Flashback
Setelah malam ia menemani Jiwa di rumah sakit, pikiran Genta tak pernah tenang sedikitpun. Ada misi besar yang benar-benar harus diselesaikan. Bukan hanya perihal rasa penasaran yang membuncah, tapi juga permintaan seseorang kepadanya.
Maka dengan berani ia berdiri di depan rumah megah kediaman Nagradwiputra. Genta tidak pernah segugup ini hanya untuk memasuki rumah yang sudah ia anggap rumahnya sendiri.
"Genta," Kira menyambutnya hangat, "Raga ada di atas. Main gitar di balkon kamarnya. Ke sana aja suruh berenti nyanyi, telinga tante udah sakit." Lanjutnya dengan guyonan yang tidak membuat rasa gugup Genta menghilang.
"Oke Tan! Meluncur" Genta melangkah riang yang dibuat-buat.
Tok
Tok
Tok
Pintu terbuka. Raga sudah berdiri dengan gitar ditangan kanannya. Pemuda itu tersenyum, menggeser tubuh bongsornya. Memberi jalan Genta masuk.
"Tumben ke sini. Lagi galau, mau curhat masalah cewek? Atau mau langsung dinyanyiin lagu melow? Sesuai isi hati lo yang lagi gundah."
Gelak tawa mengisi kamar mewah Raga. Tentu saja dari sang mepunya. Siapa lagi yang tertawa dengan guyonan garing itu selain dirinya sediri. Meski kadang Genta juga ikut sedikit tertawa. Menghargai lebih tepatnya.
"Ada yang mau gw kasih tau" Genta menelisik ke arah pintu. Benda persegi panjang itu sudah terkantup rapat.
"Masalah?"
"Masalah lo, sama seseorang"
Genta membawa langkahnya ke arah balkon kamar Raga yang masih terbuka. Duduk di bangku berbahan kayu, bercat putih.
"Maksudnya? Seingat gw, gw gak punya masalah apa-apa sama orang, Bang"
Raga ikut duduk di bangku sebelah Genta, gitar yang tadi masih berada di tangannya kini sudah berpindah ke atas tempat tidur.
"Sebenarnya gw disuruh buat nyelesain tugas ini sehalus mungkin, karena resikonya gede,"
Alis Raga semakin bertaut.
"Cuman dengan otak gw yang isinya cuma film bokep semua, gw bener-bener udah gak punya ide apa-apa. Ide terakhir gw berjalan berantakan, dan dari sana gw udah yakin kalau ide-ide yang udah gw susun di kepala gw juga belum tentu berjalan sukses. Makanya gw langsung kesini."
"Ide-ide apaan, Bang. Lo jangan sok serius gini? Ada cewek yang ngaku hamil anak gw. Atau ada yang bilang gw punya utang? Atau apaan dah?"
Raga mengerang frustasi menanggapi cerita Genta yang menurut bertele-tele.
"Sebulan lalu, pas gw ke Banjarmasin, ke rumah kakek. Kakek nyariin lo"
****
"Tidak ada yang benar-benar kita miliki di dunia ini, bahkan seorang anak yang keluar dari jalan rahim Ibu sekali pun"
Pasangan yang sudah menikah hampir 7 tahun itu sangat ingat, ucapan Ayah Zafran.
Ketika mereka terpuruk, ketika kenyataan menghempas mereka terlalu kuat, bahwa mereka tidak akan pernah dapat memiliki anak yang di dalam tubuhnya mengalir darah murni mereka.
Saat itu Kira hanya bisa terisak, maksud hati mertuanya mungkin menenangkan. Kalau anak bisa di dapat dari mana saja, dari lembaga, atau orang yang memiliki himpitan hidup sehingga tidak mampu membesarkan anak. Mereka bisa mencari di belahan dunia mana saja, bisa memilih, hendak berdarah campuran Eropa, atau Asia.
"Tapi ingat, Zaf. Sekali lagi ku katakan, apapun yang bukan milikmu, jangan kau genggam terlalu erat"
Kakek tua itu kembali berucap pelan. Suara beratnya menguar ke seluruh ruangan. Di sana ada pasangan muda-mudi yang telah menikah, termasuk Ayah dan Ibu Genta.
Kira malu, tentu saja. Kelemahannya di umbar di tengah-tengah keluarga sang suami. Ia, di anggap wanita mandul dan tidak mampu memberikan keturunan. Tapi Zafran mencintainya setengah mati, hanya itu bekal hidupnya saat ini.
"Jika kau mendapatkan seorang anak, entah dari manapun itu. Aku sangat mengijinkan. Tapi satu syarat ku, tolong jangan menghilangkan asal-usul dimana ia berasal. Karena sejak awal, aku tidak menginginkan darah lain berada di tempat yang sama dengan darah-darahku yang satu."
Sultan Buana Nagradwiputra. Sosok Ayah Zafran, dan juga mertua Kira. Tubuhnya sudah menua, tapi kebijakannya selalu purna. Apapun yang diucapkan Sultan tidak bisa di bantah sekalipun. Bukan tidak ada yang berani membantah, tapi setiap keputusan selalu disetujui semua orang, sebab perhitungannya tepat, jalan pikirnya lurus, dan semua telah di timbangannya kuat-kuat.
Tapi sejak malam itu, orang pertama yang mampu membantah ucapannya adalah anak kesayangannya sendiri. Anak bungsu yang ia manjakan, Zafran Nagradwiputra.
"Apa yang sudah menjadi milikku, akan aku genggam sampai mati"
Zafran berucap tajam. Sultan terkekeh, bangkit dari duduk tenangnya. Melipat tangan kebelakang dan berjalan menjauh.
"Kau akan menghancurkan apa yang kau genggam terlalu erat, Zaf. Kau akan kecewa pada apa yang terlalu kau percayai"
Tubuh tua itu benar-benar beranjak. Bejalan, melangkah pelan menuju kamar miliknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bruises
Teen FictionJIWA menjual habis kebahagiannya demi hidup lebih lama. RAGA berayun pada dahan pohon yang siap tumbang di atas tubuhnya.