Kesempatan itu berbanding lurus dengan keberanian, terkadang. Sama-sama sedikitnya kalau dipertemukan. Memandangi pojokan zoom meeting, simbol mikrofon masih ada silang merah padahal kursor sudah mengarah. Beberapa kata sudah disiapkan, jawaban-jawaban sudah kita pikirkan, tapi keberanian tak kunjung menyala, seperti mikrofon di pojok kiri sana.
Kembali menelan ludah, detik berjalan lambat sekaligus cepat. Pertanyaan atau tawaran masih menggantung tanpa jawaban. Menunggu orang lain memberi jawaban atau menunggu tunjukan dari peluang sepersekian. Ada dua perbedaan rasa pada akhirnya, ada lega jika tak tahu apa-apa, ada sesal jika tahu apa-apa. Kesempatan itu tak banyak, kompetitif dan atraktif di saat bersamaan.
Pikiran menjadi yang paling mendominasi layar (meski bisa disembunyikan dari pandangan) tampaknya menakutkan. Bagaimana jika melakukan kesalahan? Bagaimana jika nanti memalukan? Bagaimana jika tak memuaskan? Nyali yang hanya sekecil ini bisa menutupi apa selain mikrofon dan puncak hidung hingga muka bagian bawah.
Tapi melihat orang lain yang berproses juga menakutkan, selain memberi tekanan untuk melakukan. Kadang rasa rendah diri hadir, memang aku siapa dan bisa apa. Padahal menyentuh sesuatu yang baru berarti belajar dan proses belajar apapun itu yang berdasarkan ketidaktahuan, tak layak untuk disalahkan. Belajar mengambil kesempatan itu belajar menumbuhkan keberanian. Dan keberanian hanya bisa dilewati dengan menghilangkan silang merah di mikrofon pojok kiri itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Change is Coming Soon
Non-FictionPanduan overthinking untuk maba; dari overthinking ke overthinking berikutnya. #nonfiksi-selfimprovement