02. Raga

1.1K 101 7
                                    


Suara DJ beradu dengan kelap-kelip lampu warna-warni. Lautan manusia semakin liar meliuk-liuk kan tubuh mereka setelah suara terompet berbunyi nyaring. Tubuh-tubuh wanita seksi saling beradu seperti berkompetensi siapa yang paling terbuka. Bunyi lumatan-lumatan dan suara desahan aneh juga terdapat dipojok-pojok ruangan.

Dunia malam kota besar sangat mengerikan. Terlebih disini sudah tidak ada batasan-batasan dalam berekspresi. Obat, minum, dan bercinta di depan umum. Mereka tidak saling perduli, mereka terlalu haus mencari kenikmatan masing-masing.

Seperti halnya pemuda berusia 20 tahun yang sedang sibuk mencari kesadaran, ia sepertinya lupa meletakkannya dimana. Terombang-ambing ke sana-kemari. Beberapa perempuan sudah mulai meraba-raba tubuh itu, bahkan sekarang ada yang menarik dagunya untuk mencium. Sungguh murahan.

"Sana ah! Lo ganggu!" Melirik ngeri dengan kuku panjang yang dilapisi kutek berwana hitam, ia akhirnya menghempaskan tangan putih mulus sang perempuan.

"Lo udah seminggu gak kesini, gak kangen sama gw?"

Setelah memanyunkan bibir beberapa detik tanda kesal atas penolakan pertama, perempuan tadi tetap kembali merayu. Kali ini ia sudah meletakkan telapak tangannya pada benda di bawah selangkangan sang pemuda.

"Liv, gw bilang sana! Jangan ganggu gw"

Olivia, perempuan penghuni club yang akhirnya pergi setelah mendapat penolakan kedua serta bentakan nyaring. Seperti tidak terima, ia menjauh sambil menghentak-hentakkan kakinya.

"Kenapa brodi? Sensi amat malam ini"

Satu lagi masalah datang. Manusia kepo dengan segala radarnya mencari informasi untuk disebar luaskan. Apalagi targetnya sekarang adalah anak dari seseorang yang terpandang di kotanya, Raga Nagradwiputra.

"Gak pa-pa. Cuma diganggu sama manusia-manusia gak guna yang datang ke club malam ini aja" Jawabnya malas.

"Olivia cuma kangen aja. Lo lama kali gak main sama dia," Pancingan pertama, disertai satu tuangan Tequila didalam gelas kecilnya.

"Emang gw pernah main sama dia? Sok tahu lo" Raga tentu tidak bodoh, meski kesadaran semakin menipis. Tetap, ia bisa menebak apa yang sedang dicari pemuda didepannya ini.

"Terus, lo sering mainnya sama siapa?"

Gata-si pemuda kepo itu tetap gigih mencari informasi.

"Ganggu banget sih lo! Gw mau sendiri. Sana ah!"

Ia menyerah. Benar kata teman-temannya, Raga adalah manusia yang menjunjung tinggi privasi hidupnya. Mungkin karena ia terlahir bukan dari keluarga sembarangan, bahkan circle pertemanannya pun tidak bisa diremehkan.

Setelah pemuda kepo kecanduan infomasi itu pergi, akhirnya Raga bisa menikmati kesendiriannya. Menikmati beberapa minuman dengan berbagai jenis kadar alkohol didalamnya.

Tapi tidak bertahan lama. Setelah telponnya bergetar disaku celana, dan muncul satu nama kontak yang sangat ia hindari.

'Ayah'

Matanya membulat sempurna, tidak menunggu lama Raga segera memencet tombol merah.

"Argh! Kenapa gw matiin. Harusnya gak usah diangkat aja. Ciri-ciri bakal mati gw besok!"

Kesadarannya bertambah 20% setelah tidak sengaja menekan tombol merah tadi.

Tapi lagi-lagi hanya sebentar, sebelum ia kembali melirik pada orang-orang yang sedang asik menari.

Isi kepala pemuda itu sekarang adalah 'pulang sekarang dan besok ia tetap mendapat amukkan dari sang ayah, lebih baik pulang besok saja sekalian, sayang membuang-buang waktu jika konsekuensinya sama'. Raga tersenyum dengan pemikiran yang menurutnya sangat cerdas itu. Pulang besok pagi adalah keputusan yang tepat.

Ia benar-benar kembali pada kegilaannya. Kakinya beranjak melangkah bergabung di tengah-tengah lampu warna-warni, matanya semakin berair dan berat. Tapi tubuhnya semakin liar menari. Tanpa disadari notif dari salah satu aplikasi chatnya sudah diserbu beberapa orang.


Crazy Rich (Harta Orang Tua)

Crazy cousin (Bang Genta)
Anj*ng, dimana lo? Ayah lo nanyain.

02.31


Ban serep gw (Samudera)
Anak ngen! Tinggal bilang lo dimana, Entar gw jemput.
Demi Ga! Bunda lo ngechat bunda gw juga.
02.33

Ratu dedemit (Karina)
Gak usah diperduliin!!
Siapin baju hitam sama bunga bangkai aja buat besok guys.
02.34

Daki gw (Asylin)
Ga, besok sebelum lo dimakamin, anterin gw ke kampus dulu ya :)
02.36

Crazy Human (Arghi)
Sesungguhnya meninggal dalam keadaan jomblo lebih hina dari pada meninggal dalam keadaan miskin. Sekian.
02.47

Grup chatnya bak butiran debu yang sekarang sudah berganti menjadi panggilan dari sang Ibu. Tapi dengan mata yang hampir tertutup, Raga tetap memilih mengangkat gelas alkoholnya dari pada mengangkat panggilan itu.

Bukankan dunia terlalu indah untuk diisi dengan hal yang membosankan?

Pahatan wajah yang sempurna, beberapa black card dengan limit tak terhingga, dan tubuh yang sehat. Rasanya semua itu terlalu sayang untuk di sia-siakan.

****

"Jangan marahi Raga, Mas" Ucap Kira dengan tatapan memohon.

Suasana sarapan yang biasanya tenang dan hikmat berubah tegang karena satu-satunya anak dari keluarga ini pulang pada jam 4 dini hari.

Entah sudah ribuan, atau jutaan kali hal ini terjadi. Dan sebagai seorang ibu, siapa yang tega melihat anak tunggalnya lagi-lagi dimarahi sang suami dengan alasan yang sama.

"Jam berapa Raga pulang?" Tanya Zafran penuh tekanan.

"Anak muda memang begitu, kita perlu memahaminya, Mas"

"Ra, aku tanya Raga pulang jam berapa?"

Kira menghela napas dalam.

"Jam 4 pagi Mas, dan jangan berlebihan memarahinya, aku tidak suka." Wanita yang masih cantik diumur 40an itu juga menatap suaminya tajam.

"Aku memarahinya karena aku menyanyanginya, Ra. Raga masih muda tapi menurutku pergaulannya terlalu bebas. Bagaimana jika ia mengambil jalan yang salah, obat-obatan, having sex, atau bahkan sampai MBA?" Alis Zafran terangkat, meminta pendapat sang istri. Kira hanya bisa diam, meskipun suaminya itu hampir tidak berani memarahinya, tapi sifat bijaksananya lebih dari menakutkan, "Jika terjerat dengan hal yang seperti itu, masa depannya akan benar-benar hancur, sayang. Tentu kita tidak ingin itu terjadi."

"Aku yang akan menasihatinya nanti. Jadi, kali ini jangan marahi Raga ya Mas, aku mohon. Aku tidak mau dia ngambek dan menginap di rumah Mbak Luna lagi. Aku kesepian, Mas."

Rumah besar yang letaknya menyendiri itu sudah tidak seramai dulu. Satu-satunya putra mereka yang dulu tawanya hampir menguasai satu rumah mulai beranjak dewasa, mencari jati dirinya, mencari hal-hal yang menurutnya lebih seru dari pada rumah dengan penuh kasih orang tuanya.

Zafran paham betul, masa-masa seperti inilah yang biasanya orang tua takutkan. Takut anak-anak mereka bertemu orang baru dengan berbagai macam perangai, berbagai macam bentuk cinta, kasih, kebencian, amarah, dan lain sebagainya. Zafran takut Raga terbawa arus yang menjeratnya pada gelombang besar, lautan luas yang dalam, dan tidak mampu ia selamatkan.

Satu lagi ketakutan terbesar Zafran, juga Kira. Bahwa mereka sadar, Raga memiliki belahan jiwa lain diluar sana. Belahan jiwa yang mungkin saja bisa memisahkan mereka dengan anak satu-satunya itu.

Love u gais🤟

BruisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang