11

3.9K 377 9
                                    

“Lu lagi marahan ama Ale?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari Ryan.

Kami sedang di kantin. Seperti biasa, jika istirahat, kantin tempat satu-satunya tujuanku bersama Ryan.

Aku bingung harus menjawab apa. Sudah hampir tiga minggu ini aku sibuk bersama Keano. Dan karena ibu sudah di rumah, aku tidak lagi bersama Ale. Bahkan aku jarang bertemu dengannya.  Jika pun bertemu, wajahnya selalu dingin padaku. Tapi aku tidak berpikir apa-apa karena memang Ale memiliki wajah yang dingin.

“Kenapa emang?” tanyaku pada Ryan.

“Udah tiga hari ini dia nanyain lu terus ke gw. Dia nanya lu pulang ama siapa.”

“Lu jawab apa?”

“Ya gw bilang aja lu pulang ama teman lu. Eh, dia malah nanya cewek atau cowok.”

“Trus,” tanyaku lagi. Aku bahkan menghentikan makanku karena penasaran dengan Ale. Entah ada alasan apa dia mencariku.

“Ya setau gw, yang ngejempt lu kan cowok. Anak SMK Nasional. Ya udah, gw bilang gitu. Eh, dia malah nanya nama. Ya, gw gak tau lah. Lu juga gak pernah ngenalin.”

Aku mengangguk mendengar renjelasa Ryan. Sepertinya terakhir kali aku tidak punya maslaah apapun dengan Ale. Dan sepertinya dia juga tidak punya urusan apapun denganku.
Ada alasan apa dia mencariku. Apa dia merindukanku? Ah, ini konyol. Aku bahkan terkekeh saat berpikir Ale merindukanku.

Baru saja aku memikirkannya, aku malah melihat Ale dari kejauhan. Dia sedang berjalan beriringan  dengan Alesa. Cewek yang dibilang Ryan dekat dengan Ale. Mereka nampak berbincang dan memilih tempat duduk berdua. Dari gerak-gerik mereka, aku yakin mereka sedang berpacaran. Bahkan Ale tampak tersenyum saat bicara dengan Alesa.

“Gw penasaran banget deh ama hubungan Alesa ama Ale.” ujarku tiba-tiba pada Ryan.

Ryan langsung melihat padaku. Wajahnya tampak bingung. Alisnya bweerut menyatu memandangku.

“Ntar pulang kita buntutin yuk. Gw penasaran aja ama tuh anak. Beneran anak sedingin itu bisa punya pacar.” Ajakku pada Ryan.

Ryan menggeleng kuat. “Kayak gak ada kerjaan lain lu. Udah jelas pacaran tuh.”

“Cuma butuh pembuktian aja. Gak tau kenapa gw penasaran.”

Lama Ryan berpikir. Akhirnya dia mengangguk. “Tapi gw gak nanggung resiko yah kalau ketahuan ama tuh anak.”

“Tenang aja. Kalau sama gw mah aman.” Ucaku meyakinkan Ryan. Padahal aku juga tidak yakin dengan  kemarahan Ale. Tapi sejau ini dia tidak pernah marah padaku.

“Eh, liat. Orang yang diomongin datang tuh,” ujar Ryan.

Benar saja aku melihat Ale berajalan ke arahku. Kini dia sendiri,  tidak bersama Alesa. Dari kejauhan tampak wajahnya begitu dingin. Bahkan kali ini lebih dingin seperti biasanya. Aku tidak tau kenapa, tapi kali ini Ale sepertinya sedang tidak dalam mood yang baik.

Dia duduk tepat di depanku. Matanya menatapku. Bahkan aku harus menundukkan pandanganku darinya. Aku mengalihkan padanganku dengan menyeruput es teh yang ada di depanku. Ryan sepertinya juga memlih untuk tidak melihat Ale.

“Kemana aja lu” tanyanya dengan suaranya yang kini terdengar seperti menintrogasi diriku.

“Gw di sini aja.” Jawabku sambil mencoba senyum padanya. Tapi sepertinya dia tidak menerima candaanku.

“Gw gak becanda. Pulang ama siapa?” tanyanya lagi.

“Sama teman.”  Jawabku gugup dan kini aku kembali meunduk. Sekarang aku seperti kekasih yang ketahuan selingkuh.

“Ntar pulang ama gw.”

“Gw pulang ama Ryan. Ada tugas yang mesti gw kerjain berdua,” jawabku.

Ale melirik pada Ryan dengan wajah dinginnya. Aku menginjak kaki Ryan. Aku tidak ingin dia terintimidsi dengan tatapn Ale dan menghancurkan rencanaku, seperti terakhir kali.

“Okelah. Tapi besok kalau lu mau pulang, lu kabarin gw,” jawabnya dan langsung pergi.

Aku dan Ryan menarik nafas dalam. Kami benar-benar seperti orang yang sedang tertangkap basah melakukan tindak kriminal.

“Dia pikir dia siapa. Bisa merintah-merintah gw,” umpatku. Wajahku benar-benar kesal dengan kelakuan Ale.

“Coba aja lu ngomong gitu di depan Ale. Berani?” tanya Ryan yang tak kalah jutek.

Aku hanya terkekeh mendengar pertanyaannya. Tentu saja aku tidak berani berkata seperti itu pda Ale, jika wajahnya seperti tadi.

****

Pulang sekolah aku sudah bersiap bersama Rya untuk membututi Ale.  Kami melihatnya keluar di parkiran dan  Alesa menghampirinya. Alesa berboncengan dengannya dan keluar dari pintu belakang.  Bukan gerbang sekolah. Pintu kecil yang hanya bisa dilewati satu motor saja yang berda di  belakang sekolah.

“Pantas aja gak perah kelihatan keluar dari gerbang,” gumamku.

Ale mengendarai motornya berlawan arah dari arah rumah kami. Alesa merangkul pinggang Ale. Kami mengikutinya dengan jarak yang cukup aman. Tidak lama mereka berhenti di depan rumah. Alessa turun.

“Ini kan rumah Alesa,” ujar Ryan.

Sekarang aku  mendapat jawaban kenapa saat diamengajakku pulang bersama, pasti selalu saja dia telat. Karena dia selalu mengantar Alesa terlebih dahulu.

“Ka, lihat deh,” ujar Ryan.

Aku memperhatikan Ale dan Alesa mereka berpelukan. Mereka saling berbagi senyum satu sama lain. Bahkan senyum Ale nampak begitu tulus bagiku. Setelah mereka berpelukan, Alesa masuk ke rumahnya dan menghilang di balik pagar rumahnya yang tinggi.

“Fix, mereka pacaran,” ujarku yang disambut anggukan oleh Rya.

Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang sakit di dadaku saat mengetahui hubungan mereka berdua. Terasa sesak di sana. Bahkan tanpa sadar, setetes air mata mentes dipipiku. Entah apa yang membuatku seperti ini.
 

My Cold LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang