14. Kambuh

430 34 11
                                    

Hari semakin terik sejalan rotasi bumi yang mengelilingi matahari. Kafe nampak ramai karena waktu istirahat kerja semakin dekat. Orang-orang berbaju rapi, antrian panjang para pengguna jasa pengantar makanan, juga sepasang kekasih yang mengisi waktu senggang.

Jiwa menelisik sekitar, pengunjung bertambah banyak, dan Kira belum juga keluar dari ruangan pribadinya. Ia dan tim ingin melanjutkan pekerjaan, tapi satu talent lagi juga masih berada di ruangan itu. Sudah hampir 30 menit dan mereka belum menampakkan batang hidungnya.

"Jadi Ibu Kira bunda lo, Ga?" Jiwa mengisi kesunyian.

Kini di meja istirahat tadi hanya ada mereka bertiga, Jiwa, Damar dan Raga. Sedangkan semua anggota Tim sibuk mengotak-atik peralatan syuting.

"Iya, bunda gw" Jawab Raga seadanya, dan hanya dibalas anggukan oleh Jiwa.

Clek!

Pintu itu terbuka, membuat tiga pasang mata pemuda sebaya terpusat ke arah mereka.

"Maaf lama ya, boys" Ucap Kira sumringah.

Zafran mengangguk ikut menyesal karena sudah membuat tamu mereka menunggu lama.

"Sekarang bisa dilanjut, Bu?" Jiwa bertanya.

Sebenarnya tim juga sudah menunggu sejak tadi, bahkan ada beberapa yang merasa jengkel. Pertama, karena ide dadakan Kira, dan yang kedua karena talent yang ditunjuk tiba-tiba ikut berdiam diri di dalam ruangan pribadi wanita itu. Mereka terbuang waktu tentu saja, tapi tidak enak menunjukan wajah masam karena masih ada Raga, selaku anak dari dua orang penting tersebut.

"Iya bisa, bisa banget. Kamu udah siap kan, Mas?"

Zafran tersenyum, "iya sayang. Ayo Ga, berdiri! Kita bakal jadi artis hari ini"

Jiwa dan Damar bisa bisa ikut tersenyum menanggapi gurauan ayah Raga, merasa lucu karena bukannya lekas bangkit, Raga malah menunjukan raut wajah tertekannya.

"Ini kalau gak di iming-imingi sesuatu juga Raga gak bakal mau, Yah. Ribet emang cewek" Ia bangkit dengan raut wajah yang masih sama. Nampak tidak bersemangat, dan malu.

"Ih, kamu mulutnya kok gitu sama Bunda?" Nada Kira tidak terima.

"Iya iya maaf! Ya udah, ayo"

Semua bergerak kembali. Sesuai komando Jiwa dan Kira, dua manusia yang asik mengatur serta mengarahkan bak sang produser dan asisten. Sedangkan Damar sudah tidak ada di tempat mereka duduk tadi, mungkin pemuda itu sedang ke kamar kecil.

"Tambah stop kontak yang 5 meter. Ambil di mobil, buat nyolok lighting samping!" Ido setengag berteriak, memerintah anggotanya.

"Kita gak bawa yang 5 meter bang, kan dikiranya gak butuh. Soalnya satu lighting biasanya cukup" Aira menjawab, wanita berkulit tan dengan rambut pendek sebahu.

"Lah terus gimana? Ini gelap banget, susah buat ngedit color gradasinya. Kesian editor"

Aktivitas perekaman terhenti sebentar. Talent tetap berada ditempat, namun tim masih sibuk berpikir. Ada juga yang mengarahkan matanya kesemua penjuru ruangan, mencari colokan terdekat yang mungkin saja terselip di sela-sela dinding.

"Bu, disini ada stop kontak yang kabelnya panjang? Atau misalkan yang masih kepake? Mau minjam dulu sebentar, palingan lama sejam" Jiwa berinisiatif bertanya pada Kira.

Dengan alis berkerut wanita itu sebelum menjawab," Stop kontak kaya gimana, Ji?"

Huh! Orang kaya memang beda, bentuk stop kontak saja ibu Kira tidak tahu, batin Jiwa. Pantas wanita itu sama sekali tidak menawari atau paling tidak ikut mencari diberbagai tempat kafenya ini, sebab tahu bentuknya saja tidak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BruisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang