03. "Gw Jiwa"

1.3K 131 17
                                    

"Besok sore nonton ya, gw tanding futsal. Full team, main serius." Ucap Damar setelah menyeruput kopi Espreso miliknya.

Bak surat dan perangko, lagi-lagi, dimana ada Jiwa di situ ada Damar. Dan sekarang mereka berada di cafe sekitar kampus, tidak terlalu dekat juga tidak terlalu jauh. Cukup menyebrang jalan raya, dan sedikit masuk ke dalam gang besar.

"Emang biasanya lo main gak serius?" Jiwa memainkan alisnya.

"Bukan gitu, tapi kali ini lawannya Bang Genta and the geng, Ji. Semangat gw lebih berkobar-kobar."

"Lo sama Bang Genta kek punya dendam banget sih. Emang dulu-dulu ada masalah apa?"

"Gak kenapa-napa sih, cuman gw emang eneg aja liat mukanya, kaya punya aura negatif. Makanya gw gak suka lo deket-deket sama dia. Lagian, kalau main futsal emang gitu Ji, pasti membara-bara. Kalau letoy bukan main futsal namanya, main Berbie."

Jiwa terkekeh. Kadang ia berpikir, rasanya dulu sejak pertama kali mereka berteman, sifat Damar tidak seposesif dan seekspresif sekarang, terlebih pada dirinya. Damar yang dulu adalah Damar yang cuek dan masa bodoh. Tapi sekarang anak itu berubah menjadi cerewet dan banyak bicara.

"Ji, gw gak suka lo deket sama dia."

"Ini terakhir ya, lo makan yang kayak ginian. Gak sehat!"

"Kalau apa-apa tinggal bilang. Lo punya gw"

"Tumben gak nelpon minta jemput, gak enakkannya kambuh lagi ya?"

Sedikit memori keposesifan dan kecerewetan Damar padanya.

Jiwa mengerti, mungkin karena pemuda itu anak tunggal, dan orang tua yang sibuk bekerja, Damar menjadi bingung memfokuskan atensi dan perhatiannya pada siapa. Sedangkan ia tumbuh dengan penuh kasih sayang, meski orang tua nya jarang di rumah. Alhasil Jiwa lah yang menjadi pelampiasan perasaan kasih sayang itu. Tak ayal, mereka sering digunjing dengan hal-hal negatif, seperti pasangan sesama jenis, atau Jiwa yang dianggap memanfaatkan Damar.

Sejak awal Damar tentu tidak peduli dengan isu-isu itu, sedangkan Jiwa mulai tidak nyaman dan takut Damar memiliki jejak buruk dimata orang-orang, tapi Damar selalu meyakinkannya, bahwa mereka hanya iri dengan hubungan persahabatan yang sudah terjalin layaknya saudara sedarah.

Kembali pada topik futsal yang akan diikuti Damar, bukankah lebih baik pemuda itu mengajak wanitanya, atau lebih tepatnya seseorang yang sedang dekat dengannya.

"Kenapa gak ngajak Karin aja, biasanya cewek-cewek suka nontonin cowoknya futsal."

"Siapa cowoknya? Gw? " Damar menunjuk dirinya sendiri.

Jiwa hanya mengangguk lucu, padahal ia sendiri tahu hubungan keduanya tidak berjalan mulus sesuai ekspetasi Karin, karena yang menampakkan effort lebih hanyalah sang wanita, sedangkan Damar hanya mengikuti alur saja.

"Sejak kapan gw jadi cowok dia? Lagian bawa cewek menye-menye kayak dia ketempat futsal nyusahin Ji, pasti minta balik cepet. Riweh nanti gw."

Jiwa mengangguk paham.

Hidup Damar memang tidak terbiasa diatur. Ia jua pernah mengungkapkan alasan kenapa belum ingin berpacaran. Alasan paling utama adalah tidak ingin diatur, wajib laporan lewat chat, dituntut menemani berbelanja, membalas chat 24/7, merayu jika wanitanya ngambek, dan lainnya. Ia sedang tidak ingin terikat dengan itu semua. Damar masih ingin menikmati masa mudanya yang bebas.

"Kalau lo emang gak bisa suka sama Karin, jangan terlalu ditunjukin banget ya, Dam. Kasian anaknya, dia juga punya perasaan, hargai perasaan dia."

Jiwa berujar pelan, Damar mengangguk pasti sambil mengusap kepala sahabatnya pelan.

BruisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang