05: 'Dalang' Tanpa Naskah

964 121 17
                                    

Genta pulang sekitar pukul satu dini hari. Itupun setelah hampir 17 kali panggilan telpon dari sang Ibu ia abaikan. Keputusannya menemani Jiwa di rumah sakit sempat ditolak mentah-mentah oleh anak itu, dan tentu juga sang pengawal, Damar. Tapi bukan Genta namanya, jika apapun yang ia kehendaki tidak berjalan sesuai keinginannya. Bahkan panggilan dari sang Ibu pun benar-benar terabaikan.

Kini tubuh kokoh itu meluruh di sofa yang berada di ruang tengah, sofa besar yang empuk dan lembut. Genta menghela napas kasar sembari menatap langit-langit rumahnya. Mencoba mencerna kejadian siang tadi. Apakah langkahnya menemukan dua manusia itu sudah benar. Atau malah akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari?

Sungguh, disini ia seperti berperan sebagai 'Dalang' yang tidak memiliki naskah.

"Apa gw bertindak terlalu gegabah?"

Pikirannya berkecamuk, ikut membuat kepala Genta pusing bersama angin dingin yang semakin menusuk kulit.

Apalagi ditambah pesan aneh dari Raga, "telepati anak kembar? Emang beneran ada?" lagi-lagi ia bergumam sendiri dengan suara parau.

Tidak hanya kepala yang pusing, sekarang mata Genta juga semakin memberat. Mencoba menahan kantuk di sela-sela pikiran yang kacau. Teka-teki yang sudah ia awali, gagal dikuasai.

****

"Ibu kira kamu lupa jalan pulang"

Singkat tapi menusuk. Tidak ada nada kekhawatiran, hanya nada sinis dan dingin. Cukup pelan, tapi seperti diteriakkan ditelinga Jiwa.

"Jiwa ada kerja kelompok, Bu. Maaf gak ngabarin dulu"

Jiwa menjawab sembari duduk di bangku kayu jati yang ada di ruang tengah rumah kecil mereka. Ia baru datang, dan langsung disambut oleh Nura yang tampak gelisah. Jiwa sempat mengira wanita itu gelisah karena ia tidak pulang ke rumah hampir tiga hari, tapi kegelisahannya tidak juga hilang saat Jiwa sudah datang. Berarti bukan Jiwa alasannya.

"Ayah kemaren nyariin kamu, dan mukulin Ibu, karena Ibu jawab gak tau kamu dimana"

Nura mengibas rambutnya, dan tampaklah kebiruan di area bahu, serta leher wanita itu.

Jantung Jiwa berdegup kencang. Kemarahan Bara yang biasa di lampiaskan padanya, kini berakhir di tubuh Ibunya.

"Menurut kamu ini semua gara-gara siapa?"

Jiwa masih diam membeku. Ia tidak berani menjawab, sebab apapun yang ia katakan pasti hanya dianggap omong kosong oleh Nura.

"Kamu mau egois, Ji? Setelah Ibu rawat sampai sekarang, kamu benar-benar ingin egois? Kamu mau pergi, ninggalin Ibu?"

Jiwa menengadah, memberanikan diri menatap manik sang Ibu yang sudah mulai tergenang. Kalimat yang ditekankan pada setiap katanya itu membuat Jiwa menggeleng kuat.

"Emang Jiwa pernah bilang, kalau Jiwa bakal ninggalin Ibu?"

"Selama hampir 3 hari kamu gak pulang dan gak ngabarin. Menurut kamu, Ibu mikirnya apa!" Suara Nura meninggi. Ia juga melangkahkan kaki ke arah Jiwa duduk. Mendekati anak semata wayangnya.

"Kamu gak mikirin Ibu, Ji. Kalau kamu gak ada siapa yang bakal jadi pelampiasan Ayah kamu!? Kalau kamu gak ada siapa yang belain Ibu, siapa yang melindungi Ibu, Ji!? Kamu gak mikir? Kamu suka liat Ibu disiksa sama ayah kamu hah!? Kamu gak kasian sama Ibu?"

Suara Nura kembali menggema. Dan Jiwa lagi-lagi kalah.

Pada dasarnya, siapa yang tidak ingin keluar dari lingkaran hitam yang sudah mencekik lehernya setiap saat. Ia ingin, Jiwa ingin pergi, Jiwa ingin berlari sejauh mungkin. Tapi bagaimana dengan Ibu? Bagaimana dengan wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan ia hingga sekarang. Jiwa bukan orang yang tidak tahu terima kasih, Jiwa menyayangi wanita itu lebih dari nyawanya sendiri . Sumpah serapah dan kalimat menyakitkan yang diteriakkan melalui mulut cantiknya bukan apa-apa dibanding peluh keringatnya untuk membuat Jiwa tetap hidup hingga sekarang.

Cukup bertahan sebentar lagi, Jiwa janji akan berlari sejauh mungkin setelah ini. Setelah ia berhasil memberikan tempat aman untuk sang Ibu.

Helaan napas kasar keluar dari hidung Nura, ia membuang muka kemudian bangkit.

"Sekarang terserah kamu, kalau mau pergi juga terserah kamu. Ibu pasrah."

Nura membawa langkahnya ke arah pintu, kemudian bersandar membelakangi Jiwa yang masih terdiam.

"Jiwa udah janji, Jiwa gak akan ninggalin Ibu. Apapun keadaannya," 

Nura menoleh, dan tersenyum kecut,

"kecuali, Jiwa mati. Itu diluar kuasa Jiwa"

Suara bergetar Jiwa membuat Nura menatapnya dalam. Menelisik wajah anaknya yang ternyata sangat pucat, dahinya berkeringat, dan napasnya yang terdengar berat. Hatinya meringis, ada penyesalan, ada tanya, dan ada kekhawatiran yang terlalu berat untuk ia ungkapkan.

"Kalau kamu mati, Ibu juga."
















Saya kembali.

Sorry, lama gak up. Dalam sebulan ini saya udah dua kali sakit masa😭 Jangankan nulis, kayak liat layar HP aja mata sakit, kepala puyeng.

Tetap jaga kesehatan ya, guys.❤


BruisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang