Katanya sayang

327 36 6
                                    

Berapa lama kalian ingin hidup di bumi? Lima puluh tahun? Tujuh puluh tahun? Seratus tahun? Atau mungkin sampai selamanya, sampai bumi berhenti berputar dan langit-langit mulai runtuh? Kalau bagi Kale sih, terserah sampai kapan tubuhnya kuat buat hidup saja. Tidak ada patokan usia ideal tentang kapan ia harus mati meninggalkan bumi, pun tidak ada momen-momen tertentu yang harus ia rasakan dulu baru ia ingin menghadapi kematian. Kale siap kalau dirinya tiba-tiba dipanggil untuk segera berpulang pada tuhan. Cowok itu sadar diri, dia mungkin bisa mati kapan saja mengingat kondisi tubuhnya yang sakit-sakitan.

"Nggak takut mati lo sialan?!" Kavi begitu keras menghardiknya beberapa waktu silam, tepatnya sesaat setelah mengetahui Adiknya diam-diam merokok di dalam kamar. Ia marah besar sebab Kale memiliki riwayat asma.

Sekonyong-konyong bocah tengik tak sadar diri penyakitan itu menjawab, "enggak."

Kavi kesal bukan main, tetapi jika mengesampingkan tampang pongah yang sok melawan itu, Kale sebetulnya menjawab jujur. Anak itu tidak takut pada kematian.

Kale tidak pernah takut mati.

Tetapi ... yang Kale takutkan adalah mati dalam keadaan sendirian.

"Le! Kale?! Ya Allah kamu kenapa, Nak?" Mama sampai berteriaknpanik sepulang dari kantor menemukan anak bungsunya tergeletak di dapur, sendirian meringkuk di atas keramik dingin pada pukul sembilan malam--kebetulan Mama lembur dan pulang larut.

Perihal takdir memang urusan tuhan, Kale tak bisa request ia ingin mati dengan cara apa atau dalam keadaan yang seperti apa. Tetapi kalau boleh, Kale tak ingin hal seperti sekarang terjadi lagi. Sebagai single parent yang menghidupi dua anak bujang, Mama memang terpaksa bekerja lebih keras dan ada waktu-waktu yang mengharuskan beliau lembur sampai larut. Selama ini tak masalah, sebab ada Jendral Kavi Janardana yang selalu bisa Mama andalkan dan Mama percayai untuk menjaga anak bungsunya di rumah. Kalau Kale kenapa-napa, biasanya dia akan memanggil dan meminta pertolongan si Abang. Pun bahkan Kale tak perlu memanggil, Kavi itu orang yang peka dan sigap.

Bagai diserang mimpi buruk, Kale terbangun dengan keringat dingin bercucuran di wajahnya. Cowok itu benar-benar ketakutan. Dia masih ingat sekali bagaimana rasanya sekarat sendirian tanpa satu orang pun di sisinya. Kale bersyukur karena nyatanya ia tidak mati, ia masih hidup sampai sekarang.

"Kerjaan lo nyari penyakit mulu."

Mendengar suara berat dari sisi kirinya, sontak Kale menoleh. Ada Kavi sedang duduk di sofa bermain ponsel. Untuk sejenak cowok itu menatap ke arah sang Adik, mencoba memastikan apakah jiwa lemah itu baik-baik saja atau tidak. Lalu pada detik berikutnya kembali fokus menatap layar ponsel tanpa sepatah kata pun.

"Kapan lo datang?"

Akhirnya Kale memecah keheningan selama beberapa menit keduanya saling diam. Tanpa alasan yang berarti hatinya lega, sebab ia menemukan Kavi di sana. Kavi masih ada, masih di sisinya, masih jadi orang yang menemaninya di rumah sakit ketika sepasang mata Kale tak bisa menemukan sosok Mama.

"Tadi malam."

"Mana Mama?"

"Kerja."

"Kavi, gue haus."

Tak ada protes atau penolakan, Kavi langsung bergerak mengambilkan segelas air putih lalu menyodorkannya ke arah Kale. Pun Kale juga sama, tak banyak yang bisa ia lontarkan saat ini melainkan langsung meneguk segelas air putih sampai habis tak tersisa.

"Kavi."

"Apa lagi?"

"Kok lo bisa di sini?" Kale bertanya penasaran dengan satu alis yang terangkat. Seingatnya Mama bilang cowok itu tidak akan berada di rumah sampai minggu malam.

J E N D R A L S | Jeno & JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang