“Ayo, pulang.”
Tangan Ale menarikku pergi. Aku menurut tanpa ada perlawanan. Aku meninggalkan Rama yang hanya menatap panjang ke arahku dan Ale. Pertanyaannya yang terakhir belum aku jawab dan aku pun tidak ingin menjawabnya. Bahkan Rama seharusnya sudah tau dengan jawaban pertanyaan itu. Aku tidak meungkin melupakan setiap perlakuannya padaku.
“Nyusahin aja lu. Capek gw nyariin.”
Aku mengangkat wajahku yang sedari tadi berjalan menunduk mengikuti tarikan tangan Ale. Air mata masih di pipiku.
“Gw gak minta dicariin.”
“Tapi dari awal ibu lu udah nitipin lu ke gw buat dijagain.”
“Dari awal gw juga udah bilang gak perlu jagain gw.”
Aku menarik tanganku dari genggaman Ale. Sontak Ale menghentikan langkahnya. Dia berbalik menghadapku. Dia menatap tepat dimataku. Tatapan yang tidak dapat kuterjemahkan. Beberapa saat dia diam tidak mengatakan apapun.
“Lu gak perlu lakuin apa yang ibu gw minta. Gw bisa jaga...”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Ale menarikku ke pelukannya. Dia mendekapku dengan sangat erat. Lalu tangan kanannya membelai rambutku lembut. Darahku berdesir dengan perlakuan Ale. Ada sesuatu yang nyaman yang aku dapatkan dalam pelukannya.bahkan sensasi ini berbeda dari pelukan yang kudapat dari Keano tadi. Dadaku berdebar kencang sekaligus menghangat dalam satu waktu.
“Nangis aja. Gak apa-apa. Semua orang berhak kok buat nangis. Itu udah kordratnya kan. Saat lu bahagia lu ketawa, saat lu sedih lu nangis. Kalau dengan nangis bisa bikin lu lebih tenang, ya udah, puas-puasin nangis sekarang.”
Semua kata-kata Ale sukses membuat air mataku kembali mengucur deras. Aku malah mendepakan wajahku ke dalam tubuhnya. Dia makin erat mendekapku dan terus mengelus rambutku lembut. Tanpa kusadari aku pun membalas pelukan Ale. Erat.
Setelah lama dalam pelukan Ale dan air mataku mulai berhenti mengalir, aku mengendurkan pelukanku pada Ale. Ale pun melakukan hal yang sama. Dia melepaskan pelukannya padaku. Lama kami terdiam bedua. Dadaku masih terasa hangat seperti tadi. Dia menatapku sedangkan aku hanya bisa menunduk. Aku tak bisa menerjemahkan apa yang sebenarnya kini kurasakan. Bahkan aku tidak bisa mengerti apa yang dilakukan Ale tadi.
“Udah? Mau pulang?” Tanya Ale memecahkan keheningan diantara kami.
Aku hanyamengangguk menjawab pertanyaan Ale. Dia kembali mengenggam tanganku dan membawaku ke tempat motornya terpakir.
****
Seminggu sudah aku tidak lagi bertemu dengan Keano. Bukan karena aku marah padanya. Lagipula tidak alasan untukku marah padanya. Dari awal aku lah yang salah mengartikan perhatian dan kelakuan Keano padaku. Bahkan aku juga yang terlalu yakin jika Keano akan memberikan hatinya padaku. Hanya, aku masih belum siap bertemu Keano.
Aku masih teringat setiap hal tentangnya dan setiap teringat itu hatiku kembali remuk. Membayangkannya saja, membuat air di mataku terus mengalir. Dadaku kembali seperti di remas dengan kuat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padaku jika aku melihat wajahnya. Mungkin aku tidak bisa lagi menahan tubuhku untuk tersungkur di depannya karena setiap persendianku benar-benar terasa lunglai.
Sudah sering Keano menelponku, tapi aku tidak mengangkatnya. Dia juga mengechatku, tapi tidak aku balas. Tiga hari terahir aku malah mematikan handphoneku. Aku benar-benar menghindar darinya. Bahkan saat kemarin aku melihatnya telah berdiri di gerbang sekolahku, aku langsung menghindar. Aku malah lewat pintu samping sekolah.
Keano juga mencariku ke rumah. Tapi aku tidak pernah keluar setiap dia memanggilku di depan rumah. Untung saja saat dia datang, ibu selalu tidak ada di rumah. Ibu akhir-akhir ini memang sering pulang malam. Bahkan hampir tiap hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Love
RomanceAkankah Arka mengakui perasaanya pada Ale, seorang dengan wajah dingin tapi bisa menghangatkan dirinya? Atau dia malah menyimpan semua rasa sakit di hatinya?