Malam itu, jadilah kami bertiga, aku, Ale, dan Rama menginap di rumah Keano. Sebelumnya, aku pulang dulu bersama Ale untuk mengambil baju ganti dan baju sekolah untuk besok. Begitu juga Rama. Dia juga tak mau kalah.
Ayah mengizinkan mereka menginap di rumah. Tak masalah, kata ayah. Lagi pula, ayah juga sebelumnya telah mengenal Ale begitupun dengan Rama.
Kami duduk di rooftop. Rumah Keano memiliki rooftop yang lapang. Ada satu ayunan besi untuk bersantai. Juga terdapat kursi lipat dari kayu. Kami menikmati malam itu dengan mie rebus buatan Keano. Ditemani dengan teh lemon hangat yang sangat cocok untuk malam yang dingin.
Aku duduk di ayunan begitu juga Ale. Sedangkan Keano dan Rama duduk di kursi. Kami menikmati hidangan yang disediakan Keano. Hanya mie rebus, tapi rasanya sangat berbeda dari mie rebus biasanya. Jika itu dimasak dengan tangan Keano, rasanya memang akan beda. Keano juga membawa setoples besar kerupuk udang untuk menemani makan mie rebus itu.
Kami duduk menghadap ke jalan raya. Menyaksikan keramaian jalanan. Sambil sesekali mengomentari apa saja yang terlihat. Mulai dari mengomentari orang boncengan yang pelukannya begitu erat, sampai mengomentari warna mobil orang yang begitu mencolok. Keano juga mengomentari penjual sate yang berkeliling menggunakan gerobak. Salah satu sate kesukaan Keano.
“Ingat sate yang sering kita beli kalau pulang dari lapangan gak, Ka? Kalau udah pulang main bola atau main layangan, kita sempetin beli satenya,” Ingat Rama padaku Ketika melihat penjual sate yang lewat.
“Ingat banget lah. Kan punya gw lu yang sering ngehabisin. Makanya badan lu lebih gede dari gw,” jawabku mengingat kejadian lampau saat masih belum merasakkan sakitnya patah hati.
“Masih ingat juga, Ketika lu yang bantu gw nempelin kertas layangan? Nyorakin gw kalau lagi main bola di lapangan.” Lagi, Rama mengingatkan kembali masa-masa itu.
Aku hanya tersenyum mengingat masa-masa itu. Masa-masa aku masih dirangkul oleh Rama. Masa dimana aku selalu dibela oleh Rama. Masa dimana kemana-mana selalu berdua.
Ditengah perbincanganku dengan Rama, tampaknya Keano dan Ale tak peduli. Mereka sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Ale masih dengan mie rebusnya. Sepertinya dia menambah porsinya. Keano sibuk dengan handphonenya sambil menyuap mienya.
“Percuma kenangan bagus gitu, kalau akhirnya cuma buat nyakitin,” tiba-tiba suara Ale terdengar.
Ternyata sedari tadi dia menyimak pembicaraanku. Padahal wajahnya tampak tak peduli.
“Apaan sih lu? Gak usah ikut campur hubungan kita berdua!” bentak Rama.
“Hubungan?” suara Ale terdengar seperti mengejek.
“Lu, jangan sakitin Arka lagi yah. Dia tu sweety, gw. Paham lu? Kalau aja lu nyakitin dia lagi, lu berhadapan ama gw yah!” tiba-tiba suara Keano yang terdengar. Matanya masih tertuju pada handphone.
“Sweety?” Rama heran mendengarnya.
“Iya. Kenapa? Lu gak suka? Kalau gak, ya udah jangan dekat-dekat,” jawab Keano yang sepertinya bicara sambil membalas chat dari seseorang. Mungkin pacarnya.
“Lu jangan sok tau deh. Emangnya lu tau masalah gw ama Arka?”
“Gw gak peduli masalahnya apa. Yang pasti jangan coba-coba nyakitin Arka lagi!” jawab Keano lagi sambil melirik pada Rama.
“Nah, denger gak lu. Mungkin aja lu bisa ngalahin dia,” kin suara Ale yang terdengar. Dia menunjuk Keano. “Karena dia biasanya megang panci sama sendok doang. Tapi lu jangan coba-coba mau berhadapan ama gw. Sekali aja si Arka nangis lagi karena lu, muka lu gw bikin gak berbentuk.”
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Love
RomanceAkankah Arka mengakui perasaanya pada Ale, seorang dengan wajah dingin tapi bisa menghangatkan dirinya? Atau dia malah menyimpan semua rasa sakit di hatinya?