Damar duduk dengan tenang di sofa kecil berwarna abu-abu. Melipat kedua belah kakinya sambil memainkan benda pintar berbentuk persegi.
Ruangan serba hitam dengan banyak sekali berbagai jenis kamera, juga peralatan syuting.
Damar berada di sana sudah sekitar 30 menit yang lalu, hasil dari memaksa Jiwa, yang akhirnya mau mengajaknya syuting projek hari ini.Layaknya seorang bocah yang selalu ingin membuntuti kemanapun Ibunya pergi, Damar benar-benar duduk anteng, takut jika Ia mengeluh pada Jiwa yang sekarang hanya fokus pada pekerjaannya, pemuda itu akan marah, dan menyesal sudah mengijinkan Damar membuntutinya ke sini.
Sebelumnya Jiwa sempat menolak, karena ini adalah pekerjaan bersama Tim, jadi Ia tidak enak jika harus membawa orang lain ke tempat lokasi nanti. Tapi dengan rengekan menjengkelkan, "Ji, ayo. Boleh ya! Gw janji gak gangguin, gak cerewet, pokoknya gw bakal diam aja, Ji. Please, ya, ya!"
Oh, ayolah. Siapa yang tidak geli mendengar seorang pemuda berbadan bongsor dengan otot yang hampir memenuhi semua tubuhnya merengek seperti itu. Semua orang akan geli, termasuk Jiwa.
"Lo cari kegiatan lain aja kenapa sih, kemana kek, apel sama Karin, main futsal, atau ngapain ajalah, asal jangan ngintilin gw, Dam. Gw gak enak sama Tim nanti"
Geli, lagi-lagi saat bibir Damar nampak cemberut, rasanya bulu kuduk Jiwa benar-benar berdiri semua.
"Gw gak tahu harus ngapain, karena kan emang hampir tiap hari kalau gak kuliah, atau ke kantor Ibu, gw selalu ngintilin lo, Ji. Emang lo mau, gw cari kegiatan lain yang aneh-aneh? Kaya misalnya ikut anak-anak jalanan mabok minuman oplosan dibawah kolong jembatan? Lo mau gw gitu?"
Soo
What the fck, bukan?Dan disinilah pemuda itu sekarang, asik mengusap layar HP yang sedang menunjukkan aplikasi Instagram, sesekali Ia tertawa kecil saat ada video atau foto yang menurutnya lucu.
"Ji, laptop ada di lo kan?"
Suara pemuda berbadan besar di depan pintu membuat Jiwa yang berada dipojok ruangan mengangguk halus.
"Iya, Bang. Ini lagi bikin folder baru buat nyimpen hasil syuting nanti"
Orang itu masuk ke dalam ruangan, berdiri di belakang Jiwa yang sedang duduk di bangku depan meja dengan laptop ditangannya.
"Bagi dua folder, Ji. Foto sama video, pecah lagi mentahan sama yang sudah jadi. Kaya biasa, supaya anak-anak gak bingung"
"Oke, Bang Dap!" Dapa tersenyum gemas, mengusap rambut halus Jiwa hingga berantakan.
Perkenalkan, Dapa adalah salah satu pendiri studio pembuatan iklan ini, pemuda berusia 26 tahun yang berstatus jomblo. Ia sebenarnya tampan, atau bisa dibilang manis, sebab memiliki darah keturunan Arab. Wajahnya tegas dengan tatap mata tajam, perawakan tinggi besar namun tidak terlalu putih. Juga jangan lupakan, ciri khas darah ketimuran begitu kentara hingga membuat rambut-rambut halus sangat lebat mengisi sebagian pipi juga dagunya. Jenggot ala-ala orang Arab. Sangat gagah, dan memikat.
"Eh iya, Bang. Damar mau ikut ke lokasi, gimana? Gak pa-pa?"
Tubuh besar itu hendak menjauh, sebelum Jiwa kembali bersuara.
"Gak pa-pa, angkut aja. Asal gak ganggu, Ji"
Jiwa mengangguk pasti, "aman, Bang. Nanti kalau dia ganggu, tinggal gw usir"
Dapa hanya bisa menggelengkan kepalanya, tahu betul tabiat sahabat Jiwa yang selalu saja tidak luput dari pandangannya. Menurut Dapa, mereka lucu. Karena kadang-kadang Damar bersikap dewasa layaknya seorang kakak, tapi tidak jarang pemuda itu juga bersifat manja layaknya anak kecil, terutama pada Jiwa. Ada saja kelakuan Damar untuk menarik perhatian sang sahabat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bruises
Teen FictionJIWA menjual habis kebahagiannya demi hidup lebih lama. RAGA berayun pada dahan pohon yang siap tumbang di atas tubuhnya.