Setelah melihat bagiamana hubungan Ale, akulah yang kini memilih untuk menjaga jarak dengan Ale. Entah mengapa aku tak ingin melihatnya sekarang. Membayangkan dia memeluk dan tersenyum pada Alesa benar-benar membuat dadaku sesak.
Aku bahkan tak ingin ke luar kelas saat istirahat. Aku biarkan Ryan pergi ke kantin sendiri. aku memilih istirahat di kelas.
Suara ketukan di meja, membuatku mengangkat kepala yang sedari tadi ku tangkupkan di meja. Saat mengangkat kepala, sosok Ale sudh duduk didepanku. Dia menatapku dengan tatapannya yang seperti biasa. Entah ada alasan apa dia ke kelasku saat ii.
“Ada apa?” Tanyaku lemah. Aku sedang tidak ingin berdebat dengannya sekarang. Jangankan berdebat, sebenarnya aku tidak ingin bertemu dengannya.
“Lu kenapa?” Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya keadanku.
“Gw gak apa-apa.”“Ntar pulang bareng gw ya. Gw gak tau kenapa, tapi gw kangen aja ama lu,” ujarnya diikuti suara tawanya canggung. Bahkan dia menggaruk kepalanya yang tentunya tidak gatal.
“Idih, lu naksir gw ya?” tanyaku sedikit berbisik padanya.
Dia menatap dalam-dalam mataku. Mata yang sudah jarang sekali kulihat akhir-akhir ini. Ale mencondongkan wajahnya padaku. Mulutnya mengarah ke telingaku. Dengan berbisik dia berujar.
“Lu udah sanggup jadi bini gw?”
Dia tertawa terbahak. Seperti biasa,dia menerima sebuah pukulan dikepalanya. Ale meringis dan mengusap kepalanya. Dia menatap jengkel padaku. Tapi kelakuan dia selanjutnya malah membuatku tak bisaberpikir. Dia mengacak rambutku dengan lembut.
“Ntar gw jemput ke kelas. Gak perlu nunggu gw di gerbang yah.”
Ale tersenyum dan berlalu keluar dari kelasku. Senyum yang sudah jarang sekali aku lihat akhir-akhir ini. Senyum manis yang bahkan kini bisa menghilangkan sesak di dadaku sebelumnya. Kini, sakit di dadaku ketika melihatnya bersama Alesa kemarin, benar-benar hilang karena senyumnya. Bahkan Akupun tidak bisa melepaskan senyum di wajahku. Bahkan karena senyumnya pula aku tidak sadar, Ryan sudah berada di sampingku.
“Lu kenapa senyum-senyum sendiri?”
Aku terkejut mendengar suara Ryan. Aku hanya menggeleng kepalaku dan kembali tersenyum. Bahkan kini aku menutup wajahku dengan kedua tanganku.
“Tadi gw ngelihat Ale juga senyum-senyum gak jelas pas keluar dari kelas ini. Sekarang malah lu yang neyum-senyum gak jelas gini. Kalian habis ngapain sih?” Tanya Ryan lagi.
“Gak ada apa-apa.”
Aku yakin Ryan pasti sangat penasaran dengan apa yang sedan terjadi pada kami. Tapi jangankan Ryan, bahkan akupun tidak paham ada apa denganku.
****
Benar saja, Ale menjemputku ke kelas. Jadi aku tidak perlu menunggunya di gerbang. Mungkin saja Alesa tidak masuk hari ini. Sehingga Ale tidak perlu mengantarnya pulang. Tapi, itu tidak menjadi pikiranku. Yang pasti saat ini, Ale sedang berdiri disampingku yang masih sibuk membereskan barang-barangku.
“Dari dulu gw perhatiin, lu tuh emang lelet yah.” Umpatnya.
“Bukan gw yang lelet, lu nya aja yang kecepetan. Lu perhatiin aja deh, orang-orang di kelas gw. Juga masih pada beberes.”
Ale memutar bola matanya. Saat aku selesai menutup tasku, dia langsung menarik lenganku. Sontak saja aku jadi perhatian orang-orang yang masih di kelas.
“Cepetan deh. Gw laper. Lu mah kayak tuan putri, apa-apa lama.” Lagi-lagi dia mengumpatku.
Sampai di parkiran, barulah Ale melepaskan genggaman tangannya. Setelah dia mengeluarkan motornya di parkiran, aku langsung duduk di belakangnya. Memegang erat pinggangnya. Kali ini dia tidak ngebut. Dia mengendarai motornya dengan santai. Padahal, tadi dia mengatakan jika dia lapar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Love
RomanceAkankah Arka mengakui perasaanya pada Ale, seorang dengan wajah dingin tapi bisa menghangatkan dirinya? Atau dia malah menyimpan semua rasa sakit di hatinya?