Suara langkah nyaring di lorong rumah sakit menjadi tontonan orang-orang. Bukankah ruang UGD harus sedekat mungkin dengan teras rumah sakit agar mudah terjangkau pasien gawat darurat? Tapi kenapa sekarang rasanya begitu jauh.
"Tolong, Dok! asma temen saya kambuh, na-napasnya, dia udah gak napas, bibirnya biru, dia udah gak gerak!"
Para perawat segera menyambut tubuh yang sudah tidak sadarkan diri di dalam dekapan Damar.
"Tolong, Dok! Temen saya udah gak sadar!"
Pemuda yang masih mengenakan seragam lengkap dengan sepatu futsal itu tetap berdiri disisi Jiwa dibaringkan.
Suara teriakan panik Damar yang kentara di ruang UGD membuat para perawat mau tidak mau mendekap tubuh besarnya yang sedari tadi ingin menggapai tangan seseorang di atas brankar.
"Tenang, Dek. Tenang dulu, kita tangani dulu temannya."
Satu perawat lain berhasil menuntun pemuda itu ke sisi lain brankar.
Damar akhirnya sedikit menjauh agar tidak menghalangi tindakan Dokter.
"Pasang elektrokardiogram!"
Interupsi Dokter cepat setelah mengecek detak jantung Jiwa lewat nadi.
Srak
Baju hitam itu dirobek paksa oleh perawat.
Damar menghela napas berat saat para perawat sibuk memasang alat pendeteksi jantung di atas dada putih Jiwa.
"Saturasi pasien 88 persen, Dok!"
Satu teriakan lagi dari perawat yang lain.
Damar meremas erat rambutnya frustasi, ketakutan terlihat jelas lewat mata yang sudah basah itu. Pemandangan tubuh pucat Jiwa yang digerumbungi beberapa orang untuk berusaha menyelamatkan hidupnya lagi-lagi membuat ia menangis terisak.
"Bodoh lo Dam, Bodoh! Lo bukannya jagain dia, malah buat dia celaka. Bodoh banget lo, Dam, Agrhh!" Iskkannya berhasil lolos lebih nyaring.
Penyesalan dan rasa bersalah membuat Damar tidak mampu menopang tubuhnya lagi. Kaki yang sebelumnya lihai berlari di area pertandingan futsal tiba-tiba melemah dan bergetar. Ia benar-benar kehilangan pijakan, dan akhirnya meluruh di lantai yang dingin. Duduk bersandar di dinding UGD sambil menyaksikan para perawat dan Dokter berlalu lalang berusaha mengembalikan napas sang sahabat.
****
"Bunda sudah bilang kalau main futsal itu bikin capek, bukan cuma bikin capek tapi juga bikin celaka kayak gini."
Kira hampir saja meloncat dari balkon saat beberapa mobil memasuki pekarangan rumahnya, dan keluar dengan keadaan Raga yang dibopong oleh Genta serta beberapa orang berseragam sama.
Masih waras tubuhnya mungkin akan remuk jika melompat dari balkon, wanita itu akhirnya berlari seperti orang kesetanan. Menuruni anak tangga bak Superhero yang memiliki kekuatan berlari secepat angin.
"Udah dong Bun ngomelnya," Raga mengeluarkan jurus tatapan sedih.
"Raga main ke club salah, Raga main futsal juga salah. Serba salah emang anak Bunda ini." Lanjutnya manja, kaset kusut yang sedari tadi di ulang-ulang membuat telinga ia terasa panas.
"Bunda cuma khawatir, Ga. Orang tua mana yang gak khawatir anaknya sakit kaya gini, hah?"
"Raga paham, tapi Bunda terla-"
Tok
Tok
Tok
Suara ketukan pintu berhasil memotong kalimat Raga, dan berganti menjadi senyum ringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bruises
Teen FictionJIWA menjual habis kebahagiannya demi hidup lebih lama. RAGA berayun pada dahan pohon yang siap tumbang di atas tubuhnya.