memberi tahu Raga mengenai kebenaran yang sesungguhnya, tapi keputusan untuk langsung menuju ke kafe saat kisah itu baru sampai pada penghujung sampul.
Sebuah meja kecil yang di kelilingi lima orang menjadi saksi bagaimana kakunya keadaan sekarang. Oh! Jangan lupakan member baru yang tidak Genta ketahui namanya.
"Tumben Ji, udah jam gini belum mau pulang"
Salah satu dari mereka membuka suara, Raga yang sedari tadi hanya diam juga ikut menunggu jawaban Jiwa.
"Lagi pengen diluar aja, Gam"
Gama mengangguk,
Gama, juga salah satu teman Jiwa, tepatnya teman sejak kecil, Damar sudah tahu itu. Kecuali kedua orang lainnya, dua orang yang baru saja bergabung diantara mereka.
Raga menatap Jiwa lama, jaket kebesaran yang merekat apik ditubuh kurus pemuda itu membuat dahinya berkerut.
"Lo pake jaket Damar, Ji? Gede banget, gak bawa jaket?"
Gama bertanya setelah berhasil menangkap tatapan aneh Raga.
"Iya. Jaket gw ada kok, di mobil Damar"
Gama hanya mengangguk pelan. Tidak heran karena sudah sering mendapati Jiwa memakai barang-barang Damar, dari kaos, jaket, hoodie, apapun itu. Meskipun kebesaran di tubuh mungilnya, tetap saja akan terlihat bagus. Mungkin karena semua pakaian itu bermerek, dan mahal tentunya.
Tapi jangan salah paham, bukan Jiwa yang menginginkan itu. Tapi Damar sendiri yang memberikannya, karena Jiwa selalu menolak semua barang baru yang Damar berikan, maka memberikan yang bekas ia pakai adalah caranya. Kadang Damar hanya memakai sekali, atau dua kali. Dengan alasan sudah tidak suka lagi, pakaian itu akan berpindah ke tubuh Jiwa untuk selamanya.
"Kalian kesini cuma berdua, Bang?"
Genta mengangguk, "ini anak mau curhat katanya, tapi gak pengen di rumah"
Raga sontak menatap sinis pada Genta karena sudah menjadikannya kambing hitam.
"Eh iya, dia juga mau sekalian minta maaf, kemaren anggurin uluran tangan lo. Iya gak, Ga?"
"Eh, i-iya. Gw mau minta maaf, soal itu"
Merasa Genta sudah mengirimkan sinyal, dengan tatapan mata dan senggolan kaki dibawah meja, Raga dengan gagap mengulurkan tangannya.
"Santai aja kali, lo kan kemaren emang lagi ngejar waktu juga karena telat datang"
Raga menghela napas yang sebelumnya tertahan. Ternyata selurus dan sepositif itu jalan pikiran Jiwa. Tidak tersinggung atau bahkan marah.
Tapi itu hanya anggapan Raga. Kita bahkan tidak tahu bagaimana perasaan Jiwa saat itu.
"Gak lagi ngejar waktu sih menurut gw, emang gak niat kenalan aja" Damar menyeletuk.
"Dam," Tegur Jiwa, dan mulut pemuda berotot itu kembali terkunci.
Lama kelamaan suasana tidak lagi menjadi kaku, Damar sudah kembali pada candaan garingnya, Genta mulai memasuki suasana itu. Gama dan Jiwa hanya sesekali menyeletuk dan tertawa ringan. Tidak ada rokok yang dijepit diantara jari-jari tangan, namun mereka tetap santai pada obrolan ringan.
Sedangkan Raga kembali berkelana pada pikirannya, banyak pertanyaan yang ia coba jawab sendiri. Siapa dia? Siapa orang tuanya? Dimana rumahnya? Dan apakah benar jika mereka memiliki darah yang sama?
Bisa saja kan Genta hanya bercanda, bisa saja Genta hanya membuat lelucon. Tapi untuk apa, bukankah ulang tahun Raga masih lama.
Teka-teki itu harus segera ia pecahkan. Raga tidak ingin menyangkal bahwa seseorang yang berada satu meter dihadapanya sekarang adalah kembarannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bruises
Fiksi RemajaJIWA menjual habis kebahagiannya demi hidup lebih lama. RAGA berayun pada dahan pohon yang siap tumbang di atas tubuhnya.