Kale sudah bisa menghardik Kavi dengan kata-kata kasar seperti cowo bajingan, sialan, brengsek, bahkan anjing sekali pun sejak ia masih berumur sepuluh tahun. Entah siapa yang mengajari pertama kali, semua terjadi begitu saja ketika anak sekecil itu fasih mencaci-maki Abangnya di setiap pertengkaran mereka. Begitu pula sebaliknya dengan Kavi. Ia pun terbiasa main tangan dan adu otot dengan sang adik sejak mereka masih berusia terlalu belia. Masa kecil yang seharusnya dihabiskan dengan banyak kenangan manis dan hati yang hangat antar satu sama lain, nyatanya mereka habiskan dengan permusuhan dan kebencian yang seolah tak pernah menemukan kata selesai.
Masih terekam jelas di benak Kale kejadian belasan tahun lalu, saat tangan Kavi tanpa ragu melempar sebuah pecahan keramik ke arahnya hingga membuat alis kanannya terkoyak dan mendapat lima jahitan. Pun masih terekam jelas di benak Kavi kala itu dirinya baru saja pulang sekolah tiba-tiba dihardik oleh sang adik tanpa alasan yang jelas. Kata Kale saat itu, "heh anak bangsat, mendingan nggak usah pulang lo. Sana main bola aja sampai jadi gembel, Kavi anjing!"
Kavi kesal bukan main, mereka sempat beradu mulut sampai akhirnya pecahan keramik di pot bunga Mama melayang dan menciptakan peristiwa berdarah tak terlupakan. Setelah diinterogasi Mama, ternyata alasan Kale tiba-tiba marah karena dirinya tak diizinkan Mama main bola sedangkan Kavi selalu boleh main bola kapanpun dan sampai jam berapapun. Kale iri, namun tak bisa meluapkan amarahnya ke Mama. Karena itulah Kavi menjadi sasaran empuk baginya.
Meski kondisi persaudaraan mereka cukup pelik, tetapi Kale tak pernah mengharapkan kematian untuk Abangnya. Walau hanya ada caci-maki dan kalimat kasar dari mulutnya untuk seorang Kavi, Kale tak pernah berdoa agar sang abang sesegera mungkin menemui ajal kematian.
"Woi, Kavi!" teriaknya histeris tepat di depan pintu kamar mandi. Meski lampu tak menyala, Kale bisa melihat jelas sedang apa Abangnya di dalam sana. "Lo ngapain bego?!" tanyanya, masih dengan intonasi suara yang sama.
"Bukan urusan lo, pergi sana."
"Keluar lo sekarang!"
Cowok yang dibentak hanya diam membeku, menenggelamkan diri di dalam bath up yang kini warna airnya berubah merah. Tak tinggal diam, Kale sekonyong-konyong masuk ke dalam kamar mandi dan menyalakan lampu hingga kondisinya terang menyala. Bisa dilihatnya pergelangan tangan Kavi meneteskan darah.
"Are you trying to kill yourself, huh?!" bentaknya, lalu dengan paksa menarik tubuh sang Abang untuk segera keluar dari bath up. Ia tak pikir panjang, bahkan tak peduli jika harus melihat Kavi bugil. Yang ada di kepalanya cuma satu, menghentikan darah yang terus-terusan menetes dari pergelangan tangan Kavi.
"Apa peduli lo sama nyawa gue?"
Aksi bunuh dirinya gagal, Kavi terpaksa keluar dari bath up karena sang adik yang tiba-tiba memergoki. Syukurlah cowok itu tak sepenuhnya telanjang. Hanya tubuh bagian atasnya saja yang tak tertutupi pakaian. Bagian bawahnya masih tertutupi oleh celana bokser berwarna hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
J E N D R A L S | Jeno & Jaemin
أدب الهواةThe one and only reason this story exist is "parents" because parents always be the biggest reason "lovehate relationship" existed between siblings. "Waktu kecil kamu pasti benci dan nyalahin adikmu atas semua yang terjadi. Setelah jadi dewasa kamu...