“Boleh gw bicara?” Tanya Rama dengan nada yang rendah. Dia terkesan lebih lembut dan tidak menekanku.
“Gw kira udah gak ada yang perlu kita omongin lagi.” Jawabku ketus. Aku membuang muka. Tak ingin melihat wajah Rama.
“Gw mau kita mulai semua dari awal lagi, Ka.”
Sontak, kata-kata Rama membuatku kaget. Apalagi yang ingin dia mulai, jika terlebih dahulu dia menghancurkannya. Tidak hanya menghancurkan, dia membuat lenyap. Melenyapkan perasaanku padanya. Melenyapkan persahabatanku dengannya.
“Ma, gw udah ngelupain semua hubungan kita. Ngelupain apa yang lu lakuin terakhir ke gw. Bahkan gw udah ngelupain apa yang terjadi malam itu. Jadi, jangan bikin kenangan itu bangkit lagi. Itu bakal bikin gw sakit lagi, Ma.” Ujarku dengan nada setenang mungkin, meski kupastikan suaraku sedikit bergetar.
“Sekarang, lebih baik lu jangan pernah temuin gw lagi. Lu hidup dengan cara lu. Gw hidup dengan cara gw.”
“Ka, gw mau minta maaf...”
“Gw udah maafin lu. Jika itu yang lu inginkan. Jadi, lu gak punya beban lagi sekarang. Karena itu, gak usah liatin wajah lu lagi ke gw. Paham?.”
Aku masih mencoba setenang mungkin. Sedangkan Rama, masih bergeming berdiri di tempatnya. Sepertinya dia tidak mendengarkan penjelasanku.
“Gw gak cuma ingin maaf lu ,Ka. Gw juga mau lu!”
Aku menatapnya tajam pada Rama. Rama menatapku dengan pandangan yang sendu. Pandangan seorang yang putus asa menurutku. Tatapan orang yang mulai rapuh. Dia melangkah mendekatiku. Berdiri tepat di depanku. Sangat dekat. Bahkan aku bisa mencium wangi mint dari mulutnya. Masih sama seperti saat sebelum hubungan kami hancur. Aku juga bisa melihat bekas luka di atas alis sebelah kanannya. Luka kecil tapi berbekas. Luka yang didapatnya karena kepalanya terbentur ke dinding saat mencoba memanjat mengambil mainan di atas lemari. Kepalanya terbentur dan mengenai sebuah paku yang tertancap di dinding. Luka kecil, tapi darah bercucuran hebat waktu itu.
Tangan rama mencengkram bahuku dengan kuat. Tatapannya tak lepas dari mataku.
“Gw menyesal dengan apa yang gw lakuin saat kita terakhir bertemu. Gw bahkan gak bisa ngelupain apa yang kita lakuin malam itu. Lu selalu hadir di pikiran gw. Meski gw terus mencoba ngelupain lu, Ka.”
Rama terdiam sejenak. Dia mengatur nafsnya. Matanya mulai memerah. Dia menahan air matanya agar tidak jatuh. Aku tidak mencoba menyelanya. Aku tahu, dia masih akan melanjutkan kata-katanya.
“Maafin gw ka. Gw terlalu egois untuk tidak menerima perasaan lu. Gw bahkan terlalu egois karena menyembunyikan perasaan gw dan malah nyakitin lu. Tapi, gw benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Gw selalu ngejaga lu, tapi gw bahkan tak sehebat lu untuk jujur pada diri sendiri. Gw gak bisa nerima perasaan gw kalau lu ada di hati gw. Gw gak bisa nerima jika gw juga mencintai lu. Gw frustasi, ka. Gw meyakinkan diri jika bukan gay. Karena gw memang gak tertarik pada lelaki lain. Hanya lu, Ka. Tapi, bagaimanapun tetap saja itu namanya gay, Ka. gw gak bisa terima kalau gw gay. Tapi, sekuat gw meyakinkan hati gw, malah gw nyakitin orang yang gw cintai. Orang yang selalu gw jaga selama ini. Maafin gw, Ka. Maafin gw.”
Air mata Rama mulai mengalir di pipinya. Suaranya bahkan mulai serak. Dia sudah tidak bisa menahan semua emosi di dalam dirinya. Aku kembali melihat Rama seperti Rama yang kutemui malam itu. Rama yang patah hati. Rama yang penuh kesedihan.
Dia menarikku ke pelukannya. Aku tidak melawan. Aku malah ikut memeluknya. aku mengusap-ussap punggungnya. Bahkan,air mataku juga mengalir saat ini. Bagaimana tidak? Orang yang dulu menyakitiku ternyata sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Tidak mudah untuk mengakui dirimu gay, bukan? Apalagi seorang seperti Rama. Pasti dia sangat tertekan dengan perasaanya sendiri, sampai dia menyakitiiku seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Love
RomanceAkankah Arka mengakui perasaanya pada Ale, seorang dengan wajah dingin tapi bisa menghangatkan dirinya? Atau dia malah menyimpan semua rasa sakit di hatinya?