Hari ini hari ketiga ibu dinas di luar kota. Besok pagi ibu akan sampai di rumah. Rama? Aku tak pernah melihatnya lagi. Lagi pula aku juga tak ingin bertemu dengannya.
Ale? Hari ini hari ke tiga aku bersama Ale di rumah. Dia masih menemaniku bahkan sampai hari ketiga. Kupikir awalnya aku tak akan betah bersamanya berlama-lama. Namun, makin hari aku benar-benar merasa nyaman di dekatnya. Meski dia tidak bisa melepaskan sisi menyebalkannya itu. Tapi, sepertinya aku sudah terbiasa.
Bahkan aku pikir, Ale tak sedingin yang kupikirkan. Maksudku, benar wajahya selalu menunjukkan ekspresi dingin. Tapi sebenarnya dia memiliki sisi hangat yang bisa membuat orang nyaman terhadapnya. Dua hal yang selalu beriringan didalam dirinya.
Sudah tiga hari pula aku pulang dan pergi bersamanya. Hal itu yang jadi perhatian Ryan terhadapku. Aku jadi penasaran dengan apa yang dipikirkan Ryan terhadapku dengan Ale. Tapi di lain sisi aku juga tak ingin menanyakan ini kepada Ryan.
Tapi, tanpa aku tanyapun, Ryan pun memberi tahuku apa yang dipikirkannya. Saat itu, aku sedang di kantin bersama Ryan. Dia duduk d sampingku. Saat itu pua Ale datang padaku. Dia duduk tepat di depanku.
Ale menarik es jeruk peras milikku yang berada di depanku dan langsung menyeruputnya. Seperti hal yang biasa baginya meminum sisaku. Sontak Ryan langsung melihat padaku. Alis matanya bertemu. Aku hanya menaikkan kedua bahuku.
“Nanti malam gw gak mau makan makanan rumahan lagi yah. Pengen yang beda gitu,” Ujar Ale. “Semacam spagheti atau pizza, atau burger gitu. Lu bisa bikinnya?” Lanjutnya.
“Capek ah,” jawabku seadanya dan menyuap sisa mie ayam yang hanya tinggal beberapa suapan lagi.
“Nanti kan malam minggu. Lu kan gak kemana-mana. Lagian besok libur. Daripada lu kayak orang bego di rumah gak ngapa-ngapain, mending masakin gw.”
“Ryan ngajak gw keluar ntar malam,” jawabku sekenanya.
Ale langsung menatap Ryan dengan wajah dinginnya. Matanya tajam sekali menatap Ryan.
Ryan langsung menggeleng dan berkata, “Kapan gw ngajak lu? Gak ah, kita gak ada janji keluar.”
“Tuh kan. Lu boong.”
Aku hanya merengut menatap Ale dengan wajahnya yang tampak tak peduli. Dan Ryan hanya membuang muka padaku seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Dai menyeruput es teh di depannya.
“Ya udah, besok deh. Malam ini gw capek. Lu beli makan di luar aja deh buat malam ini.”
“Ok. Janji ya.”
Aku hanya menganggukan kepala dan menyuap suapan terakhir mie ayamku. Ale berdiri dan menyeruput es jerukku sampai habis. Tidak menyisakan sedikitpun dan berlalu pergi. Aku menatapnya jengkel sampai dia benar-benar tidak terlihat dari kantin. Ryan menyodorkan air mineral padaku. Akupun menatap sinis pada Ryan.
“Lu mah. Gak bisa diajak boong dikit,” umpatku pada Ryan.
“Gimana gw mau boong. Tatapan si Ale gitu ke gw.”
Aku memanyunkan multku. Benar saja, tatapan Ale memang meintimidasi. Tidak salah jika Ryan merasa terancam dengan tatapannya.
“Lu yakin cuma tetanggaan sama Ale?” Tanya Ryan tiba-tiba.
Aku mengangguk kencang.
“Tetangga macam apa yang minta dimasakin?”Tanya Ryan dengan penasaran.
Aku pun menjelaskan kepada Ryan apa yang terjadi. Alasan Ale menginap di tempatku. Bagaimana kelakuan Ryan dan sebagainya. Tapi wajah Ryan seperti orang yang tidak percaya dengan apa yang aku ceritakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Love
RomanceAkankah Arka mengakui perasaanya pada Ale, seorang dengan wajah dingin tapi bisa menghangatkan dirinya? Atau dia malah menyimpan semua rasa sakit di hatinya?